KETIDURAN

Ketiduran

SEBAGIAN orang bilang, ketiduran di puasa Ramadhan hal yang lumrah, kala beraktivitas di keseharian penuh. Jika bicara waktu, tak pandang buluh, rasa kantuk Ramadhan juga bisa muncul kala tak ada kerjaan saat momen liburan kerja. Isi waktu liburan dengan tiduran, sungguh surga dunia yang patut disyukuri semua insan.

Kantuk di Ramadhan juga menyerang siapa saja, tidak mengenal jenis profesi, kecuali mereka yang membohongi diri sendiri, berpura-pura puasa dengan trik mengantuk supaya dinobatkan sebagai golongan orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Maklum saja, di cap religius tentu akan mendongkrak pencitraannya di jagad dunia, mungkin bahasa remaja jaman sekarang orang narsismus erectus, ha ha ha. Karena tujuan hakikat pencarian kehidupan akhirat di nomor urutan paling buncit saja.

Ketiduran itu untuk makna kata kerja yang tidak disengaja. Tapi apa jadinya yang sedang memegang tanggungjawab profesi berat, melegalkan kata ketiduran ini sebagai pemutihan dosa saat melakukan tidur di jam kerja. Pastinya bahaya, sangat melanggar prinsip profesionalisme !

Kerja dengan tiduran hanya dimiliki oleh polisi, profesi yang lain seperti anggota dewan dilarang keras. Pengecualian berlaku hanya untuk polisi yang dimaksud ialah ‘polisi tidur’. Siapa yang tidak kenal polisi yang satu ini, sangat populer di tengah masyarakat seluruh Indonesia.

Kerja 24 jam non stop, setiap hari eksis, walau kondisi cuaca hujan atau panas, juga penanggalan masehi hitam maupun merah, tetap bekerja dengan cara tiduran di jalan-jalan.

Aneh jikalau terjadi ke profesi yang lain, bekerja untuk tidur, bukan bekerja dahulu lalu tidur. Siapa yang paling sering lakukan ini, tidak lain mereka ‘pejabat berdasi’, para dewan yang katanya terhormat duduk di gedung senayan.

Ramadhan ini, beberapa legislator Republik Indonesia ketahuan molor oleh para awak media masa. Ketiduran di persidangan kala membahas tentang kerakyatan, sungguh keterlaluan !

Ketiduran itu memang manusiawi, soalnya bukan malaikat apalagi Tuhan, tapi setidaknya para dewan dapat berperilaku seperti Superman, pahlawan rakyat yang tak kenal lelah.

Kalau memang begitu, rasanya mereka yang asik tidur harus dikenai bayaran pajak agar adil dan bijaksana, bukan membajak sana-sini. Dan berarti selama ini, kita membayar pajak untuk membiayai orang-orang yang suka bekerja ketiduran nyenyak di persidangan. Ini namanya celaka tiga belas.

Padahal, rakyat di luar gedung dewan menjerit terlilit ekonomi sulit. Harga-harga pakan di pasaran pada bulan Ramadhan sungguh edan, harganya diluar batas kewajaran jaman kala belum ada fesbukan dan twitteran. Astagfirullah ! ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN