MARSIDI MENERANGI MENGKANG
Marsidi Menerangi Mengkang
Oleh: Budi Susilo
PERJALANAN jauh yang ku tempuh dari
Kota Manado ke Kotamobagu, Sabtu (26/5/2012) lalu, melalui jalur darat sekitar 4 jam
akhirnya dapat ku syukuri.
Aku dapat tiba dengan selamat, berterima kasih banyak kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan perjalanan. Amin ya robal alamin.
Aku dapat tiba dengan selamat, berterima kasih banyak kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan perjalanan. Amin ya robal alamin.
Ya, ke Kotamobagu, plesiran ke Desa
Mengkang, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaangmongondow, Provinsi Sulawesi Utara bukan tanpa tujuan.
Mau bertemu dengan seorang kepala desa yang menjadi inisiator pemenuhan tenaga listrik secara mandiri di Desa Mengkang. Kepala desa yang dimaksud bernama Marsidi Kadengkang.
Mau bertemu dengan seorang kepala desa yang menjadi inisiator pemenuhan tenaga listrik secara mandiri di Desa Mengkang. Kepala desa yang dimaksud bernama Marsidi Kadengkang.
Pergi ke desa ini sudah jauh-jauh
hari ku rencanakan. Saat tiba di lokasi rasanya puas, bukan lagi pepesan kosong
yang sebatas mimpi.
Berangkat sekitar jam 3 pagi dari Manado dan tiba di Kotamobagu sekitar jam 7 pagi menjadi pengalaman baru, dapat menikmati indahnya suasana Kotamobagu yang masih bernuansa pedesaan.
Berangkat sekitar jam 3 pagi dari Manado dan tiba di Kotamobagu sekitar jam 7 pagi menjadi pengalaman baru, dapat menikmati indahnya suasana Kotamobagu yang masih bernuansa pedesaan.
Jembatan gantung menuju ke Desa Mengkang (photo by budi susilo) |
Menginjakan tanah Kotamobagu Desa Mengkang jadi kebanggan tersendiri, yang pastinya akan berkesan dan akan jadi bahan sumber bercerita ke anak cucu ku nanti. Amin ya robal alamin.
Sebelum berlanjut ke Desa Mengkang,
sejenak ku beristirahat di tempat teman terbaik ku, Edi Sukasah, di Jalan Arif
Rahman Hakim, daerah yang masih berdekatan dengan pusat Kotamobagu.
Bersinggah
di tempat Edi, bercerita banyak mengenai seluk-beluk Kotamobagu. Maklumlah
temanku dari Jawa Barat ini sudah hampir satu tahun lebih bertugas sebagai
seorang jurnalis di daerah Kotamobagu dan sekitarnya.
Berbekal nomor handphone Kepala Desa
Mengkang, aku mencoba menghubunginya. Berjanjian untuk bertemu, dan rupanya
Kepala Desa Mengkang bertempatinggal di Desa Kepondakan Satu, yang jaraknya
dekat dari kediaman temanku Edi, yang hanya sekitar 25 menit untuk tiba di
Kepondakan Satu.
“Saya kebetulan lagi
tinggal disini. Kita ketemu disini saja, lalu kita nanti bareng-bareng ke
lokasi Desa Mengkang,” tutur Marsidi melalui telepon genggamnya.
Tanpa berpikir panjang, aku pun
bergegas menuju daerah Desa Kepondakan Satu memakai kendaraan umum yang oleh
orang lokal sering disebut becak motor atau bentor.
Kendaraan yang merakyat ini cukup nyaman, kita duduk di bagian depan dapat puas melihat suasana geliat aktivitas orang-orang.
Kendaraan yang merakyat ini cukup nyaman, kita duduk di bagian depan dapat puas melihat suasana geliat aktivitas orang-orang.
Singkat cerita, setibanya di kediaman
Marsidi di Kepondakan Satu, tanpa panjang lebar pak Marsidi langsung mengajaku
ke lokasi Desa Mengkang, memakai mobil Kijang miliknya yang merah tua.
“Perjalanan ke Desa Mengkang kita butuh waktu
sekitar satu jam. Walau pun jauh, tapi perjalanannya asik, tidak membosankan,”
tandas Marsidi.
Berangkatlah kami menuju ke lokasi.
Di perjalanan tidak ada halangan macet, maklumlah suasana pedesaan bila
berbicara jumlah kendaraan bermotor, tidak terlalu padat.
Dalam perjalanan ku
melihat, sebagian besar bangunan rumah warga setempat bermodel serupa, ada
jendela di bagian kanan dan kirinya, serta pintunya pada bagian tengah rumah.
Bahan bangunanya pun kebanyakan dari material kayu, tidak banyak yang berbahan
beton. Mungkin alamnya menyediakan banyak kayu-kayu, wajar model pemukiman
warganya banyak berfitur kayu.
Jalan menuju Desa Mengkang menantang,
banyak rintang menghadang, namun mobil yang dikendarai pak Marsidi terus
melaju, tetap ditantang meski ganasnya alam panjang membentang.
Jalan
berkelok-kelok bila tak stabil mengendarai bisa celaka. Belum lagi ditambah beberapa jalur aspal yang sudah
berlubang, berkerikil dan berlumpur, rasanya tingkat kehati-hatian menjadi
modal utama dalam mengendarai kendaraan di medan menuju Desa Mengkang.
Yang lebih memacu adrenalin ketika
menyebrangi beberapa anak sungai berair jernih. Pak Marsidi dengan gagah
beraninya melajukan mobil di lintasan yang tidak wajar.
Ia mencoba menyebrang lewati anak sungai yang dangkal dan berkerikil. Jika dihitung-hitung kedalaman sungai itu hanya seukuran mata kaki orang dewasa. “Ya, saya sih sudah biasa lewat jalan seperti ini,” anggap entangnya pak Marsidi.
Ia mencoba menyebrang lewati anak sungai yang dangkal dan berkerikil. Jika dihitung-hitung kedalaman sungai itu hanya seukuran mata kaki orang dewasa. “Ya, saya sih sudah biasa lewat jalan seperti ini,” anggap entangnya pak Marsidi.
Sekitar satu jam lebih kami baru bisa
tiba di lokasi Desa Mengkang. Setelah
berjuang merasakan perjalanan jauh dan menantang, akhirnya dapat menghirup
udara segar Desa Mengkang.
Lingkungan Desa Mengkang yang asri dan bersih (photo by budi susilo) |
Ku perhatikan desa ini terbilang sudah ideal, ada
bangunan sekolah dari Taman Kanak-kanak
sampai Sekolah Tingkat Pertama (SMP).
Sekeliling alam desanya dihiasi beberapa
bukit-bukit hijau yang rindang. “Desa ini berdekatan dengan Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone,” ungkap Pak Marsidi.
Setibanya di Desa Mengkang, sekitar
jam 3 sore, Pak Marsidi langsung mengarahkan ku ke lokasi pembangkit listrik
tenaga air yang lokasinya tidak jauh dari gapura masuk Desa Mengkang, yang
berjarak sekitar 150 meter.
“Kalau siang
sampai sore jam segini, kincir air (sumber tenaga listrik) tidak kita putar.
Kita tutup bendungan aliran sungainya,” tutur Pak Marsidi.
Mendengar penjelasan itu, rasa
penasaran ku memuncak. Apa sebabnya, siang sampai sore, kincir air tidak
dioperasikan. Bagaimana bisa warga merasakan aliran listrik ?, bukannya kincir
air itu dibuat untuk dipakai buat pemenuhan energi listrik.
Secara lugas, pak Marsidi menjelaskan, di
Desa Mengkang ada aturan dalam penggunaan aliran listrik. “Sengaja kami tidak
operasikan di siang sampai sore,” tuturnya.
Kata pria beranak dua ini, tidak
dioperasikannya kincir air pada saat siang sampai sore karena bukan
pertimbangan penghematan, apalagi karena alasan persyaratan ilmu-ilmu hitam.
Marsidi perlihatkan kincir air sumber tenaga listrik (photo by budi susilo) |
Menurutnya, atas dasar kesepakatan bersama, kincir air dinyalakan saat malam
tiba hingga jelang pagi. Karena di jam-jam seperti ini banyak warga yang
meluangkan waktunya di rumah. Berbeda dengan jam siang sampai sore, banyak
beraktivitas di luar rumah.
“Di siang sampai sore kita matikan,
biar orang keluar rumah. Pergi mencari nafkah, berkebun, bertani di luar rumah.
Coba kalau kita tidak matikan, pasti akan banyak orang bermalas-malasan pergi bertani. Nanti lebih banyak memilih di dalam rumah menonton televisi,” kata pak Marsidi.
Coba kalau kita tidak matikan, pasti akan banyak orang bermalas-malasan pergi bertani. Nanti lebih banyak memilih di dalam rumah menonton televisi,” kata pak Marsidi.
Tapi terkhusus ada kedatangan ku, pak
Marsidi berbaik hati menghidupkan kincir airnya. Ia menunjukan cara
menghidupkan kincir kepada ku, dengan cara membuka bendungan air kali.
Ketika
dibuka bendungan oleh pak Marsidi, genangan air mengalir deras di saluran
khusus yang dibuat sendiri.
Ia membuat saluran air model bertingkat. Yang pertama bagian dasar untuk aliran air normal, bila air mengalir di saluran ini kincir tidak hidup.
Ia membuat saluran air model bertingkat. Yang pertama bagian dasar untuk aliran air normal, bila air mengalir di saluran ini kincir tidak hidup.
Sedangkan saluran air di atasnya dirancang untuk mengalirkan air
ke kincir air hingga membuat kincir berputar.
Panjang saluran air dari bendungan ke
kincir sekitar 30 meter dengan tingkat kemiringan 30 derajat. Sumber air berasal dari hutan lindung Taman
nasional Bogani Nani Wartabone, tak heran air yang mengalir di saluran kincir
air mikro hidro jernih, bersih, menyegarkan.
“Selama ada air melimpah kita tidak akan mati
lampu. Kita tidak pernah merasakan listrik mati kecuali kalau kalinya kering
tidak ada air, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Aliran air sungai sebagai sumber penggerak kincir (photo by budi susilo) |
Karenanya, melihat situasi itu, tentu
menjadi pelajaran penting bagi warga setempat untuk tetap menjaga, merawat,
mencintai lingkungan asri Desa Mengkang dan sekitarnya.
Logikanya, alam dirusak
warga, maka alam pun akan memberi pelajaran berupa penderitaan hidup. “Mau
tidak mau warga harus wajib menjaga aliran sungai dan juga kelestarian alam di
Taman Nasional,” tegas Marsidi.
Sejarah Desa Mengkang, tutur Marsidi,
dahulu kala bukanlah tempat pemukiman penduduk. Waktu itu di sekitar tahun
1970-an masih berupa lahan perkebunan rakyat.
Namun jaman berkembang, pertumbuhan penduduk mendongkrak di daerah Kecamatan Lolayan membuat beberapa warga mencari tempat tinggal yang nyaman, berdekatan dengan sumber air.
Namun jaman berkembang, pertumbuhan penduduk mendongkrak di daerah Kecamatan Lolayan membuat beberapa warga mencari tempat tinggal yang nyaman, berdekatan dengan sumber air.
“Dulu
itu ada satu dua warga yang tinggal di lahan perkebunan ini, termasuk saya.
Waktu itu belum bisa dikatakan sebagai desa,” ungkapnya.
Baru ditetapkan sebagai Desa Mengkang
saat memasuki Januari tahun 2006 kala ada pemekaran daerah.
Uforia otonomi daerah yang seluas-luasnya pasca reformasi 1998, membuat daerah ini harus mengubah menjadi desa, yang terdapat sistem administrasi pemerintahan.
Uforia otonomi daerah yang seluas-luasnya pasca reformasi 1998, membuat daerah ini harus mengubah menjadi desa, yang terdapat sistem administrasi pemerintahan.
Tidak
heran, tutur Marsidi, saat akan ditetapkan jadi desa wilayah ini dilengkapi
rumah ibadah umum, sekolah dan kantor pemerintah tingkat desa.
“Saya dipercaya jadi kepala desa,” kata Marsidi yang merupakan kelahiran 3 September 1957 ini.
Beban tanggungjawab inilah yang kemudian membuat hati nuraninya terbangun untuk memajukan desanya yang baru saja lahir.
Berlatarbelakang pendidikan Teknik Listrik, maka pak Marsidi pun memiliki gagasan pemenuhan kebutuhan listrik.
“Saya dipercaya jadi kepala desa,” kata Marsidi yang merupakan kelahiran 3 September 1957 ini.
Beban tanggungjawab inilah yang kemudian membuat hati nuraninya terbangun untuk memajukan desanya yang baru saja lahir.
Berlatarbelakang pendidikan Teknik Listrik, maka pak Marsidi pun memiliki gagasan pemenuhan kebutuhan listrik.
“Jaman sekarang orang itu pasti
butuh listrik. Kalau ada listrik kita bisa lakukan apa saja, tanpa ada listrik
rasanya bagai hidup derita,” ujarnya.
Di awal menjabat, pernah dapat
bantuan dari pemerintah kota. Berupa pemberian mesin genset sumber tenaga
listrik 200 Watt. Tapi pikir pak Marsidi, ini seakan sia-sia, tidak selesaikan
persoalan pemenuhan kebutuhan listrik.
Mesin dinamo penghasil sumber listrik rakitan Marsidi (photo by budi susilo) |
Kalau memakai mesin pemberian dari
pemerintah tentu akan menambah beban masyarakat desa itu sendiri. Untuk penuhi
kebutuhan makan dan sandang saja, warga Desa Mengkang hanya seadanya, hidup
dengan sangat sederhana.
Rasanya tidak mungkin harus beli bensin, dipakai untuk
menghidupkan mesin genset pemberian dari pemerintah.
“Nyalakan mesin genset perlu bensin.
Tidak ada bensin tidak akan hidup, warga tidak bisa nikmati aliran listrik.
Lagian juga sumber energi listrik dari genset tidak ramah lingkungan, makanya
mesinnya tidak dipakai, sayang sekali kan,” prihatinnya.
Olah pikir, putar sana-sini menguras
otak, pak Marsidi mencoba cari jalan keluar, ingin temukan ide bagaimana dapat
memenuhi energi listrik yang efisen tapi efektif secara maksimal.
Bekal modal ilmu di bangku sekolahnya di STM (Sekolah Teknik Mesin) Kota Manado, akhirnya ia temukan gagasan pemenuhan energi listrik dari dinamo, mengubah tenaga gerak menjadi energi listrik.
Bekal modal ilmu di bangku sekolahnya di STM (Sekolah Teknik Mesin) Kota Manado, akhirnya ia temukan gagasan pemenuhan energi listrik dari dinamo, mengubah tenaga gerak menjadi energi listrik.
“Saya
lihat-lihat alam Desa Mengkang juga mendukung untuk dibuat sumber listrik. Yah,
akhirnya inisiatif saya buat mikro hidro, tenaga listrik yang sumbernya dari
aliran sungai, pakai kincir air,” katanya.
Dicarilah dinamo, ia pun belanja ke
pusat kota, membeli dinamo berdaya 3 ribu Watt. Tanpa berpikir panjang, pak
Marsidi enggan mengemis dalam memperoleh dinamo yang diinginkannya. “Beli pakai
uang sendiri. Dapat mesin dinamo 3 ribu Watt,” tuturnya.
Pikirnya, membeli mesin dinamo 3 ribu
Watt sudah cukup untuk mengaliri listrik di Desa Mengkang. Pasalnya, warga yang
tinggal di daerah ini tidak banyak, hanya berkisar 20 kepala keluarga. “Pakai
dinamo tidak perlu pakai bensin,” katanya.
Tidak seperti mudahnya membalikan
telapak tangan, pelaksanaan ide mikro hidro pak Marsidi butuh waktu dan tenaga,
butuh perjuangan ekstra keras dalam mewujudkannya.
Apalagi sebelum pembuatan,
ada beberapa orang merasa pesimis, mencibir, bahwa ide mikro hidro pak Marsidi
itu hanyalah mimpi, seperti orang yang berimajinasi pergi ke langit ketujuh.
“Dulu ada yang tidak yakin. Masih ada
yang mempertanyakan, bagaimana mungkin dengan kemiringan aliran sungai 30
derajat bisa menggerakan mesin dinamo.
Tempatnya tidak cocok untuk pembangkit listrik tenaga air,” tuturnya, mengulangi perkataan orang-orang yang dirasa pesimis.
Tempatnya tidak cocok untuk pembangkit listrik tenaga air,” tuturnya, mengulangi perkataan orang-orang yang dirasa pesimis.
Tanpa pengaruh akan hal-hal itu, pak
Marsidi tetap jalan, sebab di dalam dirinya menyimpan prinsip kuat.
Keyakinan dan keteguhan besar adalah modal terpenting pak Marsidi dalam melanjutkan gagasan mikro hidronya. “Buat saya kerja itu pakai otak, tidak hanya sekedar pakai otot,” tegasnya.
Keyakinan dan keteguhan besar adalah modal terpenting pak Marsidi dalam melanjutkan gagasan mikro hidronya. “Buat saya kerja itu pakai otak, tidak hanya sekedar pakai otot,” tegasnya.
Baginya, bekerja itu jangan terlalu
banyak di perkataan, yang terucap dari mulut. Ia menganjurkan, bekerja itu,
harusnya yang lebih banyak dipamerkan adalah tindakannya.
Perbuatan harus diutamakan, sebagai pembuktian kalau orang itu memiliki prinsip jati diri yang kokoh.
Perbuatan harus diutamakan, sebagai pembuktian kalau orang itu memiliki prinsip jati diri yang kokoh.
“Saya punya tekad untuk berbuat. Tidak sekedar perkataan saja, saya
berani berbuat untuk membuktikan ide-ide saya,” kata Marsidi.
Dihitung-hitung, tak terhingga
hitungan kegagalan pak Marsidi dalam menggarap pembangkit listrik tenaga air Desa
Mengkang. “Ada puluhan kali saya gagal. Saya coba terus sampai dapat,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, hal yang tersulit ia lakukan ketika mencari titik posisi
perputaran roda kincir. Kadang air sudah mengalir, mengenai roda kincir
tapi tidak bisa bergerak. “Saya
geser-geser ke kanan, kadang juga ke kiri, tapi belum bisa juga,” ungkapnya.
Banyak jalan menuju Roma, pak Marsidi
tidak putus asa. Buatnya, kegagalan yang ia alami semakin membuat rasa
penasaran dirinya besar, memecut semangat kerjanya. Berhari-hari terus
berpikir, memandangi lokasi pembangkit, berharap ada jalan keluar.
Kincir bergerak berputar oleh arus air sungai yang deras (photo by budi susilo) |
“Saya coba
juga utak-atik ukuran jari-jari kincir. Mencari ukuran jari-jari kincir yang
pas. Juga mengukur saluran aliran air biar pas. Berulang-ulang terus saya
lakukan,” katanya.
Ibarat pepatah, berakit-rakit dahulu,
berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Ya akhirnya, pak Marsidi senangnya bukan kepalang, berhasil temukan titik perputaran kincir. Aliran air sungai yang deras dengan debit yang pas, kincir air dapat berputar, mampu menggerakan mesin dinamo.
Ya akhirnya, pak Marsidi senangnya bukan kepalang, berhasil temukan titik perputaran kincir. Aliran air sungai yang deras dengan debit yang pas, kincir air dapat berputar, mampu menggerakan mesin dinamo.
“Saat berhasil kita
nyalakan mesin dinamo, saya sangat senang. Ide saya akhirnya bisa dibuktikan. Rumah warga yang saya pasang lampu bohlam secara mengejutkan dapat nyala, ini
pembuktian bahwa telah sukses,” ungkapnya dengan penuh rasa bangga.
Dari sinilah kemudian ia lanjutkan
dengan perluasan kabel litrik agar beberapa rumah yang ada di Desa Mengkang
mampu merasakan secara merata. Kala itu baru sekitar 20 kepala keluarga yang
menetap di Desa Mengkang.
“Saya dibantu warga memasang instalasi listrik ke
beberapa rumah. Kurang lebih waktu itu panjang kabelnya sampai 2 ribu meter,”
urainya.
Rincian harganya, kabel listrik waktu
itu per roll Rp 250 ribu. Untuk per roll, panjang kabel berukuran 100 meter.
Bila kabel yang dibutuhkan sekitar 2 ribu meter, maka pak Marsidi harus mengeluarkan kocek sampai Rp 5 juta.
Bila kabel yang dibutuhkan sekitar 2 ribu meter, maka pak Marsidi harus mengeluarkan kocek sampai Rp 5 juta.
Niat mengabdi sebagai kepala desa,
pak Marsidi mengeluarkan uang sakunya sendiri untuk belanja peralatan kabel
listrik. Tidak mengandalkan dari uang kas pemerintah daerah, apalagi sampai
harus mengajukan proposal ke lembaga-lembaga sosial.
“Untungnya saya masih
punya uang lebih. Saya buat pakai beli kabel saja. Kalau menunggu bantuan pasti
prosesnya lama, padahal warga sudah mendesak sekali butuh aliran listrik,”
tandasnya.
Singkat cerita, memasuki 2008,
kondisi Desa Mengkang terus ramai, banyak warga pendatang untuk bertempat
tinggal di Desa Mengkang.
Beberapa warga disekitarnya, ada yang memilih Desa Mengkang sebagai hunian. Bertambahlah jumlah penduduknya, dari 20 kepala keluarga sekarang sudah mencapai 62 kepala keluarga.
Beberapa warga disekitarnya, ada yang memilih Desa Mengkang sebagai hunian. Bertambahlah jumlah penduduknya, dari 20 kepala keluarga sekarang sudah mencapai 62 kepala keluarga.
Melihat kondisi itu, pak Marsidi
tidak berpangku tangan. Walau sudah masuk umur tiga tahunan sebagai kepala desa,
naluri mengabdi pak Marsidi masih hidup menggelora.
“Penduduk tambah banyak.
Listrik tidak akan tercukupi kalau masih pakai mesin 3 ribu Watt. Satu-satunya
jalan harus ada tambah daya dan jaringan kabel listrik,” katanya.
Coba berpikir, pak Marsidi pun
bertukarpendapat bersama istrinya. “Apa kita beli mesin lagi ya, yang lebih
bagus dari sekarang,” ujarnya mengulangi perkataannya ke sang istri. Namun
istrinya pun rupanya setuju atas pendapat pak Marsid.
“Bagaimana kalau kita
beli baru saja lagi, pakai uang kita sendiri, apakah kamu juga setuju,”
tuturnya ke sang istri kala itu.
Dan hasilnya istri pun sepakat, rela bila
membeli mesin baru pakai uang sendiri. “Istri saya juga menyetujui pakai uang
sendiri. Ya, dari mulai ini, kemudian saya beli mesin yang baru,” ungkapnya.
Pak Marsidi masih ingat betul, uang
yang dikeluarkannya untuk membeli mesin baru mencapai Rp 3.250.000.
Mesin yang ia beli itu, mesin dinamo berkapasitas 10 ribu Watt, lebih baik dari mesin sebelumnya yang hanya 3 ribu Watt.
Mesin yang ia beli itu, mesin dinamo berkapasitas 10 ribu Watt, lebih baik dari mesin sebelumnya yang hanya 3 ribu Watt.
“Saya yakin beli yang 10 ribu Watt bisa
penuhi kebutuhan listrik warga secara maksimal,” optimisnya kala itu.
Lalu apakah pak Marsidi termasuk
orang yang terkaya di desanya, memiliki harta melimah hingga mau berkorban
membeli mesin dinamo 10 ribu Watt.
Ia mengaku, secara ekonomi termasuk golongan orang yang masuk dalam ekonomi menengah, bukan hartawan.
Ia mengaku, secara ekonomi termasuk golongan orang yang masuk dalam ekonomi menengah, bukan hartawan.
Hidup sederhana,
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa adanya. “Saya mau kebutuhan rakyat, bisa
dipenuhi.
Kepala desa harus bisa melindungi, memberikan rasa aman nyaman ke rakyatnya. Saya hanya mengabdi. Rakyat senang, saya juga ikut senang,” tutur pak Marsidi.
Kepala desa harus bisa melindungi, memberikan rasa aman nyaman ke rakyatnya. Saya hanya mengabdi. Rakyat senang, saya juga ikut senang,” tutur pak Marsidi.
Uang yang dipakai untuk belanja mesin
dinamo ungkap pak Marsidi, berasal dari tabungan yang dimiliki olehnya dan
seorang istri tercintanya.
Uang tabungan tersebut merupakan penghasilan dari panen kopra miliknya. “Ada uang simpanan dari hasil kopra saya pakai, buat beli mesin dinamo,” katanya.
Uang tabungan tersebut merupakan penghasilan dari panen kopra miliknya. “Ada uang simpanan dari hasil kopra saya pakai, buat beli mesin dinamo,” katanya.
Begitu pun tambahan biaya untuk instalasi kabel
listrik, diambil dari uang tabungannya. “Waktu ada tambahan kabel listrik, saya
juga keluar uang sendiri,” ungkap pria berambut putih ini.
Ada tujuan mulia, pak Marsidi membuat
pembangkit listrik tenaga air. Ia niatnya bukan untuk mencari kekayaan, apalagi
mengejar popularitas semata.
Semua yang dilakukannya itu berkaitan dengan
amanah yang diembannya sebagai kepala desa, warga masyarakat telah mempercayainya
sebagai pemimpin desa.
Suasana komplek kincir air di Desa Mengkang (photo by budi susilo) |
Berangkat dari inilah, ia tidak mau mengingkari,
mencederai amanah yang diberikan oleh warga Desa Mengkang ke dirinya.
“Waktu pembangkit sudah jadi, saya
tidak ada pikiran satu pun, untuk mengkomersilkan ke warga saya. Bagi saya
pembangkit listrik milik semua, hasil kerja semua warga, makanya dinikmatinya
juga bersama-sama,” tuturnya.
Jalan tengahnya, pak Marsidi
mengumpulkan warga, melakukan musyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam
pengelolaan pembangkit listrik tenaga air Desa Mengkang.
Menurutnya, pembangkit
listrik buatannya tidak hanya sekedar dipakai, dimanfaatkan begitu saja, tetapi
harus butuh perawatan juga.
“Pakai mesin dinamo butuh perawatan. Daya tahan
kincir airnya juga ada masanya, pasti akan rusak juga,” urainya.
Karena itu, warga Desa Mengkang pun
di tiap bulan secara sukarela memberikan imbalan. Minimal iuran yang harus
dibayar Rp 10 ribu per bulan.
Uang yang terkumpul digunakan bagi pembiayaan
perawatan pembangkit listrik. Hasil donasi dari warga dipakai untuk pembayaran,
jika terjadi kerusakan dan peremajaan alat pembangkit listrik.
Hebat ya, desa
ini masih sangat menjunjung tinggi nilai budaya Mapalus (gotong royong), padahal yang
kian hari sifat hal ini di perkotaan sudah mulai dilupakan oleh banyak orang, telah luntur digempur arus globalisasi. ( )
Komentar
Posting Komentar