MERAS MENDEKAP ERAT KERIMBUNAN BAKAU
Meras Mendekap Erat
Kerimbunan Bakau
Kerimbunan Bakau
Oleh: Budi Susilo
SIANG itu, kicau jangkrik bersahut-sahutan di kawasan hutan bakau Meras, Kecamatan Bunaken Kota Manado Sulawesi Utara. Suara serangga itu seakan menghasilkan lantunan melodi alam. Ketika itu pun, embusan angin sepoi-sepoi bertiup melambaikan dedaunan rindang pohon bakau, dibuatnya bergerak kesana kemari, tak ubahnya seniman penari, Sabtu (23/4/2011).
Keragaman itulah yang memberi khas eksotis panorama suguhan alam hutan bakau Meras. Menuju Meras Kecamatan Bunaken melalui jalur darat mudah, dapat terlampui dengan kendaraan bermotor. Didukung infrastruktur jalan yang baik, mencapai lokasi dari Tuminting ke Meras hanya butuh waktu tempuh sekitar 20 menit.
Posisi Meras yang berada di Kecamatan Bunaken, memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24 sampai 27 derajat celcius yang dalam pemetaan berada di ujung utara Kota Manado.
Di dekade tahun 1990-an, hutan bakau meras menyedihkan. Conina Harinisa (40), Koordinator Tanggap Bencana Alam Kecamatan Bunaken menjelaskan, status kritisnya hutan bakau Meras saat itu disebabkan adanya kegiatan liar penambakan ikan di kawasan hutan bakau Meras. "Tambak ikan membuat ketidakseimbangan hutan bakau," ujarnya ketika berbincang dengannya.
Penambakan dilakukan oleh bukan warga setempat, dijalani oleh para pengusaha nakal yang berasal dari luar daerah Meras. "Kami lakukan sosialisasi, imbauan ke meraka, akhirnya mereka mau mengerti pergi tinggalkan hutan bakau Meras," ungkap Conina, perempuan 28 Juni 1970 ini.
Aksi penambakan ikan di hutan bakau Meras jelas merusak ekosistem alam bakau. Karena menurut Conina, keberadaan penambakan ikan mengurangi jumlah habitat bakau. Dampaknya, garis pantai terabrasi, menggerus dan mengurangi daratan pantai saat arus gelombang laut menerjang daratan Meras. "Kalau gelombang pasang air laut sampai naik ke daratan tempat tinggal kami," ujar gadis kelahiran Meras ini.
Kebetulan, di kawasan hutan Meras tersebut terdapat satu sumber mata air tawar bernama mata air Buro. Jaraknya dari batas air laut yang sedang pasang ke sumber mata air tersebut sekitar 300 centimeter.
Menurut Conina, saat masih ada kegiatan penambakan ikan di hutan bakau, sumber mata air tersebut sempat kritis, gelombang pasang air laut menerpa lubang mata air. "Air laut sempat naik. Airnya jadi asin, kualitas air tawar jadi buruk. Banyak warga susah cari air tawar," tutur wanita bertubuh mungil ini.
Ada pepatah nasi telah menjadi bubur, terlanjur terjadi tak bisa diperbaiki. Namun, kesan inilah yang tidak berlaku bagi warga Meras. Sebab berkat komitmen dan keseriusan upaya pelestarian hutan bakau, status kritis bakau Meras dapat terobati. "Tahun 2003 kami tata. Ditanami ratusan bibit bakau. Sekarang bakaunya sudah kembali normal. Sudah berumuran besar," ujar Conina, gadis berambut bondol ini.
Andries Nanta (50), Kepala Lingkungan II Meras mengaku, keberadaan hutan bakau di Meras menjadi sarana kebergantungan hidup warga setempat, bahkan mahluk hidup lainnya. Seolah hutan bakau sebagai nafas kehidupan, jadi upaya kegiatan pelestarian alam di Meras di utamakan, satu di antaranya sebagai pendukung beberapa warga setempat menanami beberapa pohon Bambu, Jati, Trambesi, dan Mahoni dipinggiran daratan hutan bakau. "Kami kompak jaga pelestarian alam. Untuk kebaikan bersama," tutur pria berkulit sawo matang ini.
Mayoritas warga di Meras berprofesi sebagai petani dan nelayan. Kebergantungan alam jadi rambu pertama masyarakat petani dan nelayan. Karena itu, tutur Andries, hutan bakau sebagai gudang penghasil ikan yang melimpah bersumber dari lestarinya hutan bakau.
"Tanaman bakau bisa pengharuhi hasil ikan. Jadi tempat tinggal ikan dan berkembangbiaknya ikan secara baik," katanya pria yang sudah menggeluti sebagai kepala lingkungan selama 27 tahun ini.
Berkat upaya pelestarian hutan bakau, Evi Fanes Dame (47), Nelayan asal Meras, mengaku, kesehariannya menangkap ikan tidak mengalami kesulitan, hasil tangkapannya mampu memberi kepuasan. "Masih bisa dapat ikan. Buat penuhi kebutuhan hidup," ungkapnya.
Luasan hutan bakau menutupi pinggiran laut Meras memakan lahan sekitar 20 hektar dengan ditumbuhi berbagai jenis tanaman bakau. Khusus di Sulawesi Utara (Sulut), menurut Laura Lumanauw (22), Pemerhati Hutan Bakau Sulut, jenis tanaman yang hidup dipinggiran laut Sulut ada jenis Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera.
"Saya lihat di Meras ada jenis Avicenia yang bahasa lokalnya disebut bakau ting. Ada juga jenis Bruguiera yang berukuran besar rindang, ketinggian pohonnya bisa capai 20 meter," kata wanita lulusan Managemen Sumber Daya Perairan dari Universitas Sam Ratulangi ini.
Meminjam istilah Dietriech Geoffrey Bengan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, hutan bakau atau mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Camat Bunaken, Vicky Pesik (45), mengatakan, sebagai upaya peningkatan keterjagaan kelestarian hutan bakau, pemerintah daerah terus melakukan sosialisasi dan himbauan ke masyarakat luas akan arti pentingnya keberadaan hutan bakau. Statusnya di tahun 2011 masih terkendali, baik itu hutan bakau di Pulau Bunaken, Manado Tua, Tongkaina, Meras, Molas dan Pulau Siladen. "Warga telah mulai menyadarinya," katanya. ()
Keragaman itulah yang memberi khas eksotis panorama suguhan alam hutan bakau Meras. Menuju Meras Kecamatan Bunaken melalui jalur darat mudah, dapat terlampui dengan kendaraan bermotor. Didukung infrastruktur jalan yang baik, mencapai lokasi dari Tuminting ke Meras hanya butuh waktu tempuh sekitar 20 menit.
Posisi Meras yang berada di Kecamatan Bunaken, memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24 sampai 27 derajat celcius yang dalam pemetaan berada di ujung utara Kota Manado.
Di dekade tahun 1990-an, hutan bakau meras menyedihkan. Conina Harinisa (40), Koordinator Tanggap Bencana Alam Kecamatan Bunaken menjelaskan, status kritisnya hutan bakau Meras saat itu disebabkan adanya kegiatan liar penambakan ikan di kawasan hutan bakau Meras. "Tambak ikan membuat ketidakseimbangan hutan bakau," ujarnya ketika berbincang dengannya.
Penambakan dilakukan oleh bukan warga setempat, dijalani oleh para pengusaha nakal yang berasal dari luar daerah Meras. "Kami lakukan sosialisasi, imbauan ke meraka, akhirnya mereka mau mengerti pergi tinggalkan hutan bakau Meras," ungkap Conina, perempuan 28 Juni 1970 ini.
Aksi penambakan ikan di hutan bakau Meras jelas merusak ekosistem alam bakau. Karena menurut Conina, keberadaan penambakan ikan mengurangi jumlah habitat bakau. Dampaknya, garis pantai terabrasi, menggerus dan mengurangi daratan pantai saat arus gelombang laut menerjang daratan Meras. "Kalau gelombang pasang air laut sampai naik ke daratan tempat tinggal kami," ujar gadis kelahiran Meras ini.
Kebetulan, di kawasan hutan Meras tersebut terdapat satu sumber mata air tawar bernama mata air Buro. Jaraknya dari batas air laut yang sedang pasang ke sumber mata air tersebut sekitar 300 centimeter.
Menurut Conina, saat masih ada kegiatan penambakan ikan di hutan bakau, sumber mata air tersebut sempat kritis, gelombang pasang air laut menerpa lubang mata air. "Air laut sempat naik. Airnya jadi asin, kualitas air tawar jadi buruk. Banyak warga susah cari air tawar," tutur wanita bertubuh mungil ini.
Ada pepatah nasi telah menjadi bubur, terlanjur terjadi tak bisa diperbaiki. Namun, kesan inilah yang tidak berlaku bagi warga Meras. Sebab berkat komitmen dan keseriusan upaya pelestarian hutan bakau, status kritis bakau Meras dapat terobati. "Tahun 2003 kami tata. Ditanami ratusan bibit bakau. Sekarang bakaunya sudah kembali normal. Sudah berumuran besar," ujar Conina, gadis berambut bondol ini.
Andries Nanta (50), Kepala Lingkungan II Meras mengaku, keberadaan hutan bakau di Meras menjadi sarana kebergantungan hidup warga setempat, bahkan mahluk hidup lainnya. Seolah hutan bakau sebagai nafas kehidupan, jadi upaya kegiatan pelestarian alam di Meras di utamakan, satu di antaranya sebagai pendukung beberapa warga setempat menanami beberapa pohon Bambu, Jati, Trambesi, dan Mahoni dipinggiran daratan hutan bakau. "Kami kompak jaga pelestarian alam. Untuk kebaikan bersama," tutur pria berkulit sawo matang ini.
Mayoritas warga di Meras berprofesi sebagai petani dan nelayan. Kebergantungan alam jadi rambu pertama masyarakat petani dan nelayan. Karena itu, tutur Andries, hutan bakau sebagai gudang penghasil ikan yang melimpah bersumber dari lestarinya hutan bakau.
"Tanaman bakau bisa pengharuhi hasil ikan. Jadi tempat tinggal ikan dan berkembangbiaknya ikan secara baik," katanya pria yang sudah menggeluti sebagai kepala lingkungan selama 27 tahun ini.
Berkat upaya pelestarian hutan bakau, Evi Fanes Dame (47), Nelayan asal Meras, mengaku, kesehariannya menangkap ikan tidak mengalami kesulitan, hasil tangkapannya mampu memberi kepuasan. "Masih bisa dapat ikan. Buat penuhi kebutuhan hidup," ungkapnya.
Luasan hutan bakau menutupi pinggiran laut Meras memakan lahan sekitar 20 hektar dengan ditumbuhi berbagai jenis tanaman bakau. Khusus di Sulawesi Utara (Sulut), menurut Laura Lumanauw (22), Pemerhati Hutan Bakau Sulut, jenis tanaman yang hidup dipinggiran laut Sulut ada jenis Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera.
"Saya lihat di Meras ada jenis Avicenia yang bahasa lokalnya disebut bakau ting. Ada juga jenis Bruguiera yang berukuran besar rindang, ketinggian pohonnya bisa capai 20 meter," kata wanita lulusan Managemen Sumber Daya Perairan dari Universitas Sam Ratulangi ini.
Meminjam istilah Dietriech Geoffrey Bengan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, hutan bakau atau mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Camat Bunaken, Vicky Pesik (45), mengatakan, sebagai upaya peningkatan keterjagaan kelestarian hutan bakau, pemerintah daerah terus melakukan sosialisasi dan himbauan ke masyarakat luas akan arti pentingnya keberadaan hutan bakau. Statusnya di tahun 2011 masih terkendali, baik itu hutan bakau di Pulau Bunaken, Manado Tua, Tongkaina, Meras, Molas dan Pulau Siladen. "Warga telah mulai menyadarinya," katanya. ()
Komentar
Posting Komentar