KEMACETAN LALU LINTAS
Kemacetan
Oleh: Budi Susilo
Habitat disebut hutan jika tanpa ada kemacetan lalu-lintas. Anak kecil mungkin tahu semua ini, kalau kepadatan kendaraan bermotor itu hanya dikandung oleh Ibukota dan turunan-turunannya, yakni kota dan sebagian kecil kabupaten.
Untuk daerah-daerah kota dan kabupaten di Pulau Jawa lebih gila, sehari-hari pasti menemui kemacetan lalu-lintas. Auman mesin, kabut asap knalpot dan silauan lampu sen merupakan unsur-unsur yang menjadi kawan yang dibenci setiap hari.
Penat dengan lingkungan macet. Bosan, rasa ingin menjauh dari hiruk-pikuk kepadatan kendaraan, jangan sungkan-sungkan untuk pindah ke hutan belantara, dijamin akan bebas macet, polusi dan desing mesin.
Showroom otomotif di Kota Manado menawarkan mobil tipe baru (photo by budisusilo) |
Kemacetan sebenarnya masuk dalam ‘penyakit kota’ yang harus diatasi. Ini tanggungjawab Gubernur beserta jajaran yang ada ditingkatan bawah. Pemerintah daerah memiliki peran penting sebagai pengatur kota yang aman dan nyaman.
Berkaca pada Kota Jakarta, Tangerang, dan Bekasi sudah ‘stadium empat’ butuh ekstra kesabaran untuk mengatasi kemacetan kendaraan. Masyarakat kita setiap hari rutin ‘makan’ kemacetan.
Umpatan terhadap kemacetan selalu saja menghiasi jejaring sosial milik warga penghuni kota, baik di facebook atau juga twitter. Kekecewaan ini kebanyakan mereka tujukan kepada pengendara pengguna jalan, polisi, DLLAJ, ‘polisi cepek’ dan kadang Gubernur.
Cercaan tersebut sering muncul di pagi hari, saat jam-jam sibuk masuk kantor, apalagi jika ditambah dengan cuaca yang tak bersahabat berupa turunnya curahan air hujan deras dan terjangan angin kencang, maka unek-unek warga semakin signifikan.
Sudah macet, becek, kadang harus rebutan jalan dengan tukang ojeg, sungguh menderitanya hanya mampu berjalan merayap karena padat. Dan tiba-tiba di depan perlintasan, belum lama menjauh dari lokasi jalan becek, ketemu lintasan jalan yang semakin parah, macet total bin mematung, akibat jebakan ambrukan papan reklame. Tentu, semakin maksimal saja penderitaannya, sungguh dilema.
Setidaknya, ‘omelan’ warga terhadap kemacetan tersebut, adalah bentuk bukti penunjukan sikap budi pekerti luhur seorang warga negara. Masih mau memberi santapan ‘kripik pedas’ kepada pihak-pihak berwajib seperti polisi, gubernur, dan kementrian perhubungan RI, agar semangat bekerja dalam membasmi ‘setan laknat’ bernama kemacetan kota Jakarta.
Sekali lagi, jika sebatas keluh-kesah tak masalah. Asal jangan kelewat batas, meluapkan kekesalan karena keruwetan lalu-lintas Jakarta, kemudian melabrak aturan-aturan hukum formal yang berlaku. Merasa kebal hukum, mengaku sebagai ‘anak jendral’ di republik ini, pakai jalan ‘se udele dewe’ (seenaknya sendiri).
Ada yang bilang kemacetan itu hal lumrah dalam kehidupan perkotaaan. Tanpa kemacetan di suatu daerah berarti menandakan wilayah mati, tanpa pertumbuhan progresif. Tetapi, apakah semudah ini penilaiannya ?, dan kemudian, apakah sebuah kota dapat dikatakan berkembang maju bila diukur dari tolak ukur kemacetan kendaraan bermotor ?
Rasanya tidak. Jika mengambil pelajaran penting di beberapa kota negara maju seperti di antaranya Jepang, Singapura, Jerman dan Belanda, dapat menjamin arus lalu-lintasnya aman dan nyaman, tanpa ada kemacetan yang mencolok.
Di Indonesia saja, ada sebuah wilayah kecil di provinsi Sulawesi Utara, bernama Kota Manado, kala senja di jam orang pulang kerja mengalami kemacetan. Padahal diukur pertumbuhan ekonominya masih biasa bila dibandingkan dengan kota-kota di daerah Pulau Jawa.
Semua orang pasti setuju bila kemacetan lalu-lintas di perkotaan harus dibumi hanguskan. Orang berpergian ke luar rumah tentu dapat dijamin keamanan dan kenyamanannya. Mudah mencari moda transportasi, waktu tidak terbuang lama di jalanan, dan dapat selamat sampai tujuan.
Pertanyaannya, apakah kemacetan seperti di Jakarta dapat teratasi. Kemudian terjaminkah, di jalanan Jakarta bersih aksi-aksi kriminalitas. Lalu, apakah ketika berpergian dapat terukur daya tempuhnya. Dan sampai kapan, cita-cita tata kota lalu-lintas yang nyaman dan aman di Jakarta terwujud dengan baik.
Pertanyaan-pertanyaan demikian sering timbul dalam benak warga-negara yang lahir dan beranak pinak di Jakarta. Yah, Jakardah (Jakarta Gundah), beginilah anak-anak muda jaman sekarang sering menyebutnya.
Tak hanya Jakardah, mungkin juga di daerah-daerah yang lain tentu mengalami hal serupa, di dalam pikiran sering muncul pertanyaan-pertanyaan problematika kaum urban karena galau terhadap kemacetan.
Biang kemacetan juga tampak di daerah yang kondisi jalannya rusak parah. Di luar Jakarta, ayakni daerah Pantura setiap tahun selalu dilakukan perbaikan jalan, demi kelancaran arus mudik pulang kampung. Yang jadi pertanyaannya, kenapa tiap tahun jalan ini selalu digarap, kemacetan pun akhirnya tak dapat dihindarkan.
Asumsinya, apakah hal tersebut proyek tahunan, jatah untuk oknum-oknum tertentu. Memang jelang lebaran, bagi mereka orang-orang yang masuk dalam golongan katrok’ akan memperoleh limpahan makanan, dari kue parcel sampai kue (proyek abadi) pantura.
Kecelakaan lalu-lintas di Jalan Maramis Kota Manado (photo by budisusilo) |
Bukan bermaksud ingin sanjung-sanjung secara hiperbola, atau memuja-puji perkotaan negara Jepang dan Jerman. Tetapi mari belajar dari kedua negara ini, ternyata mampu mengatasi penyakit kota yang bernama kemacetan, meski geliat ekonominya bergerak cepat dan luar biasa.
Selangkah lebih maju, mampu atasi kemacetan dengan solusi penguatan transportasi massal melalui diversifikasi angkutan umum. Di Jepang dan Jerman tersedia angkutan umum yang handal dan nyaman, tak heran kemacetan di perkotaan jarang terjadi.
Orang-orang tidak lagi membawa kendaraan sendiri. Telah menjatuhkan hati pada kendaraan umum, kala berpergian. Penumpukan jumlah kendaraan yang beredar di perkotaan dapat tertangani, arus lalu-lintas pun agak lowong, tak lagi padat macet.
Usaha atasi kemacetan kota juga sudah mulai dilakukan oleh beberapa pemerintahan daerah. Di Jakarta kini sudah mengaplikasikan jalur busway sebagai arena angkutan bus Transjakarta berkoridor. Tak hanya ini, di tahun 2015 pun, pemerintah manargetkan pengadaan fasilitas angkutan umum monorel di Jakarta.
Angin segar juga datang dari Yogyakarta dan Solo. Daerah ini akan memantapkan pengadaan transportasi publik sebagai langkah solusi atasi kemacetan kota.
Rencana ini akan diwujudkan pada tahun 2014, dengan membangun jaringan rel kereta listrik sepanjang 120 kilometer yang melayani jurusan Yogyakarta-Solo.
Inginnya, warga republik ini dapat merasakan fasilitas publik yang memadai. Segala aktivitas dapat dilakukan secara lancar dengan daya dukung infrastruktur yang handal, lengkap dan terjamin baik.
Sekarang tinggal menunggu kemauan politik dari para pemangku pemerintahan, apa mau membenahinya ? Jika tidak, maka masyarakat tentu akan apatis, tak lagi mempercayai lembaga pemerintahan. Sungguh terlalu, jangan sampai terjadi demikian. ( )
Komentar
Posting Komentar