PERJUANGAN HIDUP PEREMPUAN SAMPAH SUMOMPOW

Perjuangan Hidup Perempuan Sampah Sumompow
Oleh: Budi Susilo

AWAN putih mulai redup menghitam di Wori, Kecamatan Tuminting, Kelurahan Sumompow, Kota Manado, Sulawesi Utara, Kamis (21/4/2011). Gejala ini bukan maksud pertanda akan turun guyuran air hujan yang dapat membasahi permukaan tanah.

Atmosfir tersebut simbol jelang detik-detik mentari mulai menenggelamkan ke perut bumi. Maklumlah jarum jam ketika itu telah mengarah di angka pukul 17.30 Wita. Tentu malam akan tiba berganti gelap, memberikan peluang rembulan menampakkan sinarnya.

Kebetulan hari itu bertepatan hari perayaan kelahiran pejuang emansipasi wanita Indonesia RA Kartini sebagai produk perempuan nusantara yang lahir di Mayong 21 April 1879, turunan bangsawan putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat yang memperjuangkan eksistensi kaumnya, berjuang untuk arti sebuah kehidupan seorang perempuan.

Hampir serupa Kartini yang berjuang untuk kehidupan, sore jelang malam saat itu, ada sosok perempuan muda berjuang hidup menafkahi dirinya dan anak-anaknya. Ia adalah bernama Ine Tatulus.mata bulat Ine Tatulus (25) masih disibukkan memandangi beberapa barang usang tak terpakai.

Perempuan kelahiran 31 Januari 1985 tersebut setiap harinya menekuni mata pencarian sebagai pemulung sampah di sebuah kondisi yang kebanyakan orang mungkin enggan untuk menghampirinya, tempat pembuangan akhir sampah kilo lima Sumompow.

Bermodalkan sebuah karung beras bekas putih, Ine menjelajah lapangan seluas sekitar satu hektar dengan dua kakinya berjalan beralasakan sandal jepit karet. Ia seolah tak memperdulikan betisnya membesar dan telapak kakinya menghitam kasar bergores tak semulus milik putri Kate, sang istri pangeran Wiliam asal Inggris.

Menuju dari tempat tinggal ke penampungan sampah, Ine tidak dimanjakan oleh sarana mesin transportasi. Bukan seperti pegawai kantor lainnya pergi memakai fasilitas motor atau mobil, Ine sangatlah berbeda. Bermodalkan niat tekad, dirinya berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 300 meter, menjadi pemulung sampah, meski suaminya masih hidup bekerja sebagai buruh sampah.

"Jaraknya dekat. Saya berangkat dari pagi jam 6 selesai cari sampah jam 6 sore," tutur wanita kelahiran Sanger ini.

Wanita beranak satu tersebut merelakan kulit tubuhnya diterpa sinar matahari siang, rela lubang hidungnya dilewati bau busuk sampah dan bergaul akrab mengais rezeki bersama lalat-lalat.

"Sudah terkumpul satu karung bisa ditukar uang Rp 15 ribu. Saya ambil sampah-sampah plastik, kertas kardus," urai Ine.

Perjuangan hidup Ine, mengingatkan sosok RA Kartini yang semangat untuk bereksistensi dalam hidup. Mengutip buku karya Dri Arbaningsih berjudul Kartini dari Sisi Lain, perempuan pahlawan nasional tersebut melakukan pemberontakan jiwa untuk tercapainya sebuah keadilan.

Saat itu, meski Kartini diizinkan mengenyam bangku sekolah rendah sampai kelas 6 di ELS Jepara, Kartini tidak diperkenankan menikmati privilese sebagai anak bangsawan sebagaimana saudara laki-lakinya. Padahal ketika itu, Kartini berjanji belajar sungguh-sungguh saat ingin meneruskan sekolah ke Hogere Burgerschool namun ditolak oleh ayahnya.

Selain Ine, wanita lain serupa adalah Popi Humaisi (65), menekuni sebagai pemulung sampah sejak tahun 2000. Wanita ini berasal dari Maluku datang ke Manado pada tahun 1952, tinggal di Mahakeret Timur.

"Menikah sudah dua kali. Yang pertama suami meninggal. Saya menikah yang kedua dapat suami buruh sampah. Saya ikut bantu suami jadi pemulung sampah untuk tambahan hidup," ujar ibu beranak lima ini.

Ia mengungkapkan, bukanlah persoalan mudah menggeluti sebagai pemulung sampah. Syaratnya mampu menguasai medan sampah, baik itu pagi hari, siang, sore maupun malam.

"Saya pernah cari sampah malam hari. Jadi pagi dan siangnya saya istirahat," kata Popi yang bertempat tinggal di sebuah rumah petak penampungan akhir sampah Sumompow.

Resiko pemulung sampah itu harus mampu hidup abnormal. Bayangkan, tutur Popi, demi tumpukan sampah yang bernilai 1 kilogram diupahi Rp 1200, memulung sampah tanpa kenal waktu. Panas terik terkadang hujan gerimis tetap beroperasi mengais sampah. "Pakai jas hujan kalau gerimis. Pakai senter kalau malam hari ada sampah baru dikirim," tutur perempuan kelahiran 4 April ini.

Wanita perkasa lainnya, Rice Salasa (52), menggeluti sebagai pemulung sampah bukanlah tanpa sebab, menurutnya itu ada sejarahnya. Saat itu, orangtuanya sempat jatuh sakit ketika dirinya masih diumuran 20-an. Melihat situasi tersebut, ia pun terpanggil untuk mandiri mencari sesuap nasi sendiri, memberanikan diri jadi pemulung sampah sebagai wadah mencari tambahan nafkah.

"Pertama jadi pemulung tidak tahan baunya. Saya tutup mulut sampai dua mingguan. Rasanya mau muntah pertama datang," ungkap perempuan kelahiran Sanger 9 September 1958 ini.

Kisah perjuangan hidup perempuan sampah Sumompow seakan menjadi cerminan, perjuangan untuk hak memenuhi kebutuhan hidup. Eksistensi yang patut dihargai. Tidak selamanya kaum perempuan hanya sebagai bahan penderita, dibekukan kreativitas perjuangan hidupnya. Hanya berkesan seputar mengurusi urusan dapur dan seksualitas. Berkaca pada gagasan RA Kartini mengenai kaumnya sebagai perempuan Indonesia, bahwa kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai keperluan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki. ( Refleksi 21 April Hari Kartini)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN