JEMBATAN SOEKARNO Tak MARHAENISME

Jembatan Soekarno Tak Marhaenisme
Oleh: Budi Susilo

SEKIAN lama, mereka orang Sulawesi Utara yang merantau keluar dari daerah Kota Manado mungkin akan merasa kaget berdecak kagum. Sebuah kota kecil dibangun infrastruktur jembatan sepanjang sekitar 2.5 Km yang melintang di dua wilayah Manado Utara dan Manado Selatan.
Aku sendiri pun yang telah berdiam di Manado hampir satu tahun lebih timbul kebanggan tersendiri, kota yang berhadapan dengan lautan pasifik akan menuju ambang kemajuan. Dibangun jembatan untuk permudah arus lalu lintas transportasi darat. Terlihat megah, modern dan tersistem, sebuah penataan kota yang apik.

Jembatan yang diberi nama penyebutan Soekarno itu hampir menelan biaya di angka Rp 200 milyar agar mampu mengurangi penumpukan kendaraan, warga yang dari daerah Tuminting dan Molas tidak perlu lagi ke pusat kota. Sebaliknya, ada warga yang berada di Tuminting mau menuju Kawasan Boulevard tidak perlu lagi melewati Pusat Kota.

Maklumlah Kota Manado yang masuk geografis peta Sulawesi Utara jadi target pemerataan pembangunan nasional. Baru-baru ini wilayah Indonesia Timur dalam hal ini Sulawesi Utara masuk lingkup koridor IV, sebagai kawasan yang dipercepat pembangunan ekonominya.

Awal proses pembangunan jembatan Soekarno terasa menelan pil pahit. Sebab kenapa, proyek pembangunan itu karena dikejar target penyelesaian, membuat jalan arus lalu lintas disekitar daerah Marina, Tuminting dan Molas, warga diharuskan berhati-hati saat melaju kendaraan bermotor, jika tidak resiko celaka akan dihadapi, ditambah jalanan berdebu serta panas terik matahari menjadikan atmosfir di kawasan tersebut semakin penat.

Buat ku itu tak apalah, mengambil pengibaratan kalimat bijak, berakit-rakit dahulu bersenang-senang kemudian. Semoga kelar penggarapan, jembatan jadi roda penggerak kehidupan perekonomian warga Manado dan sekitarnya.

Fakta belakangan, jembatan itu yang segera rampung penggarapan, kini timbul ironi sosial. Kegagahan jembatan itu ternyata akan menelan korban ekonomi masyarakat lapisan terbawah. Rasanya jembatan itu rugi bila keberadaannya hanya semakin membuat kuat para orang kaya, yang kaya jadi lebih kaya. Sedangkan mereka yang miskin tetap terpuruk meratapi ganasnya roda pembangunan yang tak berkesinambungan.

Cobalah baca di pemberitaan tribunmanado. co.id, Kamis (8/9/2011), ada nelayan merasa terampas lahan rezekinya karena pengerjaan jembatan Soekarno. Nelayan pesisir yang di kelurahan Maasing kecamatan Tuminting timbul kekhawatiran kehilangan mata pencaharian akibat tempat tambat perahu mereka terancam tergusur proyek jembatan Soekarno.

Kejadian ini tentu tak sesuai dengan sosok Soekarno yang pro rakyat, melindungi nasib wong cilik, mengajarkan sikap Marhenisme. Keberadaan jembatan hanya dinikmati orang kaya, memperlancar kegiatan arus barang bisnisnya, sementara mereka nelayan rakyat kecil hanya gigit jari memandangi dan tak menikmati kemegahan jembatan.

Bila hal ini masih menguap di permukaan maka tidak heran jembatan Soekarno ke depan akan dianggap tak Marhenis. Sekalian semua masih ingatkan, ajaran Bung Karno saat era revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, mengajak seluruh bangsa untuk terus-menerus menggerakkan dan mengkobarkan revolusi dan melawan segala macam pemerasan dan penindasan terhadap rakyat oleh segala kekuatan reaksioner dalam negeri maupun luar negeri.

Curhatan nelayan di media kabar elektronik lokal yang kehilangan tambatan perahu akibat proyek jembatan tersebut, tentu menimbulkan rasa sesak, belasungkawa bagi warga sekalian. Ini mengingatkan memori ku kembali saat ada ramai-ramai pengurangan subdisi Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah. Meski beda konteks dengan nelayan itu, tetapi dalam kasus ini menggambarkan pola yang sama yaitu orang kaya tetap kokoh, mereka yang berada di garis miskin semakin anjlok kemiskinannya.

Walau kehilangan subsidi BBM, orang kaya masih mampu kuasai dengan menaikkan aneka tarif barang dan jasa untuk tutupi pengeluaran akibat kenaikan harga. Sementara orang miskin, golongan buruh, nelayan dan petani tak punya daya tawar seperti itu. Sungguh memprihatinkan bukan.

Harusnya pemerintah sebagai pengatur daerah, renungkan kembali. Pemerintah harus mengambil peran melindungi warganya secara meluas tanpa pandangbulu. Mengambil pendapat Yusuf Qadhawi, dalam Fiqih Daulah (1997) negara dalam hal ini pemerintah berfungsi menjamin kebutuhan minimum rakyat, mendidik, membina dan menyediakan fasilitas infrastruktur, institusi secara berkualitas agar maksimal dan memberikan manfaat masyarakat.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta pemberi regulasi pengadaan infrastruktur, dalami kembali ruh perwujudan jongosrakyat. Sebagai penyelanggara pemerintahan hilangkan rasa feodalisme, yang selalu ingin dilayani. Jalankan prinsip egliter dalam keputusan kebijakan, berikan keadilan demi mengukuhkan rasa kemandirian warga masyarakat sejahterah dan sehat sentosa. Semoga hal ini terwujud agar eksistensi Republik ini selamat. Salam pergerakan untuk perubahan. ()

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN