FAJAR JURNALISME KALTARA

Fajar Jurnalisme Kaltara

Belakangan ini, banyak pemain industri media massa telah menyambut hangat fajar baru, menebarkan jaring-jaring produknya melalui dunia maya atau internet, yang bernama portal berita lokal daring.

Termasuk di daerah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) juga mulai tersaji pilihan berita lokal daring, baik itu media massa yang berbasis industri lokal hingga para pemain skala nasional seperti Jawa Pos Grup dan Kompas Gramedia.

Mulai banyak media masa gaya baru yang bermunculan, tentu saja memberi dampak positif. Satu sama lain ‘bersaing’ memberikan sajian informasi fakta yang akurat dan mampu memberi benefit bagi pemirsa.

Menjamurnya media daring, puncaknya ketika akan mengakhiri tahun 2015, atau menjelang bergulirnya tahun Monyet Api. Munculnya media-media daring setelah ada kabar teranyar, beberapa koran cetak yang bermarkas di Kota Jakarta tutup karena sudah tidak bisa lagi bertahan secara bisnis, ditinggal banyak pemirsa.

Di Kaltara saja, sekarang sudah sekitar dua media daring yang mulai rajin menunjukkan giginya sejak awal tahun ini. Sedangkan media lokal besutan grup Kompas Gramedia sudah lebih dahulu mengawalinya.

Satu sama lain berlomba-lomba menyajikan informasi yang terbaru, terunik, dan berpengaruh bagi kebijakan publik. Sebelum tahun 2014, kata rekan seprofesi yang lama berkecimpung di Tanjung Selor, media daring di provinsi termuda ini belum terlalu menjamur dan gencar liputan beritanya. 

Jongfajar Kelana
Sejumlah wartawan daerah Kaltara sedang melakukan wawancara dengan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltara di Gedung Wanita usai melakukan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Tana Tidung.

Sekalipun ada satu dua portal berita daring, masih ‘malas’ menyajikan berita-berita daringnya, lebih banyak mengandalkan kekuatan pers cetak, yang kadang, hidangan informasinya sering tak berimbang dan mendalam.

Mengakarkan media massa daring di wilayah Kalimantan Utara bukanlah persoalan gampang. Sejauh ini, daya dukung infrastruktur jaringan internet teramat buruk. Sinyal yang dipancarkan belum maksimal. Sinyalnya masih sering lelet bahkan selalu langganan status tamat. Pokoknya sangat jauh berbeda dengan kondisi yang ada di pulau Jawa.

Sekalipun ada jaringan internet, hanya baru bisa satu operator saja meski kadang sinyalnya kembang kempis. Sinyal putus seperti halnya saat masuk kecamatan di Kabupaten Bulungan kawasan Peso, Sekatak, dan Tanjung Palas Utara.

Merek operator yang lainnya sejak mentari terbit hingga senja, lebih banyak tiarapnya daripada eksis. “Inilah pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan,” ungkapan simpati saya.

Sebenarnya bila jaringan internet di Kalimantan Utara super kencang, akan banyak orang yang mengakses, terutama umuran anak-anak muda, yang masuk kategori generasi milenium, yang sangat akrab dengan dunia digital, yang memiliki media sosial.

Keterbatasan jaringan internet itu lantas tidak membuat jurnalis-jurnalis patah semangat. Para pekerja media daring tetap sepenuh tenaga mengabarkan informasi aktual dan terpercaya, meskipun penyajiannya yang kadang kurang mendalam ketimbang di koran cetaknya.

Biasanya, informasi yang sudah disajikan di cetak pada pagi hari, saat menjelang sore atau malam barulah berita yang di cetak diunduh ke dunia maya yang bisa diakses secara gratis, tanpa mengeluarkan biaya sepserpun.

Pemirsa yang belum sempat membaca di cetak bisa melihat di website situs berita. Inilah cara bertahan hidup yang dilakukan para industri media massa di tengah kehidupan yang semakin duniawi.

Fenomena media daring kadang juga membuat perubahan sikap hidup sang wartawan. Bagi mereka yang bekerja di media jenis seperti ini, dituntut untuk segera menulis berita secara cepat dan akurat meskipun upah yang diperoleh tidak seperti uang perjalanan dinas pegawai negeri sipil.

Saya bongkar ke publik, bahwa kepuasan maksimal kerja sang wartawan seperti saya ini, yang utama adalah karya jurnalistiknya bisa dibaca, bisa disaksikan oleh masyarakat banyak dan bisa berdampak pada terbukanya pikiran yang mencerahkan.

Pedihnya itu, bila karakter pemirsanya malas membaca, hanya sepotong-potong, hanya membaca pada bagian judul beritanya saja, tetapi komentar mengenai beritanya setinggi langit sekelas profesor. Yah, beginilah nasib. Saya mesti sadar diri. Sepertinya saya harus lebih banyak mendalami ilmu mengemas berita agar lebih aduhai.

Wartawan yang berkecimpung di media daring akan terlihat ‘dipaksa’ untuk lebih gesit, wajib melangkah cepat mengirim berita untuk kemudian disiarkan di dunia maya. Coba lihat saja gerak-gerik para wartawan daring, usai mendapat data dan wawancara dari narasumber, langsung berubah seperti zombie atau mayat hidup.

Berdiam diri fokus memainkan perangkat gawai, tak berinteraksi pada sekelilingnya meskipun berada di tengah-tengah keramaian publik. Kadang saya menyadari akan hal ini, “Kenapa saya bagaikan zombie dalam tempurung.” Seram ya? Bisa dituduh teroris nih. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN