PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN
Santri Diwajibkan Sholat Lima Waktu di Masjid
Awal kemunculan Pondok Pesantren (Ponpes)
Mardhatillah di daerah hutan perbukitan Batu Ampar sempat membuat gempar
kalangan tertentu. Lokasinya yang berada di pelosok jauh dari pemukiman
penduduk, membuat ponpes ini dicap sebagai gudannya gerakan ekstrimis. Padahal
tidak, ponpes ini dibangun untuk mendekatkan umat kepada Al Quran agar selamat
dunia dan akhirat.
ITULAH ingatan yang masih terekam dari KH
Syahril Yani, pendiri sekaligus pimpinan Ponpes Mardhatillah ketika bersua
dengan Tribun pada Selasa 21 Juni 2016 siang di ruang kantor Ponpes
Mardhatillah.
Saat menelusuri bangunan ponpes ini, perjalanan
mencapai ke lokasi sangat jauh dari pusat perkotaan dan perdagangan Kota
Balikpapan. Lokasinya berada di Jalan Soekarno-Hatta Kilometer 8, Kecamatan
Balikpapan Utara.
Itupun tempatnya tidak dipinggir jalan.
Tribun mesti memasuki lagi sebuah jalan kecil beraspal yang persis di samping
Politeknik Balikpapan. Mencapai ke ponpes ini Tribun menempuh jarak sekitar
1500 meter dengan kondisi jalan yang berkelok-kelok dan agak sedikit berbatu
dan bertanah.
"Saya bersama dengan beberapa donatur
hamba Allah membuat lembaga pendidikan untuk kalangan menengah ke bawah. Saya
bangun tempat buat ibadah sekaligus dakwah pendidikan keislaman,"
ungkapnya.
Cita-cita mendirikan ponpes sudah lama
ditanam oleh Syahril. Mimpi ini terwujud sekitar tahun 1984, tidak lama dirinya
menimba ilmu di Ponpes Gontor Jawa Timur. Dirinya memilih tempat terpencil agar
jauh dari hingar-bingar perkotaan yang penuh godaan hedonisme.
"Waktu saya ubah hutan-hutan jadi
pondok, banyak orang-orang yang tertarik mau ikut belajar Islam. Paling banyak
saat itu kalangan orang-orang jompo juga anak-anak dari keluarga
transmigran," ujarnya yang ungkapkan areal ponpesnya seluas 8 hektar
lebih.
Tujuan membuat ponpes bagi Syahril, ingin
membumikan Al Quran di Bumi Etam Kalimantan. Dirinya ingin mendekatkan
masyarakat dengan Al Quran agar memunculkan sikap kesalehan dan tertolong di
dunia dan akherat.
"Awal-awal sempat orang-orang dari
militer datang kesini. Kami dibilang gerakan ekstrimis. Silakan saja, lihat
kegiatan kami. Saya bebaskan. Tidak ada saya mau aksi menentang negara. Saya
murni berdakwah, sebarkan pendidikan Islami," tuturnya menceritakan lagi
perkataannya, yang pernah dilontarkan kala itu.
Seiring berjalan, ponpes yang dicanangkan
Syahril semakin bertambah santrinya, ia kemudian membangun konsep modernisasi
dengan menerapkan madrasah dari tingkat pendidikan dasar hingga menangah atas.
Kunci keberhasilan kurikulumnya terletak pada
suri tauladan pengajarnya. Dia menegaskan kepada para guru-gurunya untuk
memberi contoh yang nyata dalam pengajaran ke santrinya.
Seperti halnya sholat
berjamaah, maka para ustaz wajib pergi ke masjid dengan semangat supaya para
santri bisa melihat teladannya.
"Setiap lima waktu para santri dan
gurunya wajib pergi ke masjid. Tidak ada yang tidak," kata pria kelahiran
Samarinda 28 Oktober 1955 ini, yang saat itu mengenakan baju koko putih.
Menurutnya, barang siapa yang sangat dekat
dengan masjid, otomatis dirinya akan merasa menyatu dengan Islam, akan
diperoleh juga kentraman jiwa. Rasa iman dan ketakwaan akan terbentuk kokoh.
Mereka yang rajin ke masjid akan selalu
berhubungan dengan ayat-ayat Al Quran yang dianggap sebagai obat petunjuk umat
manusia.
"Saya ingin para santri itu memahami
kenapa ada Islam. Apa itu Allah. Mengetahui untuk apa diturunkannya Al Quran.
Saya ingin santri itu sebagai manusia yang berakhlak, tahu sopan santun, mau
hidup dengan Al Quran," ungkap Syahril.[1]
( )
[1]
Koran Tribunkaltim, “Ponpes
Mardhatillah Mendekatkan Umat dengan Al Quran; Santri Wajib Shalat Lima Waktu
di Masjid,” terbit pada Minggu 26 Juni 2016, pada halaman pertama bersambung ke halaman 11.
Komentar
Posting Komentar