KERANDA MATI SAWAH PADI GORONTALO

Keranda Mati Sawah Padi Gorontalo


Selama tinggal di Gorontalo, sering aku mendengar program dari pemerintah yang berkomiten memajukan dunia pertanian Gorontalo. Seminar-seminar atau workshop bertema agrobinis juga agroindustri sering ditemui di Gorontalo Indonesia kita.

Satu di antaranya niatan suci Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo yang memiliki visi tahun 2012 hingga 2017, dalam mewujudkan pertanian yang maju demi peningkatan ekonomi masyarakat.

Tidak hanya itu saja, saking semangatnya, pernah Sekertaris Daerah Provinsi Gorontalo Winarni Monoarfa mengutip pernyataan dari Ir Soekarno dalam seminar nasional dan lokakarya mengenai Kedaulatan Pangan di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.

Kalimat yang ia kutip itu ialah “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka, oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal dan revolusioner.”

Dari pendapat Presiden Republik Indonesia pertama itu, ia memaknai mengenai fungsi negara atau pemerintah, yang harus mampu menyelesaikan ketahanan pangan agar mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya. 

Wajar saja, hal demikian itu begitu terasa di Gorontalo. Karena daerah yang berjulukan Bumi Hulandalo ini memiliki potensi sektor ekonomi pertanian, sumber daya alam bidang ini, sangat mendukung sekali.

Namun ironinya, keluhuran perjuangan memajukan dunia pertanian Gorontalo mulai bergeser, terbukti lahan-lahan sawah mulai sirna. Ini terjadi di ibukota Provinsi Gorontalo. 

Memang sudah lumrah, mempertahankan lahan pertanian di sebuah perkotaan sulit dilakukan jika tanpa diiringi kemauan politik pro pertanian yang kuat. Ini tidak terjadi hanya di Kota Gorontalo, termasuk di kota-kota besar seperti di tanah Jawa dan Sumatera mengalami hal serupa.

Lalu bagaimana dengan program kerja pemerintah dan masyarakat yang menginginkan penuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri ? Apakah bisa menjamin berhasil ? Dan mampukah mewujudkan pertanian yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat ?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan hal itu, mari kita lihat saja dalam tataran praktis di lapangan, terutama dalam tatanan kehidupan perkotaan. Mengacu pada data Gorontalo dalam angka 2011, lahan sawah terkecil ada pada di Kota Gorontalo seluas 916 hektar, sedangkan yang terbesar masih ditempati Kabupaten Gorontalo yakni 13.114 hektar. Ke depan, masihkah data luasan sawah itu jumlahnya akan tetap, berkurang, atau malah bertambah ?

Melihat itu, rasanya mustahil untuk mengembangkan dunia pertanian yang mapan di Kota Gorontalo. Semoga saja, di kabupaten-kabupaten Gorontalo lainnya tidak mengikuti jejak geliat daerah perkotaan tersebut. 

Secara tidak sengaja, pagi hari aku jalan-jalan menyusuri Kota Gorontalo di Jalan Tinagola, Kelurahan Dulomo Selatan, Senin (29/4/2013). Pemandangan yang aku lihat di daerah ini, harusnya tidak perlu terjadi. 

Yakni daerah ini kembali kehilangan lahan sawah, telah rata dengan tanah puing-puing bebatuan. Namun persoalannya, lahan itu milik orang lain, jadi tidak bisa berbuat banyak. 

Truk-truk DM Gorontalo yang berwarna-warni menumpahkan tanah dan puing ke wajah lahan sawah. Secara bergantian truk-truk datang silih berganti membawa puing-puing lalu menaruhnya di sebuah lahan yang tadinya areal sawah padi. 

Rombongan truk-truk berukuran sedang itu mengangkut pasir berbatuan, tanah puing-puing yang diambil dari perbukitan di daerah Kelurahan Tenilo Kecamatan Kota Barat, Jalan Kancil Kota Gorontalo. Sempat aku telusuri, jarak dari tempat ini ke areal sawah dapat ditempuh sekitar 15 menitan melalui jalur darat. 

Tanpa sungkan, buldoser pun meratakan lahannya. Debu berterbangan. Fajar pagi bersaksi. Angin pun bertiup lalu-lalang. Inilah momen Dulomo Selatan, yang telah 'mati' lahan sawahnya. 

Nasib serupa sudah pernah terjadi. Lahan disebelahnya itu, juga sudah jadi daratan, bahkan telah dibangun beton bertingkat untuk pembangunan kantor Pengadilan Tipikor Provinsi Gorontalo. 

Inikah cikal bakal sebuah fenomena yang bernama keranda mati persawahan Kota Gorontalo ? Bila sudah demikian, yakinkah Gorontalo Indonesia kita mampu wujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan ? Mampukah produksi beras Gorontalo 'berbicara' di tingkat nasional bahkan internasional ?

Padahal isu statergis pertanian Gorontalo, satu di antaranya masih terbatasnya infrastruktur prasarana dan sarana pertanian serta rendahnya kepemilikan lahan pertanian.

Lihat saja perkembangan produksi padi dari Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo pada tahun 2011, luas panen capai 52.811 hektar dengan capaian produksi 273.921 ton. Bandingkan tahun sesudahnya, di 2012, luas panen hanya 51.164 hektar dengan kemampuan produksi sebesar 245.357 ton.

Nasib petani dan pertanian Indonesia, ada dalam kemauan masing-masing rakyat Gorontalo Indonesia kita. Masih adanya permasalahan pertanian antara lain mengenai kepemilikan lahan, modal, birokrasi, dan kebijakan agraris, semuanya bermuara dari pemerintah daerah bersama rakyatnya, bagaimana caranya mengatasi ancaman kedaulatan pangan di era perubahan iklim global yang semakin mengkuatirkan. ( )

 
Lahan sawah padi masih dapat terlihat, Kamis (18/4/2013) (photo by budi susilo)

Lahan sawah telah berubah menjadi daratan, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Lahan sawah telah disulap menjadi daratan, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Lahan sawah di Kota Gorontalo mulai berkurang, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Meratakan lahan sawah menjadi daratan bertanah keras, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Truk-truk menumpahkan puing-puing di lahan sawah, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Truk mengambil puing-puing di daerah Kelurahan Tenilo Kota Gorontalo, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Jembatan Molosipat pengubung ke daerah Tenilo, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Bukit di Tenilo jadi sumber puing-puing yang akan meratakan lahan sawah, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Perbukitan di keruk habis untuk dijadikan bahan reklamasi bangunan beton, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)

Perbukitan di Kota Gorontalo juga mulai berkurang, Senin (29/4/2013) (photo by budi susilo)





Komentar

  1. tulisan yg menarik..
    jalan tinaloga mmg awalnya di desain untuk menjadi komplek perkantoran oleh pemprov gorontalo. sehingga.lahan-lahan sawah disini sudah tidak ada lagi.termasuk kantor saja juga..yang pertama kali dibangun di komplek tinaloga tahun 2003 yang lalu..

    BalasHapus
  2. alangkah baiknya, komplek persawahan di Kota Gorontalo itu juga ada, agar ke depan kota ini akan dikenal sebagai kota terbaik di Indonesia dalam hal keberlimpahan lahan sawah di perkotaan. Bukan begitu ? Soal komplek perkantoran di kawasan andalas, Jl nani wartabone dpt dilakukan, bahkan ada gedung-gedung bangunan yang kosong tidak terpakai,mubazir dibuatnya,

    BalasHapus
  3. iya..saya sangat setuju rencana awal itu.lahan sawah yang ada d kota tetap dipertahankan saja. toh masih byk lahan di sekitar kota yang masih bisa dibangun...selain itu agar terjadi pemerataan pembangunan.. wilayah2 seperti tapa, kabila, suwawa, telaga.masih perlu disentuh dengan infrastrukutr. dengan jarak yang tidak terlalu jauh..pasti akan efektif.dari segi waktu dan tempat..cuman pemerintah sudah tertutup matanya dengan anggaran yg besar..sehingga asal-asal saja membuat suatu kebijakan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN