TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE (1)

Selama 33 Tahun 
Kamsul Betah di Hutan
Oleh: Budi Susilo

Gemericik air sungai Boliyohuto yang jernih mengalir memberikan ketentraman kehidupan. Aliran airnya timbulkan ‘desahan’ yang berikan atmofir berbeda, kala memandangnya pun membuat mata teduh, hilang semua kepenatan kehidupan. Yah inilah sungai Boliyohuto, yang melintas di hamparan hutan belantara Taman Nasional Bogani Nani Wartabone provinsi Gorontalo, Selasa (25/12/12). 

Bicara keasrian alamnya, tempat inilah rajanya. Lokasinya memang betul-betul masih terjaga, tidak ada yang boleh mencoba-coba merusak, apalagi mengambil biota dan segala hal yang berkaitan di hutan Taman Nasional tersebut. Berani melanggar, resikonya bakalan kena denda jutaan sampai milyaran rupiah bahkan, peroleh kurungan di hotel Prodeo.

Bermain air sungai Boliyohuto yang ada di Taman Nasional Gorontalo_fery poiyo
Di pos penjagaan pintu masuk Taman Nasional, berdiri gagah pria bernama Kamsul Ismed, sebagai Koordinator Perijinan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Gorontalo. Ia di pos itu, hanya sendiri menjaga, menagih para pengunjung yang akan masuk ke Taman Nasional. Tarif resmi yang dikenakan per orang kena iuran Rp 2.500.

Sebenarnya, tutur Kamsul, taman nasional bukan tempat wisata keluarga, tetapi memang tempat yang ketat dilindungi agar tidak terjadi kerusakan. Semua alam baik itu tumbuhan, hewan dan benda-benda lainnya dilindungi oleh negara, jangan sampai pengunjung orang dari luar mencoba merusaknya. Dimohon bagi pengunjung untuk bisa bekerjasama juga, ikut menjaga. 

“Disini dikenakan tarif, setorannya kami serahkan ke pusat Kementrian Kehutanan. Orang yang mau masuk tidak sembarangan harus ijin dulu disini,” tegasnya.   

Secara geografis, urai Kamsul, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berada di dua provinisi yakni Gorontalo dan Sulawesi Utara. Sementara, Kamsul sendiri berjaga di taman yang masuk wilayah Gorontalo dengan luas area 110 ribu hektar dan apabila di total dengan daerah Sulawesi Utara maka sejumlah 287.115 hektar.  

“Yang pintu taman nasional di Gorontalo, masuk di alamat Desa Lombongo Kecamatan Suwawa Tengah Kabupaten Bone Bolango provinsi Gorontalo,” kata pria Kelahiran Palembang 12 Februari 1962 ini.

Berdasarkan sejarahnya, dahulu di tahun 1984, namanya bukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tetapi Taman Nasional Dumoga Nani Wartabone. 

Lalu ungkap Kamsil, munculah di tahun 1992 konferensi tingkat dunia yang di putuskan, bahwa nama Dumoga diubah menjadi Bogani.  “Dulu itu juga Gorontalo belum provinsi tersendiri masih jadi satu dengan Sulut,” tuturnya.

Sudah hampir 12 tahun, Kamsil mendekap erat Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Gorontalo dan 21 tahun menjaga di taman wilayah Kotamobagu Sulawesi  Utara. Yang membuatnya kerasan di hutan tersebut karena Taman Nasional ini menyimpan daya pesona. 

Misalnya ditempat ini tersedia hewan unik endemik Sulawesi. Ada monyet hitam Macaca Nigra atau bahasa lokalnya disebut Yaki. Lainnya ada binatang langka yang dilindungi seperti Anoa, Babi Rusa, Maleo dan hewan kecil bermata ‘belok’ bernama Tarisus. 

Untuk jenis tumbuhannya juga ada pohon endemik Sulawesi seperti pohon kayu Gopasa, Kayu Cempaka, dan Kayu merah. 

Belum lagi, menu alam berupa air terjun Lombongo yang memiliki ketinggian air terjun 35 meter. Airnya yang bersih segar dan bisa diminum langsung inilah yang akan mengalir di ruang sungai Boliyohuto Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Gorontalo.

Karir perdana Kamsul yang ditempatkan di Taman Nasional Sulawesi Utara, sempat membuat dirinya harus tertekan, dipaksa untuk beradaptasi hidup di hutan belantara. Selama satu bulan ia terus belajar hidup menyatu dengan hutan. 

Ia tidak mengira sebelumnya, apa yang dibayangkan taman nasional itu indah, penuh bunga warna-warni terawat, dan pastinya akan membuat betah. 

 “Eh ternyata hutan lebat. Yah mau bagaimana lagi namanya pekerjaan diterima saja tapi lama-lama terbiasa,” ujarnya.

Sekarang ini, ungkapnya, kalau ia pulang ke Kota di Palembang tidak betah. Kehidupan perkotaan yang panas, jarang pepohonan hanya dipenuhi gedung-gedung bangunan beton menjulang tinggi membuat Kamsul tidak betah. 

“Kalau ke kota rasanya ingin cepat-cepat kembali lagi ke hutan. Saya sudah terbiasa tinggal di hutan,” tutur pria beranak empat ini. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN