MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA II

Jong, Kenalkan Namaku Tarzan
Oleh: Budi Susilo

PEMEO hidup seperti roda ternyata juga terjadi pada kawanan Macaca Nigra atau bahasa lokalnya monyet hitam Yaki yang bergenerasi hidup di hutan konservasi Tangkoko, Bitung Sulawesi Utara. Biang pemicunya juga tak beda jauh yakni persaingan atas aset sosial seperti wilayah kekuasaan, pasok makanan dan kadang soal percintaan terhadap betina.

Jong kenalkan namaku Tarzan, (dramatisirnya: Macaca Nigra seolah berkomunikasi dengan Jong sang penulis blog ini). Aku tinggal di habitat Rambo II hutan konservasi Tangkoko, Batu Putih, Bitung hidup berkelompok dan telah bergenerasi.

Aku hidup tenang berdampingan dengan Tarsius atau tangkasi yang seperti kami endemik di Semenanjung Minahasa. Selain Tarsius, kami juga hidup dalam satu kawasan dengan kelompok burung rangkong dan sejumlah serangga hutan.

Oh ya, aku juga hidup bertetangga dengan ular sanca, meskipun jujur kuakui hubungan kami dengan mereka tidak selalu baik, bahkan lebih banyak saling bermusuhan. Karena mereka suka memangsa kami, terutama anggota kawanan kami yang sakit atau turunan kecil kami yang tertinggal saat penjelajahan belantara ketika mencari sesuap makan.

Kami menyebut kawanan sanca sebagai musuh. Karena mereka dalam hubungan rantai makanan berada persis setelah kami. Paling awal namanya produsen yakni buah-buahan hutan seperti Mangga, Jambu dan Kedondong hutan yang kerap kami santap mengisi perut. Sehingga ilmuwan menyebut kawanan kami konsumen tingkat pertama.

FOTO: sugiarto 'Ugiek'

Nah, persis setelah kami kawanan sanca tadi, makanya mereka disebut konsumen tingkat dua. Karena mereka tidak makan tetumbuhan tapi memangsa kami. Itulah mengapa kami menyebut mereka predator alias pemangsa. Beruntung populasi mereka tak sebanyak dulu dan tidak sebanyak kami. Sehingga beberapa tahun terakhir, persisnya sejak kejadian terakhir pada 2004, kami dapat hidup lebih tenang.

Setiap hari aku bersama kawananku yang berjumlah 20 sampai 40 ekor lebih berkelana keliling hutan Tangkoko. Selain mencari makan, kami juga bersosialisasi. Itu perlu agar kami tidak selalu berkonflik dan juga agar kami berkesempatan berkembang dewasa dan melanjutkan proses reproduksi generasi kami yakni monyet hitam (Macaca Nigra) atau Yaki dalam istilah penduduk sekitar hutan.

Mungkin anda bertanya kenapa terjadi konflik, karena habitat kami juga mengenal hirarki kehidupan sosial. Nah, urutannya sebagai berikut. Pemimpin kawanan kami, biasanya pejantan dewasa yang berpengalaman dan cerdas, tentu pintar dalam ukuran kami. Kami biasa menyebut dia pejantan alpha, abjad Yunani paling awal. Nah, selanjutnya secara ordinal di bawahnya pejantan beta dan seterusnya hingga penjantan paling bawah.

Tugasnya pejantan alpha mempimpin kawanan kami ketika pergi menjelajah berlantara hutan dan mengawasi turunan kecil kami ketika berkeliaran. Sebagai ganjaran sosial, pejantan alpa mendapatkan akses yang tak terbatas terhadap semua betina yang ada pada kawanan kami.

Dia juga mendapatkan makanan yangpaling banyak dan tempat keliaran yang lebih luas. Semua itu pernah saya rasakan, meski sekarang tak lagi karena setelah jatuh sakit dan terluka, aku menjadi pejantan kasta bawah. Sehingga tidak ada keistimewaan seperti itu lagi. Bahkan kalau ingin bercengkrama dengan betina dewasa juga harus pakai siasat.

Jujur aturan sosial kami melarang mengganggu betina kekuasaan jantan alpha, kecuali terpasa dan dia terlena. Karenanya kami biasa menyelinap. Tapi bukan kawin lari loh. Tapi karena absolutnya kekuasaan pejantan alpa, peneliti menyebutnya male superiority, alias superioritas pejantan.

FOTO: Sugiarto 'Ugiek'

Kami memang hidup secara patriaki. Namun persaingan menjadi paling superior sangat terbuka. Syaratnya pejantan dewasa, lalu secara fisik memadai dan punya kecerdasan, tentu saja kecerdasan dalam prespektif kami. Namun semua syarat-syarat itu sia-sia jika hanya memilikinya satu, karena kami mensyaratkan semuanya harus ada. Menyiasatinya kami juga menjalin aliansi dan kadang berkoalisi.

Anda pasti bertanya-tanya kenapa bisa. Sehingga tak jarang dalam persaingan itu terjadi konflik yang kadang berakhir dengan terlukanya satu pihak, seperti aku alami. Namun kami sejatinya bukan kawanan penyuka konflik. Makanya kami mengenal resolusi konflik, meski tidak seratus persen berdamai. Bentuknya seperti grooming, mounting dan berangkulan.

Kata Jermoe yang peneliti Perancis lulusan Portsmouth University, inggris itu merupakan bentuk afeksi dan keintiman sosial. "Its a kind of social fondness," ujarnya. Kata dosen fakultas MIPA Unsrat, DR Saroyo Sumarto, perilaku itu merpukan sistem sosial di kawanan kami yang identik dengan budaya pejantan (male dominance).

Karenanya, pejantan mendapatkan semua serba lebih. Jumlah makanan, luasan wilayah keliaran dan relasi lintas gender, maksudku hubungan pejantan betina. Selain sistem sosial, kami juga mengenal sistem komunikasi. Sistem inilah yang belakangan Jerome sibuk amati dan teliti dari kami.

Benar kata dia, lengkingan, seringai dan bahsa tubuh kami merupakan alat komunikasi sehari-hari. Selain itu, benar juga kata dosen Saroyo, kami juga berkomunikasi dengan mengeluarkan bau tubuh. Makanya jangan heran kalau lakangan pemandu mengatrakan kalau mendadak, mencium bau seperti kambing, maka artinya ada kawanan kami mendekat di lokasi itu. Secara umum, bentuk komunikasi kami ada tiga, yakni visual seperti melaui suara lengkingan, lalu seringai dan mimik dan bahasa tubuh.

Semua itu menjadi emoticons kawanan kami merupakan ekspersi marah, sedih, senang dan jatuh cinta. Lalu melalui bau tertenu yabg khas, istilahnya olfaktari. Nah, ini paling sering terjadi pada betina-betina kami, terutama mereka yang berpantat merah. Karena mereka sedang masa subur. Bolehlah disebut aphrodisiac memancing pejantan mendekat.

Ketiga lewat sentuhan seperti grooming dan sebagainya, kami menyebutnya dengan istilah tactile. Itulah sekelumit tentang aku dan kawanan aku. Nah, kalau ingin mengenal lebih dekat. Datang saja ke hutan konservasi Tangkoko. Paling mudah menumpang sepeda motor. Paling dua jam sudah sampai ke habitat kami kalau dari Ibukota Sulawesi Utara, Manado.

Persisnya di kawasan wisata Batu Putih. Nanti setelah masuk perkampungan sebelah kanan ada papan penunjuk, tapi maaf sudah kusam. Lalu usahakan datang pagi hari karena kalau malam, jatah tertanggka kami Tarsius yang berkeliaran. Lalu sebelum masuk, jangan lupa ingat pesan Ugik, Manager Research Macaca Nigra Project DPZ-IPB-Unsrat, yakni pakai lotion anti nyamuk. Paling pas pakai bedak anjing dan taburkan sepatu sepatu andaagar serangga liar tetanggga kami tidan mengganggu perjalanan anda. Karena gigitan mereka racunnya bisa tahan berhari-hari dan bikin kuras banyak energi. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN