RAMADAN MEREVOLUSI KEHIDUPAN

Ramadan Merevolusi Kehidupan
Oleh: Budi Susilo

Kota Tangerang Juli 2013
Marhaban ya Ramadhan. Ramadhan telah tiba. Meski ada silang pendapat mengenai jadwal pelaksanaan, puasa Ramadhan tetap ada. Gegap-gempita warga Indonesia serta dunia, begitu luar biasa dalam menyambut bulan penuh berkah ini.

Karena pahala-pahala ganda sangatlah dekat dengan kaum muslim yang berpuasa di Ramadhan kali ini. Inilah istimewanya, yang tak ada di bulan-bulan lain. Harapan ridho dari Allah, selalu digantungkan oleh hamba-hambanya yang beriman.

Ya Allah, bangsa Indonesia melalui Ramadhan ini tidak ingin melenceng jauh dari cita-cita revolusi seperti Hidup Layak, Kemerdekaan, Kemanusiaan dan Keadilan Sosial.

Yakin, Tuhan merestuinya, bangsa ini mampu menggapai revolusi yang di cita-citakan, dan Tan Malaka pun jauh-jauh hari dalam tulisannya di Naar de Republiek (1925) juga mempercayai, bahwa “Pergerakan revolusioner di Indonesia selalu masih ada.”

Sebab katanya, diperjelas lagi oleh Tan Malaka di bukunya Aksi Massa (1926), “Revolusi ialah disebabkan oleh pergaulan hidup, satu hakekat tertentu dari perbuatan-perbuatan masyarakat.”

Kehidupan dunia semakin keras, nilai-nilai peradaban berbasis moral dan iman agama banyak yang luntur begitu saja, diterpa nafsu dunia yang merusak. Ini tidak lain pengaruh pola pikir yang membayangi para insan yang rendah imannya.

Sebab model manusia ini, tolak ukur kehidupannya adalah nilai-nilai materialistik yang sungguh liberal. Kekuataan uang seolah berubah menjadi mesin utama dalam kehidupan ini. Dengan uang melimpah, apa pun itu dapat dilakukan. Uang jadi tolak ukuran seseorang.

Melalui uang, orang dapat berbuat seenaknya. Dengan uang, yang hitam bisa jadi putih, yang putih bisa jadi hitam. Orang-orang menganggap uang sebagai kiblat hidup, padahal ini bukti  melencengnya hakikat kehidupan manusia dari nilai-nilai sosial religi, karena sudah menganggap uang adalah Tuhan.

Dilema ini telah menggurita di lini kehidupan masyarakat. Agama, budaya, etika moral dan rasionalitas seolah tak mampu lagi membendung penyakit materialistik yang telah disanjung-sanjung secara berlebihan.

Ini seperti agama baru bagi manusia, yang ujung-ujungnya dapat membuat kehancuran manusia itu sendiri. Imbasnya, yang seharusnya kehidupan diselimuti atmosfir keberadaban, tetapi terjerembab oleh ‘kota korup’ (citta corrottisima) seperti yang dikatakan oleh Machiavelli atau juga kata Al Farabi disebut ‘kota jahiliyah’ (al madun al jahiliyyah). 

Hidup layak, semua orang menginginkan hal ini, tapi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa. Sisi lain, ada beberapa orang yang hanya sebatas mimpi, hidup dalam penderitaan, tak sesuai hak-haknya.

Bekerja, menjadi buruh pabrik disiksa teraniaya. Ini baru-baru, pernah terjadi di daerah Tangerang Provinsi Banten. Kegiatan kapitalnya membahayakan bagi para pekerja, merusak jiwa raganya, sedangkan yang mempekerjakan merasa tak peduli seperti kehilangan akal warasnya.

Keserakahan pemilik modal dan penguasa memusnahkan hak-hak orang kecil tak berdaya, tak ubahnya sedang menggelar kiamat kecil di dunia. Keburukan ini tentu berdampak pada mereka yang miskin. Yang miskin tetap miskin, bahkan kualitas miskinnya semakin akut.

Berpikir secara jernih ! Harusnya mereka penguasa mampu menempatkan hak pekerja secara benar. Bila kewajiban pekerja sudah dilaksanakan secara maksimal dan menghasilkan nilai yang memuaskan, berilah secara layak, agar ada saling menguntungkan satu sama lain.

Hidup layak bagi manusia intinya, ia dapat hidup dengan aman, tentram dan sentosa. Mampu menghidupi dirinya juga menghidupi orang lain, bagian dari wujud kedaulatan hidup seseorang yang dapat dikatakan sebagai hidup layak. Meminjam pendapat pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan, “menghargakan kebaikan dalam hidup.”

Lain lagi dunia praktik politik saat ini pun tak menampakan kelayakan hidup. Politik itu sebenarnya suci, starategi untuk menggapai kebaikan cita-cita bersama. Tetapi kembali ke manusianya, menjadikan politik sebagai kehidupan yang tidak layak, sebab tujuan utamanya adalah golongan yang kuat harus semakin kuat, sedangkan mereka yang golongan lemah harus tetap pada posisi yang lemah, bahkan harus dilenyapkan.

Umumnya orang-orang sudah menilai dunia politik itu bukan praktik kehidupan yang layak bagi manusia. Satu sama lain saling sikut-menyikut, bila berbeda secara mendasar wajib disingkirkan. Fenomena ini terjadi, sebab tujuan berpolitiknya sudah melenceng dari niat luhur, yakni mewujudkan hidup yang layak bagi semua.
Laksana surga, Indonesia menyimpan banyak kekayaan bumi. 

Ironisnya, ada beberapa masyarakat yang hampa menikmati kekayaan alam tersebut. Hidup miskin terpinggirkan, pendidikan yang layak adalah barang langka, sulit peroleh sandang, pangan dan papan, padahal hidup di atas bumi yang kaya raya sumber daya alamnya.

Di konstitusi, mengkumandangkan akan prinsip hidup layak bagi rakyat Indonesia. Seperti bumi, tanah, air dan udara dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Anak-anak terlantar dan fakir miskin, dipelihara negara untuk hidup layak. Tetapi apakah sudah terbukti ?

Bencana alam yang datang seperti gempa bumi, gunung meletus dan angin topan badai bagian dari teguran Tuhan. Berpikir positif, maksud Tuhan itu tentu saja bukan menjadikan hidup manusia tak layak, tetapi sebagai peringatan untuk pertobatan manusia yang bergaya serakah penuh hina.

Setiap manusia menginginkan merdeka. Kata merdeka sudah popoler sejak negara Indonesia dijajah kaum-kaum kolonial seperti Belanda dan Jepang. Kini yang menjajah tak hanya dari luar negeri, dari bangsa sendiri juga.

Kesadaran akan nilai-nilai kemerdekaan harus dipahami oleh setiap masing-masing individu. Bila tak ada prinsip ini, tentu saja kata-kata merdeka tak ubahnya gaung tong kosong nyaring bunyinya.

Aset ekonomi Indonesia belum merdeka, masih ada beberapa aset penting yang dikuasai asing. Aset budaya juga, diserang habis-habisan dari luar negeri. Efek globalisasi yang genjar membuat serangan budaya dari negara lain mudah masuk dari Indonesia.

Mirisnya, budaya sendiri tidak mampu dipertahankan, lebih memilih budaya yang berbau asing, yang katanya dibilang lebih keren meski kadang ada yang bertentangan dengan budaya-budaya orang timur.

Merdeka dalam segala hal, itu penting bagi semua manusia !. Meraih kemerdekaan, diperbolehkan asal tidak melanggar hak-hak orang lain. Merdeka ibarat kebebasan, tapi dalam memperolehnya, jangan merampas kemerdekaan orang lain, harus berani bertanggungjawab. Kemerdekaan itu intinya ialah menata kehidupan manusia agar lebih baik dari sebelumnya, kehidupan lebih baik untuk hari ini, juga kehidupan di masa mendatang.

Untuk itulah, mencapai usaha kemerdekaan diperlukan pondasi dasar kemanusiaan. Setiap orang yang berbekal rasa kemanusiaan tentu saja akan memperlakukan seseorang dengan rasa kemanusiaan, memanusiakan manusia, sebagaimana filosofi dari tanah Minahasa, Si Tou Timou Tumou Tou yang digagas oleh pahlawan nasional Indonesia bernama Sam Ratulangi.

Bukan sebaliknya, membinatangkan manusia. Karenanya, sifat-sifat hewani yang lebih mengatasnamakan hawa nafsu tentu jangan tertanam pada kepribadian manusia. Hancur leburlah kehidupan bumi ini, jika manusia sama dengan sifat-sifat hewan.

Manusia dengan hewan tentu saja diciptakan secara berbeda oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh hina dina jika manusia tak jauh berbeda dengan binatang. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang terbaik, sebagai kalifah (pemimpin) di muka bumi ini.

Seperti disinggung dalam al-Quran Ali Imran ayat 110, “Engkau adalah umat terbaik dan dilahirkan untuk manusia. Engkau menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”

Tuhan telah memberikan manusia berupa daya pikir kecerdasan dan hati nurani. Melalui modal ini, manusia mampu memanfaatkannya dengan mengandalkan rasa sifat-sifat kemanusiaan di dalam mengadapi dinamika kehidupan.

Heran bila manusia satu sama lain, bersaing satu sama lain untuk memusnahkan, menindas saling melenyapakan. Kalau hanya bertarung siapa yang kuat ia pemenangnya dan yang kalah menjadi musnah, ini tak jauh berbeda dengan sifat kebinatangan, hukum rimba yang berbicara.

Filosofinya, manusia dalam seleksi alam bertekad tetap untuk bertahan dan mampu dalam berkompetisi secara elegan, dengan tidak melupakan rasa kemanusiaan. Perwujudan ini tertuang dalam praktek bertarung memenangkan pertandingan, tanpa harus melemahkan lawan, membimbing lawan untuk menjadi kawan.

Sebab berdasar pengalaman filosof muslim, Ibnu Khaldun, bahwa kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berpolitik itu bukan sebagai ajang pertentangan antara berbagai kelompok manusia, akan tetapi sebagai ajang kerjasama dan tolong-menolong untuk kepentingan bersama.

Tak ayal, nilai-nilai kemanusiaan juga tidak dapat dilepaskan dari partikel moral yang bernama kejujuran. Prinsip jujur mendorong orang untuk selalu komitmen dalam penegakan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa kejujuran orang akan selalu menipu, berbohong demi kepentingannya. Orang berbohong tindak tanduknya itu adalah bagaimana cara untuk memusnahkan yang lainnya, karena alasan terdapat perbedaan dari kepentingan dirinya.

Anak dari Wahid Hasjim yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Salahuddin Wahid berpendapat, jujur adalah kunci segalanya. Semua karakter unggul tidak ada artinya kalau tidak jujur. Kepandaian tidak ada gunanya kalau tidak jujur. Yang ada nantinya hanya menjadi koruptor dan menipu bangsa sendiri. Semoga kita semua mampu memeluk ruh kejujuran dalam jiwa sanubari kita, demi keselamatan hidup pribadi kita dan orang lain.

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah disinggung jelas mengenai Keadilan Sosial. Kalimat ini telah populer di masyarakat Indonesia, bahwa dalam bermasyarakat yang namanya keadilan sosial mesti dipraktekan dalam kehidupan.

Pertanyaannya, sudahkah keadilan sosial membumi di Indonesia. Lalu seperti apa wujud keadilan sosial, karena tiap individu-individu memiliki pendapat berbeda. Ada orang yang sudah mengatakan, bahwa keadilan telah ada, tapi di sisi lain, masih ada yang menganggap belum ada keadilan.

Menurut pengertian, keadilan itu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya. Jika kemudian ada sesuatu tidak pada tempatnya, akan timbul protes keras, bahwa keadilan telah tergadaikan. Harus direbut, kembalikan ke jalan yang sesuai maka keadilan sudah dapat dikatakan tegak, setegak-tegaknya.

Kasus yang terjadi, antara hak dan kewajiban semestinya seimbang, seirama berjalan, namun kadang ada yang timpang. Kewajiban sudah berjalan baik, namun tanpa diimbangi pemberian hak-hak, maka ini bagian dari pencederaan prinsip keadilan sosial. Sebaliknya ada hak sudah diberikan, namun kewajiban tidak dijalankan, sama halnya ini merusak tatanan keadilan sosial.

Sekarang ini jaman yang beragam. Proses dinamisasi tak mati, selalu berjalan mengikuti kebutuhan jaman, yang satu sama lain ada kesamaan dan perbedaan. Keadilan sosial jadi satu elemen penting untuk ciptakan harmonisasi kehidupan. Mustahil dunia ini akan tetap eksis jika tanpa keadilan.

Di dalam kitabnya Zhafir al Qasimi berjudul al-Hayah Ad Dusturiyah (hal 99), ulama muslim Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Keadilan adalah sistem segala sesuatu. Jika perkara dunia ditegakan dengan keadilan, maka dia menjadi tegak, meskipun pelakunya tidak mendapatkan bagian di akhirat. Namun jika keadilan tidak ditegakan, maka dia tidak akan tegak, meskipun pelakunya memiliki iman yang akan diberikan balasannya di akhirat.”

Menumbuhkan rasa keadilan itu dapat dibangun dari pribadi masing-masing dengan mengandalkan hati dan pikiran rasional. Melihat secara jernih, objektif dan arif berpikir, maka keadilan itu dapat ditemukan, serta dapat diterima oleh berbagai pihak yang berkepentingan, tanpa ada lagi konflik memperebutkan kepentingan.

Mari kita mencoba ini semua agar dapat merasakan emansipasi kesadaran dan bangkit dari ranjang ketidaktahuan, seperti apa yang pernah dikatakan oleh filusuf pencerahan (aufklarung) Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Semoga berhasil, sukses selalu, amin ya robal alamin ! ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN