GO RIMBANI 3

Anak-anak Didik Banyak Berasal Dari Keluarga Buruh

KEGIATAN belajar-mengejar di komunitas Rimbani telah usai. Kedua bola mata saya melihat sebuah jam yang ada di smartphone, menunjuk angka setengah dua belas lewat. Jadi maklum saja, sebagian besar anak-anak didik di Rimbani sudah mulai membubarkan diri. 

Mereka ada yang langsung memilih pulang ke rumahnya masing-masing, atau juga masih ada yang bersantai-santai di komplek masjid Al-Mugni, Jakarta Selatan.

Detik-detik kumandang azan Zuhur tersiar, saya bersama tiga teman, yakni Asyh Yanti Rahayu, Bedu, dan Lidya Noor menyempatkan diri duduk di pelataran Masjid Al Mugni yang terlapisi batu marmer. Kami duduk bersantai, melepas lelah di tengah keramaian pengunjung masjid lainnya.

Saya menghela napas. Diri ini saya bawa rileks usai mengajar anak-anak kecil, sekolah dasar kelas dua. Maklum saja, bagi saya peristiwa ini adalah sesuatu hal yang baru.

Inilah langkah perdana buat saya, bisa terlibat aktif di kegiatan belajar-mengajar komunitas relawan pengajar Rimbani pada Minggu (15/12/2013). 

(sketsa by budi susilo)

Teringat pepatah yang mengatakan Tak Kenal Maka Tak Sayang, maka saya pun bertanya banyak hal mengenai seluk-beluk visi misi dari komunitas Rimbani. 

Nah kebetulan, mumpung ada orang yang lama berkecimpung di Rimbani, maka saya berkesempatan untuk bertanya-tanya secara mendalam. 

Dari ketiga teman tersebut, Lidya termasuk satu di antara orang yang paling lama, makan asam garam di kegiatan sosial ini. “Saya sudah hampir tiga tahun aktif disini (Rimbani),” kata Lidya.

Tangannya yang sambil memegang perangkat smartphone menjelaskan, kegiatan di komunitas Rimbani diisi oleh para pengajar yang mandiri, tidak dibayar berdasarkan gaji. Tegas Lidya, para relawan harus berangkat dari ketulusan hatinya untuk berbuat baik. 

Syarat agar bisa bergabung di tim pengajar Rimbani sangat mudah. Modalnya hanya keikhlasan mengajar dan tentu juga berbekal ilmu pengetahuan umum. 

“Kebanyakan anak-anak disini sebagian besar masih duduk dibangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama,” urai Lidya.

Menghadapi anak-anak pelajar di Rimbani membutuhkan hati yang super sabar. Sebab jelas Lidya, relawan pengajar pasti akan menemukan sebagian kecil anak-anak yang berkelakuan 'nakal,' Dari sikap dan perkataannya tidak terkontrol baik. 

“Kadang kalau mereka ngomong menggunakan bahasa-bahasa yang kotor. Ya, mungkin gara-gara mereka terpengaruh oleh lingkungan yang sebenarnya bukan untuk mereka,” ungkap Lidya.

Selain itu, ada anak-anak yang datang kesini tidak karena ingin berniat mau belajar, menambah ilmu pengetahuan umum. Mereka maunya hanya sekedar bermain saja. "Tantangan kita ya harus membimbing mereka, supaya bersemangat belajar juga," tegasnya.

Itulah tantangannya, tawaran Lidya kepada saya. Kata dia, para pengajar itu dituntut untuk cerdas dalam membimbing dan memotivasi anak-anak agar mereka mau berkelakuan baik dan mau berubah ke arah positif.

Selama ini kebanyakan dari mereka hidup di lingkungan yang keras. Lingkungannnya sangat tidak mendukung sekali bagi perkembangan dunia anak-anak,” ungkapnya.

Aduh, mendengar informasi itu, saya, Asih dan Bedu pun merasa sedih. Mengetahui cerita itu jadi geleng-geleng kepala karena saking prihatinnya atas kondisi itu. 

Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa hidup di sebuah kota besar sekelas Kota Jakarta, atmosfir lingkungannya tak ramah bagi anak-anak yah ? Yups, pastinya hanya pemerintah yang bisa menjawab akan hal ini.

Bayangkan saja di tahun 2014 ini, mencari lapangan luas, atau taman bermain bagi anak-anak di Jakarta, khususnya mereka yang bertempat tinggal di daerah perkampungan kumuh, adalah sesuatu barang yang mahal. 

Bandingkan dengan anak-anak yang hidup dan tinggal di pedesaan, mereka anak desa masih sangat mudah bermain di tanah yang lapang, bertualang di alam bebas yang rindang menghijau.

Sebagaimana pengalaman yang pernah saya alami saat masih kecil pergi berlibur, mudik ke rumah kakek nenek di Desa Kayuwangi dan Desa Legundi, Semarang, Jawa Tengah. 
 
Dan menurut Lidya lagi, ada beberapa orang tua dari mereka tak memiliki waktu untuk mengurus dan mendidik anak secara berkualitas, mereka di antaranya, ada yang hanya melakukan pembinaan anak-anak dengan ala kadarnya saja.

Kebanyakan kedua orang tua mereka lebih disibukan dengan kerja mencari sesuap nasi. Yang dipikirkan itu bagaimana caranya bisa menyambung hidup dan soal pendidikan dinomor duakan.

Saya pernah datang ke rumah-rumah mereka, ketemu langsung sama orang tuanya. Kebanyakan bekerja sebagai buruh atau tukang jualan kaki lima,” ungkap perempuan berwajah India ini.

Tambahnya Lidya lagi, untuk memberi pelajaran ilmu-ilmu berpengetahuan ke anak-anak tak ada waktu dan memang para orang tua anak-anak banyak yang tak menguasai ilmu agama dan pengetahuan umum.

Kalau belajar mereka hanya di sekolahan dan sama disini (Rimbani). Suasana di rumah sudah beda. Tidak kondusif buat belajar. Kasihan mereka yang malas, pasti akan tambah malas belajar,” ujar perempuan yang hobi membuat kue coklat ini. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN