KISAH AYUB MANTAN TERORIS
Saya Mendapat Guru yang
Salah
“Bagi semua generasi muda saya
ingatkan jangan jauhi masjid karena ciri-ciri gerakan teroris pengaruhnya ada
di luar masjid, gerakannya eksklusif, lebih senang bertatap muka face to face,
gurunya tidak terang-terangan siapa orangnya.”
ITULAH kutipan
pesan yang disampaikan Abdurahman Ayub, yang mengaku sebagai mantan anggota
kelompok teroris, saat menjadi pembicara di seminar “Strategi Kontra Jaringan
Terorisme” di Hotel Crown Tanjung Selor, Rabu 2 Desember 2015 siang.
Pria yang
berjanggut putih itu merasa sudah ‘bertobat’, kembali kepada ajaran Islam yang
dibenarkan, yang mengajarkan pada nilai-nilai kedamaian. Pertobatan dia lakukan
saat berada di tahun 1998.
Waktu itu, Ayub
mengikuti gerakan salafi. Kemudian dirinya tersadar untuk mengambil ajaran
Islam yang sesungguhnya. “Salafi tidak boleh berpolitik apalagi sampai membunuh
orang. Saya sadar ternyata apa yang dilakukannnya selama ini salah paham,”
ungkapnya.
Awal mula dirinya
terjebak pada gerakan terorisme, berkenalan dengan Negara Islam Indonesia
sekitar tahun 1982. Ayub yang waktu itu masih duduk bangku Sekolah Teknik Mesin
Boedi Oetomo Jakarta, sedang gandrung-gandrungnya pada kelimuan agama Islam.
Kemudian
menginjak tahun 1986, dia pun pindah ke Malaysia, memperdalam pergerakan
tersebut, berkenalan dengan banyak orang-orang aktivis radikal dan setelah itu
saya diberangkatkan ke Afghanistan, ikut latihan perang diangkat sebagai letnan
dua.
“Saya
mendapat guru yang salah. Pelajaran ayat yang dipelajari sama dengan yang lain.
Hanya saja beda penafsiran. Ajaran jihad perangnya lebih banyak,” katanya yang
mengaku garis keturunannya tidak memiliki pergerakan radikal dan orang tuanya
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dia ingat,
ajaran jihad yang disampaikan lebih kepada perang pemberontakan. Jihad perang
ini dianggap tingkatan jihad yang tertinggi dari jihad harta untuk kemaslahatan
dan jihad kalam yang melalui penyampaian dakwah.
“Diajarkan
jihad perang itu lebih tinggi derajatnya. Yang mati bisa bertemu puluhan
bidadari, dijamin masuk surga,” ungkapnya, yang pernah ikut latihan perang di
Afganistan ini.
Selain itu,
Ayub juga pernah diajarkan merakit bom peledak. Namun menurutnya, pekerjaan ini
lebih mudah ketimbang mereka yang bertugas meracik bahan peledak. Sebab,
membuat bom itu lebih sulit daripada merakit bom. “Yang paling jago menciptakan
bahan peledak ada dua orang, Umar Patek dan Dulmatin,” ujarnya.
Terpisah,
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Saud Usman Nasution, usai
membuka acara seminar terorisme, menjelaskan, wilayah Kalimantan Utara berada
dekat dengan negara tetangga, dianggap sebagai tempat transit dan tempat
singgah para oknum-oknum teroris.
Karena itu,
seluruh masyarakat untuk turut bersama-sama membantu, mengawasi daerahnya bila
ada indikasi gerakan terorisme. Kata Saud, semua mesti waspada. Gerakan yang
mengatasnamakan agama dengan ciri kekerasan sangat tidak dibenarkan. “Terorisme
mesti kita tangkal sejak dari lingkungan terdekat kita. Anak-anak muda rentan
terkena. Kita harus wapadai,” tegasnya.[1] ( )
[1]
Koran Tribunkaltim, “Kisah Ayub
Abdurrahman Mantan Anggota Jaringan Teroris: Saya Mendapat Guru yang Salah,”
terbit pada Minggu 6 Desember 2015, di halaman depan, tulisan kaki.
Komentar
Posting Komentar