BLUSUKAN ASAP | INDONESIA
Melawan
Kerusakan Hutan
KISAH nelangsa diceritakan Rahmi Carolina (21), kala itu, Jumat 14 Oktober 2014 pada
jam delapan malam di Comma Id, gedung One Wolter Place lantai tiga, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
Saya menyaksikan dengan
kepala mata sendiri, kalau kisah yang dialami Rahmi ini, saya simpulkan seolah
bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi kisahnya ini merupakan duka bangsa juga.
Perempuan kelahiran bumi
Palalawan Riau ini menderita, akibat ulah orang-orang serakah yang tak
bertanggungjawab. Sejak dia berumur bocah hingga kini dewasa, dirinya berserta
warga Riau lainnya selalu terancam oleh bahaya asap kebakaran hutan.
“Kami dikepung oleh asap
dari kebakaran hutan, dan juga kebakaran lahan gambut. Hutan kami dirusak,
ruginya kita dapat semua,” ungkapnya.
Bayangkan saja, bila waktu
musim kemarau panjang, pemandangan Riau diselimuti kabut asap kebakaran. Segala
aktivitas terhambat, setiap harinya berjibaku dengan gangguan asap kebakaran.
Begitu pun bila masuk musim penghujan. Asap kebakaran tetap setia menghampiri bumi Riau yang pada era tahun 1960-an masih hijau royo-royo, Riau masih banyak dihiasi permata hutan belantara. “Kalau musim penghujan asap kebakaran dapat kiriman dari provinsi lain,” ujarnya.
Jelas sekali, tegas Rahmi,
keberadaan asap pembakaran membuat udara Riau tidak sehat. Membuat Riau bukan
lagi daerah yang nikmat untuk dimukimi, bukan lagi rumah tinggal yang nyaman.
“Saya punya penyakit alergi
asap. Kalau kena asap kebakaran badan saya langsung sakit, jadi batuk-batuk,”
kata perempuan berjilbab ini.
Ia mengingat, awal mula bencana asap
kebakaran terbesar berlangsung sekitar tahun 1998. Di tahun ini, ungkapnya, selama
tiga bulan Riau ditutup asap kebakaran berhari-hari.
“Kalau jemur pakaian cuci
dari subuh sampai magrib tidak kering. Soalnya matahari tertutup oleh asap
kebakaran. Susah dapat sinar matahari,” tuturnya.
Kisah senada juga
diceritakan warga Riau lainnya, yang turut hadir juga ke Jakarta, mencurahkan
keluh sedihnya atas kerusakan hutan di daerahnya.
Dia bernama Ricko, pria
berkepala plontos ini menceritakan pengalamannya di Riau. Katanya, untuk
mendapatkan udara oksigen berkualitas sangat sulit, sudah seperti barang yang
mahal.
“Perkiraan saya, kadar
Oksigen di Riau rata-ratanya hanya satu persen saja. Jutaan anak dan ibu-ibu
hamil jadi tidak sehat,” katanya.
Ia mencoba membandingkan,
udara di Kota Jakarta yang dibilang sangat berpolusi, masih dianggap lebih baik
kualitasnya bila dibanding dengan kondisi udara yang ada di Riau sana. “Pada bulan Februari, Juni, Agustus lalu kami
dapat kiriman asap dari Jambi,” urainya.
Tak hanya pengakuan dari
para warga. Rupanya ada juga bukti kerusakan hutan yang dituangkan dalam film
dokumenter bertema lingkungan berjudul Years
of Living Dangerously.
Film ini juga diputar dan
ditonton puluhan orang yang datang ke Comma Id. Film ini telah diedit,
dipersingkat padat, lebih berisi, ceritanya langsung ke tema-tema yang pokok.
Durasi film selama 15 menit.
Film ini dibintangi Harrison
Ford yang menjadi pemeran utama. Film menceritakan kebobrokan pengelolaan
kelestarian alam hutan Indonesia, seperti yang berada di pulau Sumatera dan
Kalimantan.
Film ini menggambarkan bahwa
elemen kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi secara vulgar telah
menghancurkan hutan. Mereka para pemangku pemerintahan seolah acuh tak acuh atas
rusaknya hutan di Indonesia.
Mereka yang punya jabatan
politik seolah membiarkan aksi kerusakan hutan, tidak ada penegakan hukum buat
mereka yang merusak hutan. Begitu pun, perusahaan-perusahaan yang terlibat, tak
disentuh pasal hukum pidana kehutanan.
Di kesempatannya, seorang
pelaku bisnis, Suzy Hutomo, yang juga hadir di Comma Id pun turut
mengungkapkan, kerusakan hutan memberikan dampak negatif secara meluas,
termasuk di bidang bisnis.
“Kalau hutan terbakar ada
bencana asap. Yang untung hanya segelintir orang. Yang rugi ditanggung banyak
orang. Aktivitas jadi terhalang. Roda bisnis pun jadi mati,” kata perempuan
yang menjabat sebagai CEO The Body Shop ini.
Sebenarnya, kata Kepala
Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting mengatakan, aturan perundang-undangan
mengenai kehutanan kelestarian alam sudah banyak jumlahnya.
Yang kurang itu, tegasnya,
aparat penegak hukumnya kurang tegas, tidak memiliki kemauan untuk memberantas
mafia sumber daya alam. Aturannya sudah banyak tapi belum seimbang dengan
gerakan penegakan hukum dan budaya hukumnya.
“Mau selesaikan kerusakan
hutan tidak bisa selesai cepat, satu, dua tahun atau lima tahun akan selesai.
Untuk atasi kerusakan butuh berpuluh-puluh tahun,” katanya.
Bahkan menurut Direktur
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abetnego Tarigan,
tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah ancaman korupsi
sumber daya alam.
“Kehutanan sudah ada yang
mengincarnya. Perijinan seolah sudah jadi komoditas yang diperdagangkan,”
ujarnya, yang kala itu mengenakan kemeja panjang putih.
Berdasarkan pengalaman,
untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit di perhutanan perlu mendapat ijin yang
berbelit-belit bernuansa korupsi, asal sedia uang melimpah, urusan pun lancar
meski berdampak merusak kelestarian alam.
“Kekuatan politik di
kehutanan luar biasa karena ini bisnis triliunan. Baru membuat surat ijinnya
saja perlu sedia uang minimal Rp 6 miliar,” tutur Tarigan.
Belum lama ini, seorang
peneliti kawasan hutan dari University of Maryland, Mattew Hansen, mengeluarkan
rilis data laju kerusakan hutan di Indonesia telah menyentuh angka dua juta
hektar per tahunnya.[1]
Katanya, aksi pengrusakan
hutan yang paling massif terjadi sepanjang tahun 2011 sampai di tahun 2012.
Kegiatan penggundulan hutan Indonesia cenderung naik, dari satu juta hektare di
tahun 2003 menjadi dua juta hektar pada tahun 2012.
Sementara, berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Planologi, Kementrian Kehutanan
Republik Indonesia, bahwa laju deforestasi pada hutan primer di Indonesia pada
periode 2011 hingga 2012 mencapai 24.472,3 hektar.[2]
Nah, melihat kondisi ini,
rencananya, lewat Yayasan Prespektif Baru yang digawangi Wimar Witoelar bersama
lembaga Walhi dan Greenpeace Indonesia akan membuat program gebrakan awal,
dalam menyelesaikan kebakaran hutan.
Sebagai simbol, rencananya
akan mengajak dan memandu Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) untuk
melakukan blusukan ke lokasi kebakaran hutan supaya pemangku kuasa negara dapat
melihat langsung kondisi realitasnya.
Dan yang pasti, juga harus
langsung menindaklanjuti blusukannya, bukan sekedar kunjungan seremonial
semata. Diharapkan, usai blusukan asap, pihak pemerintah mau melindungi lahan
gambut, perketat ijinnya, dan perkuat penegakan hukum. ( )
[1] Dalam
Satu Tahun Dua Juta Hektar Hutan Dibabat, tempo.co
Rabu 14 Mei 2014, sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14/173577714/Dalam-Satu-Tahun-2-Juta-Hektar-Hutan-Dibabat
[2]
Menurunya Luasan Lahan Kritis, dephut.go.id
Senin 7 Juli 2014, sumber: http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9588
Komentar
Posting Komentar