MEMANJAT MELIHAT MENTARI
Memanjat Melihat Mentari
SENJA sudah mulai
merayapi awan Kota Tua Jakarta. Wajah matahari pun mulai jingga, tak lagi putih
kilau. Sore ini, angin agak bertiup kencang. Hembusannya mampu menggoyangkan
ranting-ranting pohon yang tumbuh di pinggir jalan raya.
Aura gedung tua, yang
dahulunya sebagai perkantoran bank di jaman Hindia Belanda mulai redup.
Matahari yang akan segera pamit pergi, tidur ke dalam perut bumi, membuat
gedung tua ini akan semakin buta, gelap gulita.
Tak ada orang yang
menghuni. Kaca gedungnya berdebu, temboknya pun dijalari tumbuhan-tumbuhan
spora, warna cat tak lagi cerah, mirip rumah hantu dalam film-film horor.
Inilah nasib gedung tua berlantai tiga itu, megah, namun tak dilirik, dirawat,
disayang, dan dimanfaatkan.
Seekor semut merah
yang terpisah dari komunitasnya mengadu nasib, mencoba untuk merambati tembok
gedung itu, menuju ke atas, ke lantai lebih tinggi. Tanpa alas kaki, semut
merah mampu mengarah ke atas, terus berusaha menapaki tembok gedung yang sudah
terselimuti debu jalanan.
Mata semut merah tak
lagi melirik ke kanan dan kiri. Tatapan matanya terus lurus ke depan, menuju
arah puncak gedung. Selama rintikan hujan belum turun membasahi gedung, semut
akan maju terus, pantang mundur. Bergerak, bergerak, dan bergerak !
(sketsa by budi susilo) |
Semut itu tak lagi
peduli akan ketinggian, yang bisa membawa risiko tewas seketika, jika dirinya
terjatuh dari ketinggian. Bermodalkan tekad dan kakinya yang kuat, semut merah
itu tanpa henti terus merangkak ke arah atas, demi satu tujuan ingin melihat
matahari terbenam dari puncak gedung tua itu.
Tiba-tiba, tanpa
diduga, di depan gedung tua itu melintas seekor ratu semut merah yang sedang
iseng berjalan-jalan sore bersama tujuh prajuritnya. Ratu beserta prajuritnya
itu ingin mengarah ke laut Pelabuhan Sunda.
Spontan, seorang
prajurit semut yang berada di barisan belakang sedang menatap langit sore yang
cerah, kedua bola matanya tiba-tiba mendadak kaget, sebab dia langsung melihat
ada semut merah sedang memanjat gedung tua.
Prajurit semut itu
langsung berlari cepat ke arah depan, melapor pada pimpinannya, sambil berkata
terbata-bata. “Rat, Rat, Ratuuu. Tunggu
dulu, berhenti dulu, jangan lanjutkan perjalanan.”
Kontan, ratu semut
merah sempat kaget, matanya sampai melotot ketika tiba-tiba prajuritnya
menjegat perjalanannya ke arah laut Pelabuhan Sunda. “Ada apa ini, wahai prajuritku.”
“Lihatlah ratu di atas sana.” tangan prajurit menunjuk ke arah ke atas
gedung. “Itu bukannya semut merah dari kerajaan kita bukan ? Kenapa dia
berjalan sendiri ke sana?.”
Tanpa berpikir
panjang, sang ratu pun menanggapinya dengan santai. “Oh ya, betul sekali. Itu semut merah dari kerajaan kita. Biarkan dia
berkreasi dan mandiri, pergi sendiri bertualang melanglang buana,” kata
ratu.
“Oooh gituh yah,” seru kesemua prajurit dengan kompak kala usai mendengar
ratunya itu.
“Saya tahu karakter dia. Dia merupakan tipe yang suka plesiran, yang sangat menggandrungi sinar senja dan fajar,” ucap ratu.
“Saya tahu karakter dia. Dia merupakan tipe yang suka plesiran, yang sangat menggandrungi sinar senja dan fajar,” ucap ratu.
“Saya tahu, pasti dia akan bermalam di puncak gedung tua itu. Dia akan
berada di atas gedung tua itu sampai pagi, hingga akhirnya dia nanti bisa
menikmati sinar fajar.”
“Oooh gituh yah,” seru ketujuh prajurit dengan kompaknya, kala usai
mendengar penjelasan dari ratu tercintanya.
“Sudah biarkan saja. Dia tidak perlu dipanggil. Sudah berada di atas
jauh sana, mungkin tidak akan dengar jika kita panggil dia,” tegas sang
ratu.
“Oooh gituh yah,” ucap ketujuh prajurit dengan kompaknya, usai
mendengar perkataan dari ratu terhebatnya.
“Oke, mari kita lanjutkan saja perjalanan ini, supaya sampai disana kita
tidak kemalaman. Kita doakan saja supaya dia bisa menggapai harapannya,
berjumpa dengan sinar senja dan fajar,” tutur Ratu. “Oooh gituh yah,” sahut kesemua prajurit dengan kompaknya, kala usai
mendengar penjelasan dari ratu satu-satunya di kerajaan.
“Ah, kalian semua, dari tadi hanya bisa oh gitu yah, oh gituh yah. Ayo
semua, jalan cepat, jangan sampai terlambat. Awas kalian jangan lagi berkata oh gitu yah, oh gituh yah, kalau tidak,
kalian semua akan saya hukum,” tegas ratu.
“Oooh gituh yah,” batin kesemua prajurit dengan kepala tertunduk,
usai mendengar penjelasan dari sang ratu.
“Kenapa kepala kalian malah menunduk. Kan saya perintahkan ayo kita
jalan lagi, lanjutkan perjalanan !, Ayo kita pergi, bentuk barisan,” teriak
keras dari ratu.
“Baik ratu, siap laksanakan !,” teriak semua prajurit dengan suara
lantang dan mereka pun langsung membentuk formasi barisan memanjang ke
belakang.
Dan atas cepatnya
kepergian rombongan ratu itu, si semut merah yang memanjat gedung tua itu pun,
akan tiba di puncak gedung sekitar tiga puluh menit kemudian.
Akan bisa tiba lebih
tepat, sebab dia tidak perlu lagi meluangkan waktu dan harus bersusah payah
lagi turun gedung, tuk menemui sang ratu kerajaannya. ( ) cerita fiksi
Komentar
Posting Komentar