KISAH TUKANG PERAHU TAMBANGAN

Kejar Cita-cita jadi Pegawai 
Dwi Mengawalinya dari Sungai


Bekerja perahu tambangan sambil menutut ilmu Matematika di Universitas Kaltara, Tanjung Selor, bukanlah persoalan yang sukar untuk dilakukan. Inilah pola kehidupan yang dilakoni Dwi Haryono, 25 tahun, pria kelahiran Tanjung Palas, yang diluar jam kuliah mengais rezeki sebagai tukang perahu tambangan Sungai Kayan.

SAAT Tribun berjumpa dengannya di perahu tambangan, Minggu 29 November 2015 siang, dia bercerita, menutut ilmu sampai perguruan tinggi adalah keinginannya sendiri. Tidak ada kesulitan, sebab waktu antara kuliah dan bekerja sudah ada porsi tersendiri.

“Kalau lagi tidak kuliah saya pergi ke kampus. Mumpung masih muda, ada waktu banyak yang kosong, saya sempatkan untuk kuliah,” ujarnya yang saat itu mengenakan kaos hitam dan bertopi.

Nasib perkuliahannya kini sudah berada di semester akhir, dirinya sedang sibuk menyusun skripsi. Menjalani pekerjaan sebagai perahu tambangan dianggap sebagai sarana eksplorasi hiburan. 

Sebuah perahu tambangan yang melintasi Sungai Kayan yang mengantar jasa penyeberangan Tanjung Selor-Tanjung Palas, pada Minggu 29 November 2015 siang. Jika cuaca sedang cerah panas, tukang perahu tambangan mendapat banyak penumpang. (Photo by Budi Susilo)

“Daripada di rumah terus-terusan dan memikirkan skripsi kuliah, lebih baik isi waktu dengan mencari susana lain di tempat kerjaan. Supaya tidak ada kejenuhan,” ungkap Dwi. 

Dia merasa tidak malu melakoni sebagai tukang perahu tambangan Tanjung Selor-Tanjung Palas. Sebab sebelum kuliah, Dwi sudah bergelut dengan pekerjaan air itu. “Saya punya cita-cita, bila sudah selesai kuliah mau beralih pekerjaan. Mau menjadi pegawai negeri sipil,” kata pria beranak satu ini.

Kesehariannya jadi tukang perahu tambangan, hanya mampu hidup berkecukupan saja. Apalagi pekerjaan yang sekarang dijalaninya, mengandung banyak risiko dan tidak akan berlangsung lama. “Nanti kalau sudah dibangun jembatan, kami sudah tidak bisa lagi tawarkan jasa penyeberangan,” ungkapnya.

Sungai Kayan seolah menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat Tanjung Selor dan Tanjung Palas. Hampir setiap hari sekitar 15 perahu tambangan yang beroperasi. Jarak penyeberangan Tanjung Selor-Tanjung Palas sekitar 800 meter dengan tarif per orang Rp 5 ribu dan dengan motor Rp 10 ribu.


Seperti lainnya Dwi, yakni Jhon, 33 tahun, yang sejak duduk dibangku kelas Sekolah Dasar sudah merasakan perjuangan mencari uang di perahu tambangan.

“Saya pertama kalinya diajak sama paman saya. Lama kelamaan saya sudah dianggap bisa akhirnya membawa perahu sendiri saat masih remaja. Perahunya masih model katinting,” kata pria asal Bulu Perindu ini.

Dia merasa menikmati pekerjaan itu. Dari pagi hingga jam sembilan malam, dia mampu meraup uang Rp 300 ribu, jika sedang ramai penumpang. “Kalau cuaca sedang turun hujan sampai lama, saya mendapat sedikit penumpang. Kalau sedang banyak penumpang, perahu saya bisa memuat sampai sembilan orang dan tiga motor,” tutur Jhon, 

Keuntungan ini bersifat pendapatan kotor, sebab nanti dipotong untuk pembelian bensin 10 liter dan disisihkan untuk tabungan membeli perawatan mesin perahu. “Selebihnya buat makan saya, istri saya dan anak saya yang baru satu,” ujar Jhon.[1] ( )


[1] Koran Tribunkaltim, “Kisah Dwi Haryono Tukang Perahu Tambangan: Kejar Cita-cita jadi PNS Dwi Mengawalinya dari Sungai,” terbit pada Senin 30 November 2015, di halaman 22, rubrik Tribunkaltara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN