MISKIN PENDEKAR HUKUM

Miskin Pendekar Hukum
Oleh: Budi Susilo

"Pemberian bantuan hukum dan pelayanan hukum pada masyarakat agar mereka memperoleh dan menikmati semua haknya yang diberikan oleh negara dan bantuan hukum menjadi hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayaran (Pro Bono Publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum." (LBH 2010)

Mungkin kalimat tersebut akan hanya jadi hiasan indah dikertas, dikenang sebagai teori manis dalam dunia hukum di Sulawesi Utara (Sulut). Sebab kenapa, persoalan hukum kini sangat komplek, tidak hanya terjadi di Sulut tetapi sudah meluas secara nasional. Ada kesan bahwa hukum Indonesia kini telah berwajah abu-abu, di teori bagus tetapi dalam praktik sangat bertentangan, lebih mengutamakan kepentingan pemilik uang ketimbang penempatan hak-hak yang terampas.

Kaitannya dengan prinsip Pro Bono Publico di Sulut seolah mengalami kelangkaan. Tak banyak orang ingin jadi pendekar hukum orang kecil sebagaimana pernah diperankan oleh Adnan Buyung Nasution atau yang sudah melegenda Yap Thiam Hien seorang pria penegak keadilan dan hak asasi manusia yang lahir di Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913.

Fakta lapangan ini terbaca ketika meluncurkan program Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang digagas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado mengalami penurunan jumlah peserta, ini pertanda proses kaderisasi terhadap pengabdian hukum ke masyarakat kecil mulai mengendur. Walau tidak ikut sebagai peserta Kalabahu, perasaan prihatin itu pun juga muncul, benak hati terus bertanya kenapa bisa begini ? apa ada yang salah ? lantas apa penyebabnya.

Ketika berdiskusi, usai hadiri pelatihan Kalabahu bertema Analisa Sosial dan Perubahan Sosial, Senin (20/2/2012) berjumpa Maharani, Ketua LBH Manado. Wanita berambut sebahu ini bercerita kegalauan masa depan pergerakan LBH Manado ke depan. Padahal tuturnya, sebelum memasuki era tahun 2008, generasi peminat dalam menggeluti dunia bantuan hukum di LBH terbilang besar, karena secara kuantitatif didukung oleh sumber daya manusia yang melimpah.

Tetapi berbeda katanya, saat pasca tahun 1998, gairah ini mulai mengendur, banyak orang mereka yang lulusan sarjana hukum enggan mengabdi sebagai pendekar hukum. Di Sulut ini ada universitas fakultas hukum, tapi kenapa terjadi sepi peminat jika digelar pelatihan hukum oleh LBH Manado.

Dulu itu, cerita Maharani lagi, saat mendekati tahun 1998, jumlah peminat yang ikut dalam program Kalabahu itu dikatakan bagus, antusiasnya besar. Banyak pemuda-pemudi lulusan fakultas hukum ingin terjun langsung di LBH Manado. Sampai-sampai, ungkapnya, mereka itu saat ingin ikut pelatihan hukum LBH Manado harus melalui tahapan proses seleksi, tidak sembarangan orang dan dipersyaratkan juga harus membayar uang registrasi.

Berbeda kini, memasuki era pasar bebas ASEAN 2015, berubah 180 derajat, peminat sebagai aktivis LBH Manado rendah. Tidak lagi seperti jaman detik-detik tumbangnya rezim otoriter Soeharto, kala itu LBH Manado jadi wadah favorit penyalur idealisme perjuangan hukum. Cerita Maharani sambungnya, tahun 2012 program Kalabahu gratis dan tidak harus lewat proses seleksi tetapi sepi peminat. Yang ikut hanya satu dua orang saja, ironisnya banyak yang masih berstatus mahasiswa akhir dan itu pun LBH Manado mengundangnya berkesan 'membujuk' tanpa dari kesadaran dan keterpanggilan nurani masing-masing peserta.

Melihat fenomena ini Pengamat Sosial dan Antropologi Sulut dari Universitas Sam Ratulangi, Mahyudin Damis angkat bicara. Ditemui saat itu ia menyinggung LBH sebagai lembaga hukum yang dikenal di Indonesia. Telah jadi baromter penegakan hukum dan hak asasi manusia kaum-kaum tertindas yang lemah. Pria berkumis tebal ini berkata, LBH itu biasanya dikaitkan dengan golongan kelas orang miskin yang tidak mampu membayar advokat. Kerja-kerjanya dihubungkan dengan orang miskin secara ekonomi dan buta hukum.

FOTO: Suasana proses hukum acara pidana di Pengadilan Negeri Manado_budisusilo

Diskusinya yang semakin mengerucut, ia menegaskan, apa yang terjadi di Sulut itu sudah menjadi kultur orang di Sulut, bahwa ingin selalu mencari rasa aman dan nyaman, kulturnya itu mau damai-damai saja, tidak perlu ribut-ribut. Padahal kondisi adem tentram itu tidak menjamin sebuah keadaan fakta yang benar, mungkin saja ada penyimpangan-penyimpangan yang tidak tampak, tertutup, tak diketahui banyak publik dengan balutan rasa tentram karena sengaja telah diamankan. Mencari karakter pribadi seorang aktivis itu agak sulit disini, itulah kenapa kala itu di Sulut, pernah dikirimkan oleh pergerakan pemuda dari luar Sulut berupa lipstik dan BH di reformasi tahun 1998.

Apalagi mereka para aktivis yang bergelut di LBH Manado itu modal dasarnya adalah pengabdian ke masyarakat lemah. Bukan lagi orentasi mencari keuntungan materi, menumpuk banyak harta. Andai kan kala itu Bang MD, sapaan akrab Mahyudin Damis sebagai sarjana hukum pastinya akan terjun langsung, bergelut menjadi pendekar hukum Sulut. Menarik memang dari pengakuan Bang MD ini, menyentil beberapa mereka yang telah bergelar hukum, eksistensinya tidak terlihat di permukaan, kemana selama ini, mereka yang pandai hukum kenapa tidak berunjuk gigi sebagai pendekar hukum ala LBH.

Bijaknya Bang MD, ini perlu dikembalikan lagi ke masing-masing pribadi, LBH itu kerja pengabdian, jaman sekarang siapa yang ingin melakukan hal ini, pasti sulit rasanya. Karena itulah, sebagai langkah alternatif untuk keluar dari "kultur" tersebut, Bang MD memberikan gambaran, bahwa mereka yang 'jago' hukum harus berkaca pada sikap teladan dari kedua tokoh LSM yang kini menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad serta Bambang Wijianto. Dan ternyata, civil society LBH atau NGO bisa pula mengantarkan seseorang menjadi negarawan jika mereka konsisten dalam perjuangannya, membela kebenaran.

Marilah bergerak bersama, merapat erat dalam persatuan di pergerakan untuk kebaikan agar ke depan supermasi penegakan hukum di Sulut tegak berdiri, keadilan tonggak utama tujuan penegakan hukum dan diharapkan Sulut tak lagi 'miskin' pendekar hukum wong cilik serta membuminya visi misi LBH, di Sulut seperti:

(1) Mempengaruhi kebijakan publik yang menentukan terjaminnya hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil dan politik. Prasyarat yang mutlak adalah meningkatkan kemampuan dan kepedulian kontrol sosial bagi kekuatan-kekuatan organisasi masyarakat sipil untuk mendorong lahirnya kebijakan publik yang berpihak kepada hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipol, baik ditingkat nasional maupun internasional, (2) Memainkan peran bersama-sama masyarakat sipil dalam menentukan arah transisi politik dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan keadilan Gender. Menentukan arah transisi politik berarti memprakarsai dan memanfaatkan ruang publik atas dasar kepentingan masyarakat sipil dan (3) Memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya gerakan rakyat, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan posisi tawar dalam sistem politik makro.

Kenapa hal itu harus membumi di Indonesia, supaya ketentuan Undang-undang Dasar 1945 yang disinggung dalam pasal 34, mampu teraplikasi dalam alam kenyataan, para fakir miskin memperoleh jaminan prinsip persamaan di hadapan hukum, agar tercapainya pengentasan kemiskinan masyarakat. ( )

Komentar

  1. Mantab, tulisannya berbobot mas. semoga makin baik ke depan hukum kita.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN