BUTA INSAN PERS

Buta Insan Pers 
Oleh: Budi Susilo

Meminjam ungkapan Raja Dangdut, Roma Irama, “Sungguh terlalu !”. Ya sungguh terlalu, bagi mereka yang memamerkan aksi kriminalitas di sebuah kantor redaksi Televisi Lokal di Gorontalo, Mimoza Multimedia, Selasa malam (25/9/2012).

Mereka itu, berdasarkan pengakuan beberapa saksi, lebih dari lima orang melakukan penyerangan, merangsek masuk ke dalam kantor studio sekitar jam 9 malam. Tanpa penjagaan ketat dari keamanan kantor Mimoza TV, mereka di dalam ruangan membanting-banting kursi juga mencoba memukul.
Gedung Mimoza Tv Gorontalo beralamat di Jalan HB Jassin_budisusilo
Bahkan seorang dari mereka, ada yang terbukti menikam seorang tokoh politisi yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Gorontalo, yang juga merupakan kader partai politik Golkar.

Terlepas dari analisis motif politik tertentu, tetap saja perbuatan mereka “Memang biadab !,”.  Inilah lontaran ejekan yang pantas mereka sandang. Pasalnya, unjuk gigi kriminalitas mereka itu tidak memiliki etika moral, seakan menciptakan kiamat kecil di ruangan studio mini.

Tentu saja, gaya mereka itu mengingatkan pada geng-geng mafia di Italia, atau juga geng Jakarta ala Jhon Kei. Atau lebih kejamnya lagi, bersinonim dengan rezim Amerika Serikat George Bush yang menyerang negara Afganistan dan Irak, juga Zionis Israel yang merusak eksistensi kedaulatan negara Palestina. 

Jelas secara tegas, mereka itu mencederai nilai-nilai demokrasi. Kenapa bisa demikian ? Karena mereka bergerak di saat akan dimulainya gelaran live televisi dialog fokus tentang Perpecahan Golkar Kota Gorontalo Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Wali Kota 2013.

Terlepas dari persoalan tema konflik internal partai Golkar Kota Gorontalo, tapi yang namanya dialog itu adalah simbol dari demokrasi. Dialog itu praktik konkrit dari sebuah peradaban masyarakat yang demokratis. Bila ada orang yang mencoba secara sengaja berbuat anarki, menghalang-halangi, membubarkan, dan mengacaukan apa itu yang namanya berdialog, itu sama saja masuk golongan anti demokrasi.

Pengakuan saksi, mereka datang secara bergerombol bagai kelompok bar-bar yang membuat kekacauan. Orang-orang yang polos di dalam studio tidak tahu-menahu pun kena sasaran. Orang-orang tak berdosa ini dibentak-bentak, dicerca, pokoknya dibuat takut hingga dibuat mati kutu oleh mereka.

Bahkan, dari pantauan saksi, seorang pimpinan Mimoza TV yang sedang akan melakukan tugas jurnalistik pun, kena bogem mentah berkali-kali, dan berekses luka-luka, harus digelandang ke Rumah Sakit Aloe Saboe Kota Gorontalo. Apakah mereka itu ‘buta’ terhadap insan pers ? atau memang mereka pura-pura tidak tahu, bahwa sebenarnya insan pers itu penyambung lidah rakyat.

Kembali kesejarah bangsa Nusantara ini, pada akhir abad ke-19, sebenarnya insan pers itu mempunyai peran dari pembentukan embrio suatu bangsa. Lewat media cetak saat itu, yakni Bintang Hindia, Retnodhoemilah, dan Pewarta Prijayi, kesemuanya mempengaruhi pembentukan bangsa. 

Jadi apabila memang ada permintaan, keluhan, dan curhatan atas peroblematika di bangsa ini, pasti oleh insan pers akan bisa diakomodasi dan dikomunikasikan, memberi kran saluran, mengatasi segala persoalan, tanpa harus menggendrang perang lewat kekerasan. 
Insan pers menyuarakan pentingnya kebebasan pers_aji Manado
Ironi memang, tindakan mereka itu jelas-jelas bisa disimpulkan sebagai sikap brutal. Apa mereka tidak tahu budaya ? mungkin saja mereka tidak pernah rasakan bangku sekolah ? atau memang mereka tidak tahu akan ‘gigi taring’ Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999, pasal 18 ayat 1, yang berisikan Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pekerjaan jurnalistik dikenai pidana penjara paling lama dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.

Jikalau mereka itu tak puas atas profesionalitas media tersebut, apakah harus diselesaikan lewat kekerasan ? andaikan mereka mempertanyakan prinsip Cover Both Side (keberimbangan) media itu, apa mesti harus melalui aksi pemukulan dan penikaman.

Katanya bangsa kita itu melandasakan kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pantaskah kekerasan jadi garis perjuangan menuju kebenaran dan kebaikan. Tentu tidak jawabannya !, sebab meminjam kalimat dari Sutan Sjahrir, mantan perdana menteri Indonesia era Presiden Soekarno, bahwa, “Kebangsaan kita hanya jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang sempura.”

Bukannya di Republik Indonesia ini sudah ada Dewan Pers ? yang dikenal sebagai wasitnya dalam dunia pers Indonesia. Tak perlu ambil pusing tujuh keliling, berlelah-lelah lakukan serangan fisik ke media Mimoza TV, cukup laporkan ke Dewan Pers pasti terjawab segala persoalan yang ada. Dijamin, amin ya robal alamin !

Jikalau memang ditemukan bukti dan fakta media itu langgar profesionalitas tugas jurnalistik, maka Dewan Pers akan bertindak, yang ancamannya bisa ‘lampu kuning’ hingga bisa berujung ke keputusan ‘lampu merah.’

Pepatah populer dengungkan, Nasi telah jadi Bubur, terlanjur terjadi dan tak bisa lagi dikembalikan ke semula. Akibat aksi ‘premanisme’ di Mimoza TV itu, dua orang korban akhirnya harus menghuni Rumah Sakit. Sisa korban-korban lainnya kena beban pisikologis hingga turun di bawah ‘derajat normal’.

Ya sekarang, anggaplah peristiwa tersebut jadi catatan sejarah kelam Kota Gorontalo, yang ke depan dapat menjadi pelajaran penting, yang tidak patut dicontoh dan terulang kembali. Sebab negara kita, berbasiskan Demokrasi berbentuk Republik dengan kutub Pancasila yang berisikan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Mufakat dan Keadilan. Mari junjung tinggi kemerdekaan Pers, sebagai bentuk bagian dari perwujudan paripurnanya pilar demokrasi kita, salam Baca, Tulis dan Kritis !  ( )  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN