REPUBLIK TANPA JONGOSRAKYAT

Republik Tanpa Jongosrakyat
Oleh: Budi Susilo

JELANG detik akhir tahun, persisnya Desember pertengahan 2011, aku susur beberapa kios-kios di Taman Kesatuan Bangsa Kota Manado, di antaranya ada yang menjajakan kalender masehi 2012. Kala itu, harga yang ditawarkan bervariasi, dibandrol Rp 10 ribu sampai yang termahalnya Rp 20 ribu per kalender, ini menurut hukum pasar termasuk harga yang masuk dalam batas kewajaran.

Tetapi berbeda dengan kondisi di Jakarta, warga yang menghuni gedung beratapkan Hijau di Senayan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), untuk memiliki kalender harus merogoh kocek dalam-dalam, sampai milyaran rupiah, padahal cuma kertas bergambar penanggalan bulan masehi harga bandrolnya selangit.

Apa yang sempat melintas di pikiran mereka, hingga harus ada pengadaan kalender berharga milyaran sampai menyentuh angka Rp 1,3 milyar. Belum lagi renovasi ruang rapat badan anggaran, rencana renovasi parkiran, toilet yang menelan milyaran rupiah, kesemuanya memakai uang rakyat.

FOTO_istimewa

Belakangan politisi penyelenggara Republik ini memang semakin menjengkelkan, jauh dari nilai-nilai perjuangan rakyat, padahal di momen pemilu mereka selalu berteriak janji akan mengutamakan kebutuhan rakyat banyak, mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan menumpas penyakit korupsi kolusi dan nepotisme.

Seolah kekuasaan itu bukan lagi jadi alat perjuangan. S udah beralih menjadi alat mengeruk kepentingan segelintir orang, demi mencapai kekayaan materi pribadi. Sudah bukan jadi rahasia umum, era reformasi yang menggadang-gadangkan otonomi daerah pun terkadang disalah artikan sebagai sarana penciptaan raja-raja baru di daerah. Bukan lagi sistem republik jadi acuan, tetapi sudah mengubah haluan menjadi monarki, hanya mengejar kepentingan pribadi penguasa yang berkuasa.

Penyelenggara negara telah kehilangan ruh jongosrakyat, yang notabene harus melayani dan mengabdi demi kebaikan masyarakat secara meluas dengan melandaskan pada prinsip antifeodal, egaliter dan mandiri. Malah sebaliknya, penyelenggara negara maunya jadi raja rakyat yang ingin dilayani, disanjung oleh rakyatnya demi mencapai kekuasaan yang absolut atas nama kepentingan pribadinya yang sejahterah sehat sentosa dan warga negara lainnya disisihkan.

Baru-baru ini, di daerah Utara kepulauan Sulawesi, seorang pemangku pemerintahan yang menduduki pucuk utama daerah berjulukan Nyiur M elambai merayakan Ulang Tahun pribadinya, tetapi di acara ini terdapat penggunaan simbol negara sebagai pendukung kelancaran acaranya.

Podium pemerintah provinsi dipakai, terpajang di atas panggung yang disaksikan tamu ratusan orang di Hotel Novotel malam hari itu. Apa memang keberadaan podium itu multifungsi, dapat bebas dipakai untuk acara apa saja? Kalau begitu masyarakat luas dapat meminjamnya.

Belum lagi ada beberapa tamunya yang datang memakai kendaraan dinas berplat merah yang notabene milik negara, namun apakah menghadiri Ulang Tahun seseorang itu dapat dikatakan sebagai tugas negara ?

FOTO: rizkiadriansyah_gubernur sulut di acara ultah ke-67

Inilah yang kemudian dari sebuah karya Ian Bremmer, The End of The Free Market (2011), dapat dibenarkan teorinya mengenai kapitalisme negara. Sebab kenapa, karena kini bentuk pasar bebasnya tak terkendali, telah ada bentuk ses uatu yang baru, bernama kapitalisme negara.

Sistem ini, pemerintah memanfaatkan pasar untuk menimbun kekayaan yang dapat digunakan sekehendak hati kalangan pejabat politik. Ia menggambarkan pula kejadian ini seperti di kerajaan Saudi yang menggunakan pendapatan kerajaan dari minyak yang berlimpah untuk membeli kemananan dalam negeri dan kesetiaan warga negara mereka.

Sekarang apa yang terjadi di Indonesia, bagai pijarnya kore k api yang jatuh ke perairan kutub es. Sudah hilang semangat mengabdi, lenyap dimakan nafsu keduniaan, prinsip sebagai jongosrakyat tak lagi menjadi kiblat dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Jongosrakyat telah mati, menantinya lagi bagai menunggu matahari terbit di malam hari.

Apa yang dikatakan oleh pengusaha industrial estate Ind onesia, Setyono Djuandi Darmono, "Yang lebih penting, kita harus bekerja untuk bangsa dan negara, sambil tetap hidup sederhana," telah musnah, hanya jadi catatan kata mutiara di atas kertas, kalau meminjam perkataan filusuf asal Jerman Friedrich Schiller yang sering dipakai oleh mantan wakil presiden Indonesia Mohammad Hatta, "Suatu masa besar dilahirkan abad. Tetapi abad besar itu menemui manusia kerdil."

Nusantara ini, kini sedang dehidrasi akan orang-orang keperibadian yang digambarkan oleh Abraham Maslow, seorang psikolog dari Institute Laughlcn California. Ia menjelaskan adanya formulasi mengenai self actualization dan self transcedence, aktulisasi diri dan aktualisasi mengatasi diri, sebuah kecenderungan yang dialami di setiap orang.

Dijelaskan, lewat proses aktualisasi diri meningkat ke aktualisasi transeden, aktualisasi yang mengatasi diri dan karena itu ia pun akan merasakan sebuah proses maksimalisasi kepedulian pada orang lain.

ILUSTRASI_istimewa

Tentu memasuki tahun naga air di 2012 masehi ini, mari belajar bersama, mengubah yang ada menjadi gerakan untuk kebaikan. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah," kata presiden Soekarno, maka dari itu jadikan hal keburukan sebagai pelajaran berarti bagi perjalanan bangsa ini agar tak lagi terulangi.

Sudah 50 tahun lebih Indonesia menyandang sebagai negara berdaulat harus terus belajar, menyerap banyak ilmu sebagaimana Mu'adz bin Jabar berkata, "Belajarlah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah, adalah suatu kebaikan dan menuntut ilmu adala ibadah, pengkajiannya adalah tasbih, penyelidikannya bagaikan jihad, pengajarannya adalah shadaqah dan pemberian kepada ahlinya adalah pendekatan diri kepada Allah."

Dan dengan cara apa lagi, agar tidak mengalami pengulangan perlakuan yang selalu mengingkari amanah rakyat, kebijakan dan tindakan bertentangan dengan kepentingan nurani yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu bagaimana lagi agar tak dibutakan sesat materi fatamorgana kenikmatan, yang memperoleh kekuasaan seperti yang digambarkan Niccolò Machiavelli di Il Principe, mempertahankan kekuasaan dengan mencampakkan jauh-jauh aspek moral dan etika.

Ada hal paling sederhana yaitu sebagaimana mengutip dari Hadis Riwayat ath-Thabrani dan al-Hakim, Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan, "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa meringankan kesusahannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang senang, maka akan bisa membatasi kebahagiaannya itu."

Dan terlebih dari itu semua, harapan atau cita-cita yang baik itu akan dapat tercapai apabila mengalami perubahan dalam diri masing-masing, seperti yang telah dijelaskan oleh Brian Tracy dalam karyanya bukunya berjudul Maxiumum Achievement, bahwa "You can never permanently achieve anything on the outside that you are not fully prepared on the inside." ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN