SAMPAH
Sampah
PASTINYA sering mendengar ungkapan bijak kebersihan itu
pangkal kesehatan. Juga ada kebersihan adalah pangkal keindahan dan kebersihan itu
sebagian dari iman seseorang.
Kalimat-kalimat mutiara tersebut, oleh para orang tua selalu
didengungkan ke putra-putrinya, sejak dini anak-anak generasi muda tak alpha
untuk diajarkan. Bahkan rajin pula di sampaikan dalam setiap mata pelajaran di lembaga
pendidikan formal Sekolah Dasar.
Bicara soal kebersihan, semua orang pasti menginginkan bersih. Tak hanya bersih
lingkungan, namun juga bersih dalam segala hal, termasuk bersih hati dalam
diri.
![]() |
(repro budi susilo) |
Namun apa yang terjadi, kadang slogan itu hanya
sebatas slogan. Di dunia kenyataan, masih saja ada beberapa orang yang
menganggap hal itu sebagai kalimat emas saja.
Terbukti, mengenai persoalan sampah, warga perkotaan
umumnya tak hirau akan ancaman bahaya sampah, padahal fakta sebaliknya, sampah
itu sebenarnya ‘musuh’ dari orang-orang yang gandrung akan kebersihan.
Sampah yang menumpuk, sebagai bukti orang telah
meniadakan kebersihan. Sampah yang beredar bebas, pertanda kebersihan telah
lenyap. Sampah yang dibiarkan, berarti benci terhadap kebersihan.
Persoalan sampah seakan tak ada ujung penyelesaian,
dari jaman dahulu hingga kini masih saja sampah sebagai dilema kehidupan, yang
seringkali pemerintahnya sebagai objek yang sering disalahkan.
Sampah tak melulu identik dengan buangan dari rumah
tangga, atau buangan sampah pabrik industri, tapi kini istilah sampah sudah
merembet ke sampah yang bernama, ‘sampah masyarakat’.
Orang yang sering membuang sampah di sembarang tempat,
dianggap orang tersebut juga sudah menjadi bagian terminologi ‘sampah
masyarakat’, sebab telah merugikan banyak orang dan merusak lingkungan alam.
Sebenarnya jikalau berpikir kreatif dan positif, sampah
itu bisa dianggap sebagai sahabat. Sampah bisa membawa manfaat, bukan bencana
bagi manusia dan lingkungan.
Asal mau berinovasi, sampah-sampah bisa diolah jadi
bahan yang berguna. Di antaranya bisa jadi pupuk kompos, barang seni kerajinan,
atau barang daur ulang yang bisa disulap jadi barang baru dan berguna.
Di Indonesia sendiri, rasanya agak aneh. Peraturan
dilarang buang sampah sudah tertulis secara formal, begitu pun kata-kata bijak
kebersihan banyak beredar luas di tengah masyarakat, tetapi tetap saja,
pencemaran sampah masih ada dan selalu membawa derita.
Ibaratnya, ada prinsip “buanglah sampah pada Indonesia”.
Berbeda dengan di negara Singapura, prinsipnya “buanglah sampah pada tempatnya”.
Heran, orang-orang ketika berada di negara Singapura, mau terpanggil untuk disiplin
menjaga kebersihan.
Di Singapura orang tidak ada yang berani membuang
sampah sembarangan, sebab resiko buang sampah sembarangan di Singapura
ancamannya kena pidana penjara dan denda uang yang besar.
Contoh kecil di Singapura, orang ketika pergi ke
toilet umum, kemudian lupa untuk menyiram dari hasil buangannya, maka orang
tersebut akan dikenai denda jutaan rupiah.
Dan salutnya, orang Indonesia ketika berada di
Singapura bisa mematuhi aturan tersebut. Tetapi sekembalinya ke Indonesia,
kadang gaya hidup bersihnya langsung ambruk, kepeduliannya hilang begitu saja.
Kenapa bisa terjadi demikian ?
Lihat saja, sungai-sungai yang ada di Indonesia,
terutama sungai di Jabodetabek kala saat musim hujan, banyak sampah-sampah
berenang bebas mengalir menuju ke lautan.
Tak tanggung-tanggung, kadang sampah yang dibuang itu
barang-barang seperti di antaranya ada kasur, lemari kayu, dan perabotan rumah
tangga lainnya.
Gambaran lain di Amsterdam Belanda, orang kalau mau ke
sungai pasti mau ‘buang uang’ demi mendapatkan kenikmatan hidup bersantai ria
di cafe yang berdiri di pinggiran sungai.
Beda dengan di Jakarta, kalau orang mau pergi ke
sungai pasti mau ‘buang hajat’. Aktivitas ini terbilang nikmat, karena bisa
membuat lega pada bagian perut dan juga ini gratis tanpa dipungut biaya.
Maka tak heran pula, sungai-sungai di Jakarta sering
dihiasi ‘batangan emas’ mengambang. Di sisi lain, bagi hewan ikan sungai
tertentu, seolah menjadi berkah tersendiri, yang berarti pasokan pangan
terpenuhi.
Sekarang jikalau air sungai sudah meluber akibat
aliran mampet karena sampah, serta langsung membanjiri pemukiman penduduk, maka
yang repot sebenarnya masyarakat itu sendiri.
Dan kalau sudah terjadi ini, kubu pemerintah siap-siap
sedia kain tisu untuk mengusap air mata yang akan membasahi pipi. Karena jika
banjir telah melanda, biasanya pemerintah yang sering jadi kambing hitamnya.
Karena itu langkah tegas dari pemerintah sesungguhnya
juga harus dibuktikan dengan diimbangi dari kesadaran warganya untuk cerdas
menjaga kebersihan lingkungannya.
Aturan hukum yang sudah tertulis secara formal harus
segera ditegakan. Tindak tegas bagi mereka yang terbukti melanggar. Hukum
seberat-beratnya tanpa tebang pilih agar ada efek jera, tak lagi membuang
sampah di sembarang tempat.
Asalkan tujuan penegakan hukum demi ciptakan kehidupan
masyarakat yang disiplin dan bersih, maka otomatis warga masyarakat secara
keseluruhan akan mendukung penuh.
Peraturan ada bukan untuk dilanggar. Peraturan
diciptakan untuk memberikan kesadaran dan memunculkan kepedulian, bahwa
persoalan sampah bukan sesuatu hal yang disepelekan.
Namun sampah itu harus bisa dikendalikan secara baik.
Satu di antaranya dengan cara, buanglah sampah pada tempatnya agar hidup ini
indah, bersih, dan sehat sentosa. ( )
Komentar
Posting Komentar