RINDANGAN BAKAU BONOR SAJIKAN KESEJAHTERAAN

Rindangan Bakau Bonor Sajikan Kesejahteraan
Oleh: Budi Susilo

TEDUH merindang hijau rimbun menyegarkan. Sengatan panasnya ultra violet siang itu, Sabtu (30/4/2011), tak sekejam seperti layaknya di pusat keramaian kota manado yang telah banyak dikelilingi megahnya gedung bertingkat, menjulang tinggi hampir mencakar atap langit.

Atmosfir keteduhan alam tersebut sangat mengental di sebuah kawasan hutan Bakau Bonor desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara provinsi Sulawesi Utara. Kecamatan Wori berada di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Likupang, sebelah timur dengan Kecamatan Dimembe, sebelah selatan dengan Kota manado, dan sebelah barat dengan Laut Sulawesi.

Keterlibatan dan peran warga setempat sangatlah mendukung, demi satu tujuan terciptanya keberadaan hutan mangrove Bonor desa Tiwoho. Adanya kesadaran dan pengetahuan lebih mengenai tanaman bakau, kehidupan warga desa Tiwoho merasa bergantung pada kelestarian alam bakau.

Menginjak tanah hutan bakau Bonor rasa hati selalu berteriak debar bahagia. Jiwa bergejolak melahirkan ungkapan decak kagum tanpa henti akan takjub maha daya eksotis alam bakau Bonor. Menghijau dipandang, menyehatkan saat menarik nafas hidup. Itulah desa Tiwoho dengan hutan bakaunya. Ia melapisi daratan tanah membentuk menyerupai lautan bakau yang mampu memberi asupan oksigen melimpah ruah, bersih udaranya nikmat dihirup gratis tanpa berbayar. Tuhan yang Maha Esa selalu memberi yang terbaik bagi ciptaannya.

Hutan Bakau Bonor Minahasa Utara_budisusilo
Maramis Kodoati (38), Kepala Desa Hukum Tua Desa Tiwoho, mengungkapkan, memasuki tahun 1990-an kondisi hutan bakau Bonor sempat mengalai krisis dan rusak. Banyak pohon mangrove ditebangi untuk kepentingan bisnis semata, berjangka pendek dan menimbulkan banyak kerugian.

"Dibangun banyak tambak ikan. Pohon bakau jadi korban lahan diratakan pohon ditebang tanpa tersisa," ujarnya ketika ditemui di kediamannya, Sabtu (30/4/2011).

Luasan hutan bakau Bonor menutupi daratan seluas 62 hektar, namun akibat kegiatan tambak yang menyimpang, lahan seluas 20 hektar rusak. "Dulu itu yang rusak PT Wori Mas. Mereka jadikan tambak," katanya.

Mengutip Ecosystem and Human Well Being: Synthesis 2005, terdapat temuan, bahwa selama 50 tahun terakhir manusia telah mengubah ekosistem secara intensif dan ekstensif jauh lebih cepat dari masa-masa sebelumnya. Kebutuhan akan pangan, air bersih, hasil pertambangan dan minyak mendorong eksploitasi, akibatnya daya dukung bumi terhadap kehidupan manusia turun drastis.

Menurut Maramis, kerusakan hutan bakau memberi banyak dampak negatif, makanya warga tersadar untuk melakukan kembali rehabilitasi penghijauan pohon bakau. "Kami lakukan peremajaan pohon. Padahal dahulu pohonnya besar-besar," tutur pria bertubuh bongsor ini.

Mengacu pada gagasan Hendryk Skolimowski dalam bukunya Living Philosophy: Eco Philosophy as a Tree of Life (1992), manusia itu harus imperatif etis terhadap alam buminya dengan cara menghormati kehidupan dan bertanggung jawab agar kesewenang-wenangan terhadap alam dalam cara berpikir pendek bisa terhindarkan, serta hidup hemat yang berarti berani menerima kecukupan untuk diri sendiri dengan mengingat masih banyak yang membutuhkan supaya bisa hidup.

Laurens Loho (59), Pelestari Hutan Bakau Bonor mengungkapkan, penghijauan dilakukan di tahun 1998, yang memulainya dengan melakukan persemaian pohon bakau sekitar 7 ribu pohon. "Saya dapat ilmu tentang bakau tahun 1995. Saya langsung terapkan di Bonor," ungkapnya.

Ia menjelaskan, upaya pelestarian alam bakau lebih menguntungkan ketimbang merusaknya yang hanya untuk kebutuhan manfaat sesaat. Sebab keberadaan hutan bakau mampu memberi keseimbangan kehidupan makhluk, terbukti berbagai hewan burung telah banyak yang menempati hutan bakau Bonor, sebagai pertanda adanya keanekaragaman kehidupan di desa Tiwoho.

"Sekarang bakau sudah mulai normal, para warga setempat mudah mencari ikan. Kegiatan ekonomi warga meningkat," tutur Laurens.

Denny Piara, Lembaga Sosial Masyarakat Burung Indonesia, menjelaskan, penilaian kelestarian sebuah hutan bakau dapat diukur dari banyaknya jumlah mahkluk hidup yang bertempat tinggal di habitat bakau.

Semakin banyak burung yang tinggal di hutan bakau Bonor maka kondisi hutan terbilang normal. "Burung-burung yang biasa tinggal di hutan bakau itu di antaranya Giseium, Trinil, Mentok Rimba," urai pria kelahiran Talaud ini. ( )


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN