MENGINDONESIAKAN ISLAM

Mengindonesiakan Islam
Oleh: Budi Susilo


BERAGAMA Islam bukanlah persoalan. Belakangan di cap sebagai agen 'teroris', tapi itu hanyalah kedangkalan dalam berpikir, tidak sepenuhnya mendalami apa itu Islam. Garis besar utama dalam beragama itu mencegah perbuatan keji munkar.

Manusia yang mempercayainya, agama sebagai tiang kehidupan yang penting dan tidak dapat dipisahkan. Beragama tujuannya mencari jalan lurus. Pemberi solusi dikala kebingungan dalam persimpangan jalan.

Itu kenapa adanya mengindonesiakan Islam. Kita yang mempercayai tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasul Allah, berarti telah menempatkan pondasi dasar kemurnian dalam beragama Islam.

Identik Islam itu dengan dunia timur tengah di tanah Arab, menunjukan pola pikir dan pemahaman secara sempit. Kita dapat berislam sesuai kultur kita dengan catatan tidak bertentangan dengan apa itu maqasid syariah, rambu-rambu yang berdasar ruh Islam dengan meraih rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua alam semesta.

Sebagaimana diterangkan,“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS an-Nahl [16]: 125). Dan ayat, “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. (QS Ali Imran [3]: 159)

Mengindonesiakan islam, bukan Mengislamkan Indonesia. Praktek ini pernah dilakukan oleh para wali songo dalam memperjuangkan masyarakat nusantara keluar dari lembah kegelapan.

Indonesianya merasuki ranah pakem berislam yang selama selalu diidentikan sebagai agama impor dari negara luar. Oleh Wali Songo, pendekatan metode akulturasi budaya atau percampuran budaya lokal dan budaya Islam yang sering disebut dakwah kultural.

Dari life style, gaya berpakaian seorang muslim dalam mengenakan peci, songkok atau pun sarung bagian penyatuan identitas dalam beragama Islam. Ini bentuk bukti pemahaman mengindonesiakan islam.

Tidak mesti seorang petani yang ingin membajak di sawah panas-panasan diharuskan menggunakan gamis ala negara-negara timur tengah. Cukup memakai celana pendek dan berkaus oblong ia masih Islam. Petani yang bekerja, menafkahi dirinya dan keluarganya itu bagian dalam berislam yang benar, bukan tolak ukur dari gaya simbolis semata.

Ideologi berbangsa pun, Pancasila bagian dari aplikasi mengindonesiakan Islam. Bunyi butir satu di Pancasila, yang berbunyi Tuhan Yang Maha Esa, tidak menggunakan kata Islam Tuhannya Allah. Sebab Indonesia terlahir dari kemajemukan masyarakat yang alamiah, berbhineka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu jua.

Indonesia ini sebenarnya bagian dari pengulangan sejarah yang pernah dilakukan Rasulullah Muhammad SAW. Oleh beliau, dijadikanlah proses Memadinahkan Islam, makanya kala itu rasul disaat dipercaya sebagai 'presiden' menggunakan konstitusi negaranya memakai kata Piagam Madinah, bukan Piagam Islam Madinah.

Kajian fiqih, Islam dapat menempati ruang dan waktu, salih li kulli zaman wa makan, menjadikan penyatuan yang berbeda namun berbuah nilai kebaikan. Ibarat sebuah kendaraan memerlukan bahan bakar untuk daya laju menuju suatu tempat, Indonesia sebagai mobil dan Islam adalah bahan bakarnya dengan menuju maqasid syariah.

Berkehidupan tidaklah untuk sekedar 'menunggangi' Islam kemudian melunturkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia, dengan menghapus hak individu-individu dan hanya menjadikan kaum lain sebagai pelayan-pelayan yang tertindas.

Heterogennya Indonesia, tentu berislam dapat melakukan kerja-sama yang baik dengan non Islam seperti praktek sejarah yang dilakukan Daulah Abbasiyah di puncak kejayaannya karena waktu itu memegang perintah Allah SWT, Q.S. Al-Mumtahanah: 8:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Intinya, tujuan mengindonesiakan Islam agar negara kita punya jati diri dalam berbangsa. Juga negara kita jangan disamakan saja dasar-dasarnya dengan negara-negara seperti di Eropa, Amerika. Jangan juga kita tiru-tiru sejarah negara-negara kapitalis, liberalis, dan juga Komunis yang mengalami pertentangan antara negara dan Agama (Islam). ( )

Komentar

  1. Maaf tidak sepakat. Tanpa harus ada kata meng-Indonesia-kan Islam pun, Islam fitrahnya adalah rahmatan lil alamin. Statement tersebut hanya membuat Islam jadi berubah secara harfiah. Islam ya Islam saja. Berbuatlah dg Islam, tidak harus berbuatlah dengan Islam yg telah di-Indonesiakan. Apa bentuknya? Burung garuda yang dikatakan memiliki nilai - nilai Islam, tidakkah bertentangan dengan syariat untuk tidak menirukan bentuk makhluk hidup? Mempertahankan budaya, lantas budaya yang memperlihatkan auratpun tidak perlu di-Islam-kan? KHA Dahlan telah meng-Islam-kan Indonesia dari pengaruh akulturasi budaya yang berlebihan. Walau kini khittah perjuangan dari beliau mulai tersapu generasi, menurut saya tidak ada salahnya tetap tegas pada amar ma'ruf nahi munkar. Toleransi antar umat beragama, namun tegas dg sesama muslim untuk tetap saling mengingatkan dalam menjaga syariat agama. Senang berdiskusi :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN