KAMPUNG REBONDING ALA GORONTALO

Kampung Rebonding Ala Gorontalo
Oleh: Budi Susilo

Rambut bagi sebagian orang itu simbol mahkota. Bahkan tidak heran, sampai ada yang rela mengeluarkan uang banyak untuk merawat dan memaksimalkan tampilan rambutnya. Asal mampu berikan tampilan cantik dan ganteng, berapa pun itu, akan selalu siap merogoh kocek saku dalam-dalam. Ya beginilah gaya hidup warga masyarakat metropolis, penampilan itu nomor wahid, bahkan ada yang mempercayai, gaya tampilan ‘hebring’ itu membawa keberuntungan.

Mengubah gaya rambut agar trendi, ada banyak ragam cara dilakukan. Ada yang pergi ke salon-salon kecantikan, atau yang mau hemat pengeluaran keuangan bisa merawat rambut sendiri di rumah dengan hanya bermodalkan produk-produk kecantikan rambut yang bisa dibeli di toko-toko.

Rumah yang dijadikan salon rebonding di Kelurahan Tenda (photo by syamsul huda)
Di Kota Gorontalo, provinsi Gorontalo, sudah ada rumah-rumah kecantikan rambut dengan tawaran harga yang lebih ringan dibandingkan dengan ditempat-tempat lain seperti di Kota Manado, Makassar apalagi sekelas kota besar seperti Jakarta.

Spesialnya Gorontalo, kawasan klinik kecantikan rambut di tempat ini sudah membumi, semua orang di Kota Gorontalo telah mengenalnya. Daerah ini adalah Kampung rebonding yang menawarkan jasa perawatan potong rambut, membersihkan dan meluruskan rambut atau rebonding.

Rumah-rumah warga di kampung ini banyak yang menyulapnya jadi salon rambut., itulah kenapa kemudian kampung ini disebut Kampung Rebonding. Begitu mudahnya kalau mau mencari rumah kecantikan rambut, tiap sejengkal rumah, pasti itu adalah salon rambut. Kampung rebonding ini berada di bilangan Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo.

Saat mencoba susuri, satu di antaranya salon rebonding Memi. Agak terpencil salon ini. Beda dengan beberapa salon lainnya yang berada di pinggir Jalan Yos Sudarso, mau pakai jasa salon Memi itu harus masuk ke dalam jalan lorong yang memiliki lebar setengah meter dengan daya tempuh ke tujuan sekitar 25 meter.

Dinding batu-bata dengan beberapa coretan tulisan pilox jadi pemandangan kanan-kiri di gang menuju salon Memi. Ruang sempit berjalur lurus ke depan tanpa berkelok, itu adalah petunjuk jalan yang mudah dilalui untuk gapai tujuan ke salon Memi.

Usai jalan lurus terus, nanti akan ada jalan buntu dan melihat bangunan rumah. Ya, inilah salon Memi yang dimaksud. Kalau mau masuk langsung, mengambil arah kanan sebab pintu masuk rumahnya tidak langsung berhadapan dengan lorong. 

Gang salon Memi rupanya hanya dapat dilewati satu orang, kalau pun motor akan melewati lorong ini, perlu perlahan-lahan dan agak bersabar untuk memasukinya, harus bergantian memakai jalur. Sementara, bila ada pejalan kaki berpapasan dari arah berlawanan, harus saling menolehkan badan ke arah menyamping agar tidak berbenturan.

Lorong jalan menuju sebuah lokasi salon rebonding Memi (photo by budi susilo)
Di rumah salon Memi, bertemu Wina Umar (35), pekerja salon Memi. Mengenakan kaus ‘jangkies’ dengan balutan celana pendek, Wina menyapa. “Disini tempat rebonding rambut. Buat pria dan wanita semua bisa,” katanya.

Perempuan tinggi kurus ini adalah anak buah dari pemilik salon Memi bernama Memi Rahim. Ia sudah hampir satu tahun bekerja di salon ini. “Belajar rebonding rambut dari bu Memi. Belajar tidak sampai sebulan saya sudah bisa, langsung ditawarkan kerja disini,” ujar Wina. 

Peralatan yang dipakai untuk me-rebonding rambut hampir tidak jauh berbeda dengan salon-salon besar. Di antaranya ada sisir, gunting, catok atau strika rambut, cermin, juga lanolin sejenis obat pelurus rambut. “Biaya mahal rebonding rambut di ukur dari panjang dan pendeknya rambut,” tutur Wina.

Tarif rebonding yang ditetapkan salon Memi terbilang lebih hemat dari tempat lain. Satu kali rebonding, pengguna jasa salon ini dikenakan paling mahal Rp 75 ribu. Tambah Wina, kalau ada tambahan cuci rambut dan mewarnai, maka konsumen harus merogoh kocek sampai harga termahal di angka Rp 150 ribu.

“Kebanyakan konsumen yang datang kesini dari Gorontalo, Manado. Bahkan juga pernah ada dari Papua yang kebetulan lagi berkunjung ke Gorontalo, juga minta rambutnya yang keriting di rebonding,” urainya.

Ditemui, pemilik salon Memi Rahim (33), mengungkapkan, salon ramai dijunjungi konsumen saat masuk musim puasa Ramadhan dan jelang Lebaran. Usaha ini memang tergolong bisnis musiman, masa panen diperoleh bila ada momen-momen hari raya besar agama atau liburan tertentu.

“Sekarang sudah lewati hari puasa dan lebaran, salon sepi konsumen. Sehari kalau di hari biasa hanya satu sampai empat konsumen, tapi kalau mau ada lebaran ada puluhan orang yang mengantri,” ujarnya.

Ia menambahkan, bila salon Memi sedang masa panen mampu menjaring konsumen hingga menyentuh angka 20 orang per harinya. Tidak heran, salon yang didirikan sejak tahun 2004 ini berhasil meraup keuntungan hingga Rp 1 juta per harinya. “Kebanyakan yang datang itu kaum wanita. Walau ada yang pria tapi itu hanya satu dua orang saja,” tutur Memi.

Memi yang merupakan perempuan kelahiran Gorontalo ini belajar rebonding tidak dari sekolah formal salon kecantikan. Ia belajar sendiri dari salon-salon yang pernah ia kunjungi. Sejak belia, Memi sudah menyukai dengan dunia kecantikan wanita, tidak heran hobinya ini kemudian menjadi peruntungan nasib hidupnya.

“Saya sering datang ke salon, melihat-lihat cara kerja salon. Saya perhatikan secara serius mereka, lalu saya mencoba praktekan di rumah, ternyata lama-lama bisa,” ungkap Memi.

Dulu itu, ungkapnya, belajar rebonding belum memakai alat cetok. Alat ini belum dimiliki Memi karena belum mampu untuk membeli cetok rambut. Hal yang ia lakukan masih memakai cara tradisional, yakni memakai bantal dan strika. “Rambut kita rebonding pakai strika dengan di alas di atas bantal. Dulu baru teman-teman dan tetangga saya, yang saya jadikan media percobaan,” katanya. 

Memulai dari hobi itulah, Memi pun memberanikan diri membuka salon di tahun 2004. Untuk memulainya, ia melakukan sendiri tanpa ada karyawan. “Satu dua orang mulai berdatangan. Lama-kelamaan banyak orang yang percaya rebonding di salon saya,” ujarnya.

Prinsipnya kepuasan dan kualitas pelayanan jadi hal utama. Ini kata Memi, akan membuat orang mempercayai produk jasa yang ia tawarkan. Hasilnya memuasakan, silih beganti banyak orang datang. “Saya tidak promosikan di media massa. Mungkin promosinya dari mulut ke mulut. Orang yang pernah bersalon disini bercerita ke orang-orang,” urai istri dari Risman Poluwan ini.

Tidak heran, dari hasil pencarian rezeki halal itu, Memi sekarang sudah dapat membeli rumah baru, membuka cabang salon Memi, juga mampu menghidupi tiga anaknya. “Saya sekarang juga sudah bisa menciptakan lapangan kerja. Sudah punya anak buah. Kebanyakan saudara-saudara saya karyawannya,” tambahnya dengan diakhiri lemparan senyuman manis.

Suasana siang Kampung Rebonding Kelurahan Tenda (photo by budi susilo)
 Senada, tempat usaha salon lainnya, yakni salon Andhika Rebonding, mengaku, salon yang yang dibuka persis di pinggir jalan besar ini selalu kebanjiran konsumen. Melihat hal ini, seolah tatanan rambut rapi, bersih dan bagus itu telah masuk bagian kebutuhan hidup tiap orang.

“Biasanya kalau ramai-ramainya itu, jam-jam sore atau juga malam. Rebondingnya tidak butuh waktu berhari-hari, hanya cukup paling lama dua jam selesai,” ujar Selfi Akali (38), pemilik salon Andhika Rebonding.

Kualitas Andhika Rebonding dapat bertahan lama. Dapat dijamin, yang punya rambut keriting bisa lurus hingga bertahan sampai berbulan-bulan lamanya. “Dapat saya jamin bagus deh. Selesai rebonding disini, lalu naik bentor kena angin-angin rambut tidak akan kembali keriting lagi,” promo Selfi.

Salonnya yang baru di buka tahun 2011 ini, telah memiliki langganan tetap. Kebanyakan berasal dari kaum perempuan wilayah Kota Gorontalo umuran remaja dan pemudi. “Tempat saya tidak dibatasi, buat pria juga bisa,” ungkapnya.

Baru buka satu tahun yang lalu, sudah dikenal khalayak luas, karena secara posisi salon Selfi ada di pinggir jalan besar, juga peralatan pelayanannya tidak jauh berbeda dengan salon-salon di perkotaan besar. Bahkan saking terkenalnya, nama salonnya pun telah jadi bahan candaan anaknya di sekolahan. 

“Nama salon saya di ambil dari anak saya yang bernama Andhika. Anak saya ini kalau disekolah sekarang sudah dipanggil nama beda. Ma, sekarang teman-teman Andhika kalau memanggil Andhika rebonding,” tutur Selfi, mengulangi cerita anaknya yang sekarang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama.

Kebetulan, ada satu di antara konsumen yang sedang melakukan rebonding di salon-salon kelurahan Tenda. Perempuan lajang bernama Lani Yunus (24), menyempatkan diri pergi ke salon meluruskan rambutnya yang keriting. “Tidak sering sih. Baru pertama kali datang ke sini,” ungkapnya.

Lani yang merupakan dara kelahiran Gorontalo mengetahui adanya informasi keberadaan salon-salon rebonding di kelurahan Tenda berasal dari teman-teman sebayanya, yang pernah melakukan rebonding. “Mau rebonding saja, biar kelihatan beda tampilan,” ujarnya.

Awal mulanya, fenomena merebaknya usaha salon-salon rebonding di Kelurahan Tenda itu berkisar di tahun 2003. Helen Aono, Kepala Ekonomi dan Pembangunan Kantor Kelurahan Tenda menuturkan, dulu warga masyarakat Kelurahan Tenda tidak mengenal jasa usaha salon kecantikan. Sebagian besar warganya masih mengandalkan ekonomi bahari. “Dulu itu semuanya masih nelayan. Kampung ini lebih terkenal sebutan kampung nelayan,” ujarnya.

Satu contoh praktik salon rebonding di Kelurahan Tenda (photo by budi susilo)
Berdasarkan data catatan kependudukan tahun 2012 di kantor Kelurahan Tenda, jumlah penduduk yang mendiami tempat ini ada 6.160 jiwa. Total jumlah ini terdiri 263 berjenis kelamin perempuan dan 1184 berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan untuk jumlah Kepala Keluarga itu mencapai 1447. “Jaman sekarang jenis pekerjaan warga disini sudah campur-campur. Ada yang jadi pegawai negeri sipil, guru, dokter, perawat, tidak lagi semuanya bekerja sebagai nelayan,” urai Helen.

Menurutnya, keberadaan salon-salon rebonding yang ada di Keluarahan Tenda cukup memberikan manfaat bagi roda perputaran ekonomi warga setempat. Apalagi, jenis usaha ini tidak dilarang dan melanggar hukum yang berlaku, sementara masih aman dan tidak merugikan.  “Salon rebonding yang ada di kelurahan Tenda berjumlah 20 salon. Data ini kita ambil di awal tahun 2012 ini. Kami sendiri yang datang mendata,” ujarnya.

Sebab kata Helen, setiap warga yang ingin membangun usaha salon Rebonding tidak ada aturan harus mendaftar ke kantor kelurahan. Sejauh ini, warga masih dibebaskan membangun usaha salon rebonding, dimulai dari tempatnya, kualitas produknya dan pemasangan papan reklame semuanya masih dibebaskan. “Lihat saja sekarang sudah banyak. Di tiap rumah warga saja, kita bisa temukan dengan mudah salon rebonding,” kata perempuan berambut sebahu ini.

Ditambahkan, Masmin Sadude (53), Kepala bidang Kesejahteraan Sosial Kantor Kelurahan Tenda, bahwa, sebagian besar rumah warga yang membuka salon-salon rebonding berasal dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. “Kami menilai mereka itu yang buka usaha salon dari golongan masyarakat dari keluraga sejahtera satu. Membuka salon untuk penuhi kebutuhan hidup mereka,” tegasnya.

Karena itu sampai sekarang, ungkap Masmin, usaha salon rebonding yang digeluti warga Kelurahan Tenda belum dikenakan pajak. Meski di awal tahun 2012, ada wacana penggiringan pengenaan pajak usaha salon rebonding, tetapi akhirnya pemerintah pun mengambil keputusan, mengurungkan diri tidak menerapkan kebijakan pemungutan pajak salon. 

“Pihak pemerintah daerah belum memungut pajak usaha salon rebonding Tenda. Tidak ditetapkan karena pertimbangan usaha jenis ini adalah usaha musiman. Juga kebanyakan dari mereka dari para keluarga ekonomi menengah ke bawah,” ungkap warga Botu ini. ( )

   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN