Berjati Diri Bangsa Tani
Oleh: Budi Susilo

Dari benua eropa sana, negeri Roma, Rabu (18/11), pada KTT Ketahanan Pangan Dunia, dari bibir Boediono, wakil presiden RI (2009-2014), yang tak merah merona terlontar kalimat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar di belantika perdagangan internasional. Utamanya buat pengembangan produksi pertanian dan pangan.

Dari kutipan kalimat itu, seakan Indonesia seperti macan ompong. Rajin menghadiri rapat-rapat ekonomi tinggkat internasional, tapi perasaan rendah prestasi ibarat kebanggaan diri. Beginilah wajah Indonesia kini. Memang, sudah bukan rahasia umum, persoalan pertanian terus jadi dilema bangsa ini.

Padahal, banyak negara-negara, utamanya penjuru Eropa dan Amerika yang tertarik akan sumber daya alamnya yang begitu menakjubkan buat modal pergerakan ekonomi sektor pertanian. Bahkan sejak dulu, Indoneisa dijajah oleh kolonialis alasan logisnya adalah daya pikat akan kekayaan alam nusantara.

Miris, pertanian selangkah tak maju. Padahal jaman Soerharto yang mengaku sebagai Orde Baru, pertanian digembor-gemborkan biar jadi pendongkrak nilai ekonomi bangsa ini. Entah itu terlepas dari kepentingan politis atau tidak, tapi realisasi waktu itu, Indonesia sempat berswasembada pangan berupa hasil pertanian Indonesia, yakni beras.

Meski begitu, hal tersebut dinilai tetap gagal, karena cuma jangka pendek. Lihat jangka panjang yang kini dialami, khususnya petani, layaknya dihantam Tsunami rezeki. Petani tak ada yang sejahterah. Pola hidupnya itu-itu saja. Bertani cuma bisa buat makan hari itu. Bagi mereka mempertahankan hidup saja prestasi hebat. Bandingkan petani negara lain bisa lakukan investasi dan ekspansi usaha tani.

Contoh kasus di wilayah Sulawesi Utara (Sulut), sebagian besar, sekitar 60 persen masyarakatnya berkecimpung pada dunia tani. Tapi ini cuma kuantitas semata, karena bicara kualitas masih perlu diratapi. Bahkan ruang tanah untuk pertanian pun ikut berkurang, terkorban oleh budaya industrialisasi yang, kebanyakan tanahnya sudah terpakai buat bangunan bersemen dan beton.

Bayangkan saja, data kredit seret yang dikeluarkan oleh Bank indonesia Manado, usaha menengah petani masuk kategori gawat darurat, Non Performing Loan-nya melampui lima persen. Katanya, Selasa (17/11), menurut Ketua Perhimpunan Bank-bank Swasta Nasional (Perbanas) Sulut, Handri Maramis, para petani mentalnya tanggung jawabnya pada titik rendah. Diberi modal bukannya buat usaha produktif pertanian, tapi dilencengkan untuk konsumsi diluar konsistensi janji usaha tani.

Tentu harapnya, fenomena ini tak berlanjut sampai nanti. Perlu merubah diri, terus optimis dan usaha ekstra bersama-sama, jalan keluar pasti ada dan jadi negara petani beradidaya bisa. Untuk itu, dunia tani perlu jadi trend terkini. Pemerintah sebagai pencipta kebijakan mesti sejak dini mengajari generasi anak negeri menggemari pertanian. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan, utamanya pengajaran wirausaha tani atau yang bahasa hebatnya agrobisnis di lembaga pendidikan, karena kita selain sebagai bangsa bahari, juga berjatidiri bangsa tani. Yakini dunia tani Indonesia bisa berkompetisi, maju dan sejahterah. (Kairagi, Manado, Sulawesi Utara)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN