MASJID AGUNG BAITURRAHIM GORONTALO

Mulanya Berarsitektur Panggung 
 
SEBELUM masjid Agung Baiturrahim berbentuk seperti sekarang ini, yang model bangunannya mendatar seperti bangunan pada umum, ternyata kala awal pendiriannya, masjid bercat cream itu bermodel panggung. Ya, inilah cerita perubahan fisik Masjid Agung yang ada di pusat Kota Gorontalo Jalan Nani Wartabone Provinsi Gorontalo.

Berdasar pengakuan, Haji Dadi Kasim Usman yang sudah berumur 76 tahun dan sebagai Ketua Adat Baate menjelaskan, pendirian awal masjid dilakukan pada masa kekuasaan Raja Gorontalo yang ke-10 bernama Sultan Botutihe.

"Waktu pendirian 18 Maret 1728, atau dalam penanggalan Islam 6 hari bulan Syaban tahun 1140 Hijriah," urainya, pada Kamis 26 Juli 2012.

Karena pendiriannya pada tahun 1728 masehi, mesjid yang berlokasi di Jalan Nani Wartabone ini ditetapkan sebagai masjid tertua ketiga di Kota Gorontalo.

Suasana malam ramadhan di Masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo. Setiap bulan ramadhan, masjid kebanggaan warga Kota Gorontalo ini selalu ramai dengan kegiatan keagamaan Islam. (photo by budisusilo)

"Sekarang jadi mesjid agung tingkat Kotamadya. Berada di pusat kota, yang persis ditengah-tengah keramaian masyarakat," kata pria kelahiran 2 November 1936 ini.

Model bangunan masjid berkhas gaya Gorontalo dengan konsep rumah panggung. Dahulu kala, di Gorontalo semua bangunannya adalah model panggung seperti adat di Minahasa.

Sebab jaman dahulu, sekeliling masjid masih jarang pemukiman penduduk. Kondisi alamnya pun masih rindang asri, banyak ditumbuhi berbagai pepohonan, seakan masih berada di tengah hutan belantara.

Makanya, tidak heran pilihan model rumah panggung adalah solusi atasi ancaman dari berbagai macam gangguan binatang buas nan liar. Sebab, kepercayaan orang-orang dahulu, dengan model meninggi, maka bangunanya akan sulit dimasuki oleh sesuatu.

"Masjid dibangun tidak pakai beton semen. Dahulu belum ada, masih pakai bahan kayu-kayu khas Gorontalo seperti kayu besi, lesi," tutur Usman.

Memasuki tahun 1975, jaman terus berdinamis. Gorontalo saat itu mengalami perkembangan, terjadi perubahan sosial yang membesar. Jumlah penduduk semakin ramai, beberapa bangunan pemukiman penduduk pun juga bermunculan lebih banyak.

"Jamaah yang pergi ke mesjid semakin bertambah. Lalu timbul ide untuk menambah ruang agar lebih menampung banyak," katanya.

Sebab itulah, di tahun itu mesjid mengalami perbaikan. Ada renovasi ringan dari ciri bangunan  yang sebelumnya. Masjid ditata lebih rapih, hal-hal material mesjid yang sudah buruk kondisinya diganti lebih bagus.

"Sempat dinding diganti lagi pakai kayu Nibong. Atapnya dipasang rumbia dari pohon sagu dan alang-alang," ujar Usman.

Sebelum kemunculan mesjid seperti sekarang ini, tutur Gani Danial Katili umur 78 tahun, yang menjadi pengurus Masjid Agung Baiturrahim, menjelaskan, kala itu Sultan Botutihe bercita-cita wilayah Gorontalo harus memiliki rumah ibadah umum, yang dapat bernilai fungsi atau bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

"Sultan bilang dari pada warga berkumpul-kumpul tidak jelas, lebih baik dibangun masjid untuk sarana ibadah juga untuk berkumpul bersama," tuturnya.

Dari namanya, jelas Abdul Rahim Puhi, Ketua Ta'mirul Masjid Agung Baiturrahim, bermakna agung. Kandungan artinya begitu mencerminkan kedamaian, pelindung bagi umat manusia.

"Baiturrahim di ambil dari bahasa Arab. Yakni Bait itu rumah dan rahim itu penyayang. Jadi rumah Allah yang Maha Penyayang," ungkapnya.

Alami Revolusi Arsitektur
Pergeseran model bangunan masjid Agung Baiturrahim Kota Gorontalo mengalami revolusi total kala masuk di tahun 1795 masehi.

Periode tahun ini, mesjid yang berawal gaya rumah panggung, bermetamorfosa model arsitektur bangunan datar.

Berdasarkan pengakuan, H Dadi Kasim Usman (76), Ketua Adat Baate, bahwa, kebijakan mengubah model masjid dari panggung ke model datar lebih pertimbangan efisensi dan menyesuaikan perkembangan jaman.

"Dulu waktu model panggung itu harus ganti-ganti terus pondasi bangunanya. Pondasi pakai kayu, kalau sudah lapuk diganti," ujarnya.

Bandingkan, kalau model mendatar sudah tidak lagi repot berpikir menggantinya. Apalagi saat itu, model bangunan mendatar telah menjadi trend.

"Ini dilakukan saat Gorontalo dipegang pemerintahan Raja Unonongo. Raja yang ke-12," ungkap pria pensiunan Pegawai Negeri Sipil Pemkot Gorontalo ini.

Bahan bangunan masjid tidak dibuat lagi dari kayu-kayu. Sudah beralih ke beton dengan bahan baku dasar dari campuran pasir dan kapur.

"Dindingnya sampai lantai mesjid dibuat dari beton campuran pasir dan kapur," ujar Usman.

Bayangkan saja, ungkap Usman, untuk ketebalan tembok masjidnya saat itu mencapai 80 centimeter. Beda dengan yang sekarang, dahulu temboknya itu tebal sekali, kuat terhadap benturan.

"Dulu itu yang bangun warga masyarakat. Warga ikhlas mau bergotong-royong bangun mesjid," urai pria yang memiliki cucu 25 dan cicit 1 ini.

Tapi kekokohan itu rupanya tidak abadi. Allah lebih Maha Perkasa dan Kuasa, tidak bisa dibandingkan oleh lainnya. Masjid yang bertembok tebal itu hancur rata digoyang oleh gempa bumi dahsyat pada tahun 1942.

"Saya ingat sekali waktu umur enam tahun, Gorontalo diguncang gempa. Besar sekali goyangannya, semua rumah termasuk masjid Baiturrahim rata, tidak tersisa," kata Usman.

Meski demikian, tutur Usman, tidak menurutkan warga masyarakat setempat untuk beribadah. Gairah bersujud kepada Allah SWT tidaklah luntur.

"Mesjid walau sudah rubuh oleh warga dibangun lagi, walau dengan seadanya. Kondisi masjid darurat sekali," urainya.

Saking daruratnya, jemaah sholat di mesjid hanya beratapkan langit, bertembok angin. Tapi ini tidak berlangsung lama sebab warga mulai membangunnya kembali meski hanya memakai bahan material dari kayu-kayuan.

Masa keprihatinan jemaah Masjid Agung Baiturrahim sampai empat tahun lamanya. Hal ini berlangsung sampai tahun 1947. Di tahun inilah, masjid dibangun kembali, dikembalikan seperti semula.

Penggarapan proyek dilakukan langsung oleh Abdullah Usman, yang menjabat sebagai Kepala BOW, era masih pemerintahan kolonial Belanda. "Kalau sekarang ini seperti dinas Pekerjaan Umumnya," kata Usman.

Singkat cerita masuk sampai tahun 1964, masjid kemudian diperluas kembali. Penggarapan proyek uni berlangsung di era pemerintahan Wali Kota Takin Yode yang dibantu juga Yusuf Polapa yang saat itu menjabat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Gorontalo.

Warga muslim di Kota Gorontalo berkumpul di Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo untuk melakukan ibadah sholat tarawih. (photo by budisusilo)

Dunia terus berkembang, kehidupan jaman semakin modern, jumlah penduduk dan pertukaran budaya terus masuk ke Gorontalo membuat mesjid ini pun beradaptasi dengan kondisi terkini.

Perubahan ini nampak mencolok masuk di tahun 1999, bangunan dan model mesjid diubah total. Oleh Presiden Habibie masjid lebih tampak berwarna penuh gaya seni tinggi.

Era inilah, interior mesjid lebih ceria dihiasi indah seni kaligrafi yang dibuat oleh para seniman dari jawa. Serta interior mesjid pun dilengkapi 16 pondasi yang menandakan sebagai kekuatan eksistensi bangunan mesjid. "Pak Rahmat Gobel juga ikut membantu waktu itu, ia jadi pemimpin proyeknya," katanya. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN