BUKAN PEKERJAAN SAMBILAN

Bukan Pekerjaan Sambilan


Saat matahari mulai sejajar telinga orang dewasa, Andi Syah terlihat tergopoh-gopoh berjalan sendiri menapaki jalan beraspal hitam menuju gubuk seng yang dilengkapi jaringan internet berbayar, pada Rabu 10 Februari 2016.

DIA menenteng tas coklat yang berisi laptop dan seutas mouse warna ungu, yang selalu diidentikan status janda. Mustahil bila Andi ternobatkan sebagai janda, padahal dia adalah remaja lelaki yang sementara bergelar bujang, yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Keatas di perkotaan Tanjung Selor, Provinsi Kalimantan Utara. 

Setiba di gubuk itu, dia duduk di bangku yang sudah disediakan di gubuk itu, bersebelahan dengan Nggune, seorang penggemar game daring mania yang sudah tamat kuliah setahun lalu, namun masih menganggur, menunggu panggilan lamaran pekerjaan di pabrik.

Sebelum membuka laptopnya, Andi menyempatkan diri menghela nafas panjang, usai kelelahan berjalan kaki dari rumahnya menuju ke gubuk yang berjarak sekitar satu kilometer. “Hufft,” begitulah bunyi keluaran udara karbondioksida dari mulutnya.

Saat jari telunjuk Andi memencet tombol start di laptopnya, Nggune yang saat itu mengenakan kaos oblong merah membuka percakapan, menegur Andi tanpa sungkan, bak petugas sensus saja. “Kenapa masih pagi sekali kamu sudah datang kesini. Aku lihat di wajahmu, kau masih umuran pelajar sekolah. Apa sudah putus sekolah?.”  

Jongfajar Kelana

Andi meladeninya. “Tidak bang. Saya lagi libur saja. Guru terpaksa meliburkannya. Ruang kelas kami sedang dipakai untuk kegiatan kakak kelas dalam menghadapi ujian nasional,” ungkapnya. 

Ouh begitu toh, ujar Nggune, meresponnya secara santai. “Siapa nama mu? Kita belum kenalan. Sepertinya aku sering melihat kau di gubuk ini. Tapi baru kali ini kita duduk berdekatan. Biasanya kau duduk di bagian sana, dekat pohon rindang,” tanyanya kembali. 

Nama saya Andi Bang, jawabnya singkat. Rasa penasaran Nggune masih berkecampuk. “Memangnya kenapa bisa diliburkan. Apa kaitannya dengan kakak kelasmu, yang akan menghadapi ujian nasional. Kok bisa begitu,” protesnya.

Soalnya, memang begitu aturannya. “Saya sendiri maunya sekolah tetap masuk. Pusing kalau di rumah terus, tidak dapat ilmu,” ujar Andi yang mencoba melontarkan kalimat bijaksana. 

Situasi kini, ruang kelas sekolah Andi masih terbatas jumlahnya. “Kami yang masih duduk di bangku kelas satu solusinya diliburkan. Disuruh belajar di rumah. Ruang kelas kami dipakai buat simulasi ujian nasional berbasis komputer,” ungkap Andi.

Sebenarnya sudah sejak lama, pihak sekolahannya mencari lahan untuk membangun gedung sekolah yang lebih leluasa. Namun sampai sekarang, belum ada kabar yang menggembirakan soal dibangunnya sarana gedung sekolah. Selama ini, gedung sekolahnya masih menumpang dengan pelajar tingkat Sekolah Dasar.

Aduh, bagaimana ini? Katanya di konstitusi setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. Anggaran negara disisihkan sebesar 20 persen bagi kemajuan pendidikan anak negeri.

Faktanya yang terjadi di lapangan, masih saja belum sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi Republik Indonesia. Kalau begitu, tentu saja ini masih menjadi pekerjaan rumah.

Tugas bersama yang mesti segera diselesaikan oleh pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Utara, yang notabene sebagai provinsi termuda di Republik Indonesia. Ingat itu ya, jangan sampai terlupakan. Pendidikan bukan lagi sebagai barang permainan, atau hanya sekedar pekerjaan sambilan. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN