BUSANA POHON
Busana Pohon
AKULAH pohon yang
mendiami Jalan Pakubuwono Jakarta Selatan. Aku sudah berumur dewasa, tubuh aku
menjulang tinggi hingga mampu menggapai kabel-kabel listrik.
Akulah pohon yang
tumbuh di Jalan Pakubuwono, yang telah memiliki daun-daun hijau rindang
sehingga meneduhi Jalan Pakubowono yang setiap harinya ramai lalu-lalang
kendaraan bermotor.
Akulah pohon
yang eksis di Jalan Pakubuwono, yang
setiap harinya menghirup udara CO2 atau Karbon
Dioksida, dan kemudian aku melepaskannya kembali ke dalam bentuk Oksigen, agar bisa dihirup manusia dan
hewan.
Pohon di daerah Pakubuwono Jakarta Selatan dibaluti kain dari sebuah partai politik tertentu, pada Minggu 23 Maret 2014 (photo by budi susilo) |
Aku melihat langit
Kota Jakarta, ternyata sudah tak lagi musim penghujan. Dahulu di sekitar bulan
Desember hingga Februari 2014 aku setiap
harinya berbasah-basahan diguyur rintik hujan.
Tapi kini tidak lagi,
hujan sudah jarang-jarang terjadi, jumlah guyurannya sudah bisa dihitung dengan
jari, paling seminggu itu hanya dua kali terjadi, itu pun intensitas hujannya
bercurah sedang.
Sekarang ini, di
bulan Maret 2014, aku merasakan bahwa telah masuk musim kampanye partai politik.
Aku sebagai pohon, satu diantara elemen makhluk hidup di bumi ini tak punya
urusan dengan politik. Itu urusan manusia.
Akulah pohon yang
mendiami Jalan Pakubuwono. Makhluk yang menjadi penyeimbang ekosistem
perikehidupan perkotaan yang identik dengan tumbuh suburnya hutan-hutan beton,
banjir, dan kemacetan lalu-lintas.
Akulah pohon, sangat
berbeda dengan sifat dan karekter manusia. Itulah sebabnya, aku tak ada
kaitannya dengan pesta politik demokrasi.
Sangat berbaik hati,
memasuki musim kampanye politik para ‘manusia’ tersebut memberi aku busana yang
berwarna-warni.
Pohon di daerah Pakubuwono Jakarta Selatan dibaluti kain dari sebuah partai politik tertentu, pada Minggu 23 Maret 2014. Kawasan ini selalu ramai aktivitas warga. (photo by budi susilo) |
Sepanjang sejarah, makhluk sebangsa aku tak pernah mengenakan busana, berbalutkan kain-kain halus seperti katun atau sutra.
Cukup ‘bugil’ saja,
bagi aku tak jadi soal. Sebab syukur Alhamdulilah,
Tuhan telah memberi aku lapisan kulit yang keras, walaupun kala disentuh kulit
aku tak sehalus sutra.
Entah kenapa, di
musim kampanye politik, manusia mau berbaik hati melapisi aku dengan busana
kain yang bergambar partai politik dan wajah calon wakil rakyat mereka.
Akulah pohon yang
diam berdiri di Jalan Pakubuwono mendadak bak manusia, dibaluti kain menyerupai
model fashion. Mimpi apa aku semalam,
kenapa manusia mau memakaikan aku busana.
Cara manusia
mengenakan busana ke aku, tak seperti mereka (manusia) menggunakan pakaian.
Tubuh aku dipaku besi, dan juga kadang diikat mati dengan menggunakan tali
rafia dan juga tali tambang.
Agak sakit memang,
tapi jeritan sakit ini tak terdengar mereka (manusia) yang memasang. Aku hanya
berharap, semua manusia yang ada di muka bumi bisa hidup bahagia. Jika semua
manusia hidup sejahterah, maka aku pun ikut bahagia.
Sebab oleh Tuhan Yang
Maha Esa, aku hidup di dunia ini punya tujuan mulia yakni untuk memberikan
kemaslahatan bagi manusia dan binatang agar melahirkan keseimbangan alam
semesta.
Yah sudahlah, kok aku jadi berdakwah seperti pemuka agama samawi ya. Aku hanyalah pohon yang hidup di Jalan Pakubuwono, bukanlah seorang pemuka agama atau lagak manusia yang bijak nan pandai.
Kini, tubuh aku yang
tadinya hanya satu warna, setelah dikenakan busana oleh manusia, tubuh aku tersulap
menjadi lebih semarak, penuh warna-warni. Dan dampak lainnya, setiap hari aku
jadi pusat perhatian di Jalan Pakubuwono.
Semoga dengan kondisi
aku sekarang ini, kalian para manusia bisa senang melihatnya. Jika pun tak
senang dengan kondisi aku yang sekarang ini, mohon doa-nya, agar dosa-dosa di
ampuni Tuhan Yang Maha Esa.
Amin ya robal alamin.
Selamat berpesta demokrasi yah, damai
selalu menyertai kalian (manusia). Dan salam hangat dari aku dan kawan-kawan
ku, pohon-pohon yang hidup di Jalan Pakubuwono tuk kalian para manusia. Sukses
selalu yow ! ( )
Komentar
Posting Komentar