SERPIHAN RIWAYAT ALAM MINAHASA

Serpihan Riwayat Alam Minahasa
Oleh: Budi Susilo

Sejak dimulai babak kehidupan, keberadaan manusia hidup dimuka bumi ada keterkaitan dengan alam raya. Manusia sepanjang hidupnya selalu berhubungan akrab dengan rimba alam sebagai habitat, untuk fondasi keberlanjutan kehidupan.

Cerminan tersebutlah yang mengental di warga masyarakat pedesaan Papakelan Kecamatan Tondano Timur, Minahasa Induk. Bertempat tinggal, menyatu bersama alam, bagian pengalaman yang tak pernah lekang oleh jaman, secara turun-temurun, generasi ke generasi, penduduk desa Papakelan berkomitmen menjaga kelestarian alamnya.

Jhoni Kawengian, Ketua Sarekat Hutan Toulawa menuturkan, sejarahnya, ketika di tahun 1930, kondisi kehutanan masyarakat desa Papakelan terjaga baik, kehidupan harmonis dengan alamnya tetap dipertahankan, menjaga tanpa serakah merusak. "Kami akan terus terapkan pelajaran nenek kakek kami atas perlakuan terhadap alam," ujarnya, Sabtu (9/4/2011).

Melalui lintasan darat dari Kota Manado menuju Desa Papakelan ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Setibanya dilokasi, panorama hijaunya rindang pepohonan masih mengental. Uniknya dalam perjalanan akan pula menemukan beberapa lokasi gua-gua peninggalan penjajahan Jepang. "Banyak gua Jepang. Tempat persembunyian dan pertahanan di jaman perang," ungkap Jhoni.

Jalan menyusuri desa Papakelan terbilang mudah aman tak ada gangguan kriminal, warga masyarakatnya terbuka dan ramah menyapa. Jalan desa Papakelan telah beraspal, namun terkadang berlubang dan berkerikil bukanlah soal dilema besar, sebab tidak sangat parah, jalannya mampu dilewati mobil maupun motor.

Era jaman perjuangan revolusi fisik, ia menjelaskan, saat desa Papakelan masuk lingkup penjajahan pemerintahan kolonial Belanda, warga masyarakat desa setempat pernah mengajukan sebuah perangkat peraturan pengelolaan tanah masyarakat ke Belanda. "Bagian upaya pelestarian alam," tegasnya.

Di tahun 1938, tuturnya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan izin berupa sebuah perangkat aturan untuk pengelolaan lahan hutan tanam masyarakat. Masing-masing warga setempat memperoleh jatah lahan pertanian. "Kebun rakyat. Penduduk diperbolehkan menanam. Diberi lahan," kata Jhoni.

Sekarang ini, tahun 2011, tanah pengelolaan yang dikelola warga seluas 48,9 hektar. Dari jumlah luas lahan tersebut, terdapat 69 orang yang berhak mengelola lahan hutan tanam, dijadikan semacam perkebunan rakyat. Tentu, kesempatan tersebut dimanfaatkan warga untuk ditanami macam-macam tanaman semisal pepohonan kayu Mahoni dan Cempaka. "Tanah diwarisi turun-temurun. Kami tidak pernah konflik atas hak pengolahan tanah," ungkapnya.

Sebab, tutur Jhoni, lahan yang dikelola bukan berarti tidak ada batasan, sesukanya menguasai luas lahan. Di masing-masing tiap kepala keluarga, yang total jumlahnya 200 kepala keluarga di tahun 2011, telah ada porsi, terdapat jatah tanah per kepala keluarga sebagai penciptaan timbul rasa kekeluargaan dan keadilan. "Jatahnya per kepala kelaurga itu ada sekitaran 171 meter," ungkapnya.

Menurutnya, hasil dari pengelolaan lahan tersebut, tidak diperuntukan sebagai barang produksi, dikomersilkan untuk dijual. Semua hasil kebun yang dikelola hanya dikonsumsi kebutuhan sendiri dengan menyesuaikan taraf kebutuhan, tidak berlebihan apalagi meninggalkan prinsip kelestarian lingkungan, demi mencapai keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. "Kalau lagi butuh mengambil kayu untuk bangun rumah. Mengambilnya harus terkendali sesuai kebutuhan," tegas Jhoni.

Keberadaan desa Papakelan Kecamatan Tondano Timur, Minahasa Induk, dikaruniai harta melimpah sumber mata air bersih. Desa yang ditempati oleh sebagian besar berprofesi sebagai petani ini memiliki sumber mata air yang terpencar di beberapa titik, sampai tidak terdektesi jumlah hitungan mata airnya. "Air mata air semuanya mengalir ke sungai Teler," ujarnya.

Namun, ia mengkuatirkan kondisi keberadaan sungai Teler terkini. Karena menurut ceritanya, ketika ia masih masa kanak-kanak, sekitaran tahun 1960, situasi kondisi sungai tersebut masihlah baik keadaannya, tidak seperti sekarang tahun 2011, sudah berubah pola airnya. "Dulu arusnya deras dan banyak batu-batu. Sekarang debet airnya berkurang," ungkapnya.

Di Desa Tandengan Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa, perubahan lingkungan pun terjadi. Ini diungkapkan, Hendri Mokuan, Kepala Desa Tandengan, bahwa, keberadaan danau Tondano, sudah tak ada lagi ikan Bomboya, sejenis ikan Mujair yang berukuran besar. "Waktu saya kecil mudah sekali menangkapnya. Sekarang tidak ada lagi," tuturnya ketika ditemui di Jalan Tendengan Kora-kora.

Pria bertubuh tambun ini menjelaskan, hilangnya eksistensi ikan Bombaya tidak terlepas akibat ulah manusianya sendiri, hanya bisa memanfaatkan, merusak dan tak mampu merawat serta buruk cara melestarikan lingkungan danaunya. "Pola cara penangkapan ikan salah. Menangkapnya pakai jaring yang semua anakan sampai ikan dewasa tertangkap. Habis ditangkap semua," ujar Hendri.

Bukan saja urusan ikan, dalam pengelolaan air oleh perusahaan plat merah pun masih menemui kelemahan. Ini berdasar pengakuan Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Tomohon, Jefry Polii, diakui, bahwa, sekitar 80 persen air pengelolaan PDAM Tomohon terbuang secara percuma. Padahal dalam memproduksinya dibutuhkan pembiayaan yang mahal. "Jalan keluarnya Kami akan lakukan penertiban sambungan saluran air yang ilegal," ujarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN