HAWA BERPOLITIK RENDAH

Hawa Berpolitik Rendah
Oleh: Budi Susilo

Ada orang yang suka juga membenci bila berbicara politik. Bagi yang senang politik, itu dianggap sebagai sarana kendaraan untuk gapai tujuan perjuangan visi misinya.

Sedangkan orang yang sinis, politik itu dianggap tak ubahnya pesta kaum-kaum penghancur. Golongan para benalu negara yang penuh kemunafikan, atas nama rakyat tetapi tujuannya untuk merampok uang negara. Sadis bukan !

Anggapan inilah yang mungkin menyelimputi para perempuan-perempuan di Indonesia, termasuk di provinsi Gorontalo. Dalam pola pikir perempuan, masih menganggap politik itu bukan ranah yang cocok bagi pergulatan kehidupan seorang perempuan.
Puluhan pekerja perempuan dari berbagai organisasi berunjukrasa di sekitar bundaran HI, Jakarta Pusat, Jumat (25/11/2011)_tribunnews herudin
 Aku sempat berbincang santai dengan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi Gorontalo, usai acara Sosialisasi Tata Cara Verifikasi Parpol 2014 di Aldista Kota Gorontalo, Kamis (13/9/2012).

Orang yang dimaksud itu Salahudin Pakaja, yang baru sebulan ku kenal. Ia berbicara singkat padat ketika ditanyai soal keterwakilan perempuan di partai politik. "Memang isu perempuan dalam parpol selalu ramai dibicarakan oleh banyak orang," ujarnya.

Ia menilai, keterwakilan perempuan 30 persen pada partai politik (parpol) yang ada di Gorontalo dinyatakan kondisinya juga belum menggairahkan, tidak sebanding dengan jumlah parpol.

Selama mengamati perjalanan organisasi politik tahun ini di KPU provinsi Gorontalo beber dia, dalam kepengurusan di tiap parpol keterwakilan perempuan masih banyak yang belum menempati posisi strategis.

"Kalau pun ada di kepengurusan, itu hanya kejar kuantitatif. Hanya asal merekrut, tapi secara kualitas masih dipertanyakan, pasti baru sebatas penuhi kuota 30 persen saja ," ungkapnya.

Langkah bijaknya, kata Pakaja, parpol-parpol yang selama ini di Gorontalo masih minim kader perempuan maka harus lebih diperbanyak dengan menyeimbangkan kualitas Sumber Daya Manusianya.

"Sekarang kalau tidak sampai 30 persen maka parpol itu akan sulit lolos, ikut di pemilu nanti," tegas Salahudin.

Lalu apa benar demikian, kondisi tersebut menyeliputi Gorontalo. Aku coba berbincang dengan satu di antara parpol, yang kebetulan juga menghadiri acara yang digelar oleh KPU tersebut.

Aku berkesempatan bertemu Wakil Sekertaris Satu Partai Kesatuan Bangsa (PKB) provinsi Gorontalo, Amrullah Hasiru. Ia menjelaskan ke aku, bahwa partainya sudah akomodatif terhadap perempuan. Tidak benar bila tidak berikan ruang luas bagi para politisi perempuan.

"Ketua provinsi kami saja perempuan, bu Since Kaji. Ia sekarang legislator di Pohuwato. Kamis sudah tempatkan perempuan di organisasi parpol secara baik," ungkapnya.

Gagasan keterwakilan perempuan 30 persen dalam kepengurusan parpol tidak lain digawangi langsung oleh partai bentukan mantan presiden Abdurrahman Wahid ini.

PKB itu, tegas Amrullah, awalnya sebagai satu di antara parpol yang mengusung keterwakilan perempuan 30 persen di Indonesia. Mendesak agar keterlibatan perempuan dalam perjalanan bangsa juga bergigi.

"Kalau kualitasnya di PKB sudah teruji. Sudah pengalaman di bidang politik. Ketua kami saja sudah tiga periode jadi legislator," promo Amrullah.

Senada pengalaman ini juga telah dijalankan oleh parpol Demokrat berlambang Mercy, bentukan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dikesempatannya, Ketua Dewan Pengurus Cabang Demokrat Kabupaten Bone Bolango, Robby Hunuwa bercerita kepada ku, bahwa, keterwakilan perempuan itu amanah Undang-undang makanya ada instruksi dari pusat kalau tiap pengurus parpol di tingkat kabupaten dan kota itu harus wajib berikan porsi kepada perempuan.

"Kami tidak hanya asal comot. Melihat latarbelakang pengalaman yang baik dulu. Kalau sudah di rekrut kami berikan seminar, workshop tentang politik," urai pria yang kini juga sebagai dosen Sosial Politik di Universitas Gorontalo ini.

Melihat kondisi itu, jauh-jauh hari presiden Soekarno telah menyanjung kaum hawa. Menurutnya dalam perjalanan bangsa ini tanpa peran perempuan, maka dunia ini terasa hampa. Sulit gapai masa gemilang.

Pesan Soekarno itu adalah "Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung. Jika sayap keduanya sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. Jika patah satu dari pada dua sayap itu maka tak dapatlah terbang itu sama sekali."

Satu hal lagi, menjamurnya parpol di Indonesia turut andil memunculkan politisi perempuan 'karbitan'. Saking banyaknya parpol, hingga capai puluhan organisasi, membuat tiap-tiap parpol hanya berlomba-lomba penuhi angka 30 persen.

Pertimbangan kualitas itu nomor dua, yang terpenting parpol harus lolos dan bisa ikuti perebutan kursi kekuasaan. Soal jalankan strategi 'eksodus perempuan', itulah realitas yang sudah dilakukan oleh parpol kini. Karena bagi parpol, berkat terpenuhinya kuota perempuan dengan baik di tubuh parpol, maka ia dapat melanggeng incar kursi kekuasaan yang penuh godaan. ( )

Parpol Tak Miliki Kemampuan Wakili Rakyat 
Partai politik tidak memiliki kemampuan mengerahkan dan mewakili kepentingan warga negara maupun menghubungkan warga negara dengan pemerintah, kata peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli.

"Hal itu menyebabkan partai politik (parpol) tidak mampu memainkan fungsinya dengan optimal," katanya pada seminar "Penguatan Kelembagaan Partai Politik Sebagai Pilar Demokrasi" di Yogyakarta, Jumat (14/9/2012).

Kondisi itu, menurut dia, ditambah dengan persoalaan pelembagaan parpol yang belum terwujud dengan baik. Hal itu menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol.

Ia mengatakan parpol, di era reformasi belum dapat menjadi institusi publik yang menunjukkan tanggung jawabnya terhadap pemilihnya. Pada era Orde Baru, parpol menjadi mesin politik penguasa sehingga lebih diarahkan pada kepentingan pelanggengan status quo.

Namun, saat memasuki reformasi, parpol dihadapkan pada tuntutan masyarakat yang begitu besar, sedangkan parpol belum siap dengan kelembagaan yang baik.

Menurut dia, ada sejumlah faktor yang membuat tingkat kelembagaan parpol belum berkembang dengan baik. Parpol yang ada umumnya relatif baru sehingga infrastruktur partai belum terbangun dengan baik.

Parpol sering mengalami konflik yang menguras tenaga dan waktu sehingga tidak ada waktu untuk membangun pelembagaan partaik. Elit partai juga belum menjadikan AD/ART sebagai satu-satunya aturan dalam mengelola parpol.

Selain itu tradisi berpartai yang menghormati perbedaan budaya politik demokrasi di kalangan elit partai belum tumbuh. Unsur patrimonialisme dan feodalisme masih kuat di kalangan elit partai.

Oleh karena itu, kata Lili, harus ada penguatan kelembagaan parpol agar menjadi institusi demokrasi yang kuat dan berjalan dengan optimal sehingga partai berfungsi baik.

"Upaya penguatan seperti penguatan ’platform’ partai, kaderisasi, rekrutmen politik, dan menciptakan kohesivitas internal partai adalah hal-hal yang harus segera dilaksanakan," katanya. Sumber: kompas.com Jumat, 14 September 2012 17:55 Wib.

Wanita Dinilai Rentan akan Politik Uang 
Kaum perempuan kerap dijadikan alat pengumpul suara dalam Pemilihan Kepala Daerah karena kerentanannya dalam praktik politik uang.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam kepada Republika, Jumat (14/9/2012).

"Perempuan seringkali menjadi sasaran calon, partai politik dan tim sukses dalam penerapan politik uang maupun barang," ungkap Wahidah melalui sambungan telepon.

Wahidah mengatakan, kesimpulan itu didasarkan pada hasil wawancara terhadap 1.500 ibu-ibu yang tinggal di 10 daerah di empat kotamadya DKI Jakarta, terkait dengan proses Pilkada DKI Jakarta lalu.

Mereka yang diajak berbincang di antaranya berasal dari wilayah Jatipadang, Rawajati, Warung Jati, Cililitan, Cilincing, Manggarai, Jatinegara, dan Gang Bambu.

Secara rata-rata, ungkap Wahidah, kehidupan mereka berada pada tingkat menengah ke bawah. Tidak hanya secara materi, namun juga dari sisi pendidikan formal dan akses politik.

"Ibu-ibu inilah yang dijadikan sasaran empuk untuk praktik politik uang," jelas Wahidah.

Di samping itu, ungkap dia, sebagian besar mereka hanya mengikuti suaminya yang memilih partai atau calon tertentu.

"Atas dasar itu mereka dianggap rentan dan harus diwaspadai dugaan praktik politik kepada perempuan," ucap Wahidah. Sumber: republika.co.id 14 September 2012 19:04 Wib


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN