PULUHAN TAHUN DICAP TAPOL PKI KALTIM


 Puluhan tahun di cap tahanan politik dianggap pengikut organisasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Kopral Untung dan kawan-kawan lainnya merasa menderita tujuh turunan, diperlakukan persekusi hingga diskriminasi.

Mereka yang sipil dan militer, yang ada di Kalimantan Timur (Kaltim) dituduh dalam gerbong politik PKI diisolasi dari satu tahanan ke tahanan lain, yang kemudian berujung pada pembuangan ke belantara liar yang kala itu dikenal hutan Amborawang Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).  

Tempat alam rimba itu, para tahanan politik PKI mesti melewati hidup dengan daya juang yang menantang, penuh keterbatasan fasilitas. Mereka seakan memulai kehidupan dari nol lagi, membuka lembaran baru. Hidup terkucilkan dalam pengasingan, sehari-harinya diawasi ketat tentara Orde Baru.

Belum lama ini, menyambangi lokasi pengasingan tahanan politik PKI itu, yang sekarang sudah menjadi perkampungan penduduk, bernama Kelurahan Argosari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara,Selasa 26 September 2017. 

Daya tempuh dari Sumber Rejo Kota Balikpapan menuju ke Argosari ini memakan waktu sekitar dua jam melalui jalur darat. Selama perjalanan ke tempat ini tidak menemukan kemacetan lalu-lintas, situasi lengang lancar. 


Saat tiba di Argosari, cuaca siang begitu panas. Tempatnya sudah tidak lagi seperti hutan yang ditumbungi rimbunan liar pohon. Akses jalan sudah terbuka lebar, dua kendaraan roda empat sudah bisa masuk ke dalam Argosari. 

Atmosifir di Argosari sepi, di jalan perkampungan ini hanya tampak satu dua orang melintas menggunakan sepeda motor. Terlihat di pinggir jalan utama yang berkelok-kelok dan naik turun, banyak berdiri rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu dan beratapkan seng. 

Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain terlihat masih renggang, tidak sepadat seperti pemukiman yang ada di Kampung Baru Kota Balikpapan. Lahan kawasan Argosari jarang berdiri rumah atau bangunan lainnya. Lahan kosong masih luas, di antaranya ada yang ditanami tumbuhan naga yang kala itu belum berbuah. 

Saat akan masuk ke tengah perkampungan, terlebih dahulu melintasi gapura beton berwarna merah putih bertuliskan Argosari. Mengawali lintasan, jalurnya rusak bertanah merah dan berkubang isi lumpur. Kondisi ini berlangsung hanya sampai sekitar 100 meter, setelah itu wujud fisik jalan beton mulus.  

Singkat cerita, tiba di rumah Untung Soeyanto (75), yang sudah bertembok beton. Sosok ini adalah satu di antara orang yang divonis sebagai tahanan politik era tahun 1965, zaman pemberontakan 30 September.

“Silakan masuk saja. Bapak Untung ada di dalam rumah, sedang bersantai,” ujar Suripah (63), istri kedua Untung, yang waktu itu sedang duduk di bangku sofa pelataran rumah. 

Untung Suyanto berkemeja coklat mantan tahanan politik 1965 dicap pengikut PKI Kalimantan Timur

Untung sudah tidak muda lagi, raut wajahnya sudah keriput tak lagi kencang. Rambut kepalanya masih lebat namun sudah beruban, begitu pun bulu alis mata dan janggutnya sudah ikut memutih. 

Untung datang dari arah kamar tidur, belakang rumah.Dia keluar menuju ke ruang tamu. Jalannya tertatih-tatih, dibantu oleh anaknya yang pria berusia dewasa dari istri kedua.

Dia langsung duduk di lantai rumahnya yang beralaskan terpal plastik, meluangkan waktu untuk berbincang-bincang bersama Tribun. “Mengobrol dengan suara yang keras. Telinga saya sekarang sudah tidak terlalu jelas buat mendengar,” imbuhnya.

Untung mengaku merasa dirugikan saat dirinya berdinas di militer sebagai tentara di kesatuan Kodam Mulawarman dengan pangkat Kopral Dua. Politik Jakarta berkecamuk, ada pembunuhan tujuh perwira tinggi yang katanya didalangi PKI.

Saat aksi genting itu, Untung bertugas di Kodam Mulawarman. Tidak terlibat dalam operasi kriminal tersebut. Namun dalam diri Untung muncul pertanyaan, kenapa dirinya dikaitkan dengan aksi pemberontakan itu. 

Setelah ada peristiwa penculikan dan pembunuhan para jendral di tahun 1965, Untung kemudian terkena imbas, dianggap sebagai bagian dari pemberontak PKI. Persis sekitar tahun 1970, Untung ditangkap, dinyatakan menjadi tahanan politik. 

“Saya ditangkap. Rumah tangga ikut hancur. Bercerai sama istri. Anak ikut istri dibawa pergi. Anak sudah tiga, perempuan semua.Saya ditahan tidak ada kunjungan dari istri,” ungkap Untung yang lahir di Sanga-sanga 10 Agustus 1942 ini. 

Selama menjadi tentara, Untung merasa bekerja secara profesional, tidak pernah terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis, apalagi bergabung dalam PKI. Bahkan, Untung pun pernah dipercaya sebagai tentara yang dilibatkan dalam pendidikan dasar keprajuritan di Dipo Pendididikan III Kota Bogor tahun 1961.

Tidak hanya itu, Untung pun pernah masuk kategori serdadu yang mengikuti pendidikan intelejen di Batalyon Infrantri 612 Balikpapan pada 17 Juni 1967.

Berlanjut, memasuki Juli 1967, Untung yang berpangkat Praka Infantri mengikuti kursus militer keamanan dan pelatihan intelejen di Yonif 612 dan Kodam IX Mulawarman yang hasil dari ini, Untung memperoleh nilai rapor 342, yang saat itu sertifikat kursusnya dikeluarkan oleh Komandan Said Moedakir.

Tidak hanya itu, sebelum ada peristiwa 30 September 1965, Untung pernah ditugaskan menjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman yang saat itu masih dijabat Suhario Padmodiwirio, alias Hario Kecik. 

Cerita Untung terpenjara sebagai tahanan politik karena dirinya selagi masih menjadi tentara aktif dan berumur muda, sering bermain bola voly bersama warga masyarakat sipil. 

Kebetulan, lapangan voly berdekatan dengan pusat kegiatan organisasi Pemuda Rakyat yang dikaitkan dekat dengan PKI. Hanya sebatas bermain bola Voly, Untung merasa tidak beruntung, dirinya dicap sebagai pengikut PKI, yang akhirnya berujung dinobatkan sebagai orang yang ikut dalam ideologi terlarang. 

Penangkapan dirinya waktu itu bermula dari rumah tentara di Asrama Bukit Balikpapan. Namun awalnya bukan penangkapan, tetapi istilahnya masih pemanggilan. Saat pagi, Untung digelandang ke markas Polisi Militer. “Istri dan anak saya waktu itu belum tahu kalau saya ditahan,” ujarnya.

Menginjak sore hari, Untung dibawa lagi ke Kodam, diperiksa lebih lanjut. Dimulai dari sinilah, kemudian Untung dinilai sebagai pengikut PKI. Ini didasarkan pada pengakuan orang-orang yang sudah ditahan lebih dahulu. 

“Aneh. Saya ditangkap tidak ada dasar kuat. Hanya berdasarkan tuduhan-tuduhan yang tidak jelas. Penangkapan saya saja tidak ada surat penangkapan, tiba-tiba langsung ditahan,” tuturnya.

Begitu ditahan status Untung tidak jelas. Sejak ditahan, sebulan kemudian Untung tidak lagi mendapat gaji apalagi tunjangan. Penghasilannya hilang, seperti tidak ada lagi harapan, Untung benar-benar mulai merasa menderita. “Apa sebagai pensiunan atau dipecat sebagai pegawai negeri, saya tidak tahu,” ujarnya.[1]

Pailan Kaget Ditodong Senjata
Bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam, Aloysius Pailan (78), duduk bersantai di pelataran depan rumahnya yang berwarna biru campur abu-abu, di Jalan Rajawali, Kelurahan Argosari. 
Pria kelahiran Kota Malang itu bukan warga sipil yang ikut transmigrasi tetapi merupakan tahanan politik yang dituding ikut PKI dari kalangan militer. Pangkat terakhir Pailan ialah Kopral Dua, bertugas diBatalyon 612.
Pailan dituding masuk dalam gerakan pemberontakan September PKI. Pailan ditahan masuk penjara sekitar tahun 1970. Awal mula sebelum dipenjara, Pailan kaget, secara spontan dihadang rekan-rekannya sesama militer. 
Mau berangkat tugas, tiba-tiba di tengah jalan ditodong senjata. “Yang lakukan teman-teman saya satu asrama. Saya tanya, saya salah apa ? Kenapa ditodong senjata. Saya dipaksa takluk,” katanya. 
Usai berhasil diringkus, Pailan dibawa ke markas Polisi Militer, sempat diinapkan selama empat hari. Usai itu dibawa ke tempat lain ke Kodim Balikpapan, dilakukan pemeriksaan atas sepak terjang dirinya. 
“Saya tanya ke orang yang memeriksa saya. Saya bilang ini memeriksa saya atau apa mau menyiksa saya. Kalau memeriksa saya harusnya dengarkan saja, bukan menggebuk,” ungkap pria kelahiran 24 April tahun 1939ini
Kala itu, Pailan dituduh terlibat dalam kegiatan pembunuhan para jendral di Kota Jakarta. Hal ini dia bantah, sebab selama berlangsung pembunuhan jendral, Pailan berada di Balikpapan.
“Dituduh membunuh jendral. Bagaimana mungkin saya bunuh jendral, sedangkan saya bertugas di Balikpapan, tidak pernah tidak hadir,” ujarnya.
Tempat tahanan Pailan selalu berpindah-indah dan tiada henti-hentinya disiksa. “Bekas luka siksaan kering sedikit, dipanggil lagi. Pindah sana, pindah sini. Saya disetrum sampai lima kali. Mendapat pukulan, gigi depan rusak hingga kepala saya dihajar, berdarah,” ujarnya. 
Pernah suatu ketika, dirinya dibebaskan secara simbolik di lapangan Merdeka, dengan tahanan yang lainnya. Namun dalam perjalanannya, tidak mendapat kebebasan secara nyata.

Suasana perkampungan Argosari, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur pada Selasa 26 September 2017 (Jongfajar Kelana)

“Habis dibebaskan masih harus apel. Saya tidak dapat gaji, tidak jelas apakah saya pensiun dini dari tentara, atau seperti apa. Hidup terkatung-katung,” kata Pailan yang mengaku ayah kandungnya pernah terlibat dalam perang melawan penjajah Belanda di Kota Tarakan. 
Pailan masuk militer sejak dirinya merantau dari jawa ke Balikpapan di tahun 1962. Awalnya masuk ke Kepolisian yang ada di Stall Kuda. Di perjalanannya, ikut pendidikan kepolisian selama tiga bulan lalu dikeluarkan. “Saya dianggap tidak bagus dalam mengerjakan tugas membersihan bak air. Saya keluar coba masuk tentara. Diterima,” katanya. 
Masuk tentara hingga akhirnya ditangkap aparat, dianggap ikut berpolitik hingga akhirnya berujung dilibatkan dalam pendistribusian penduduk ke daerah terpencil, ke hutan Amborawang, bersama tahanan politik lainnya. 
Kini tempat ini disebut Agrosari. “Ada instruksi siapa yang mau mukim nanti dikasih, diberi fasilitas,” ujarnya.
Namun program pemindahan itu janji tinggal janji tanpa dibarengi bantuan faslitas yang memadai. “Katanya mau disediakan rumah, lahan dua hektar, perlengkapan tidur, rumah tangga. Tetapi tidak benar, bohong,” ungkap Pailan.  
Soal lahan, Pailan bersama tahan politik lainnya mesti merintis lahan dahulu menjadi kawasan pemukiman. Masuk ke Amborawang masih hutan belantara. Meratakan tanah pakai tenaga sendiri, menebang pohon dengan menggergaji sendiri, membangun rumah sendiri. Masuk ke hutan masih liar rimba belantara.  
“Pernah kami tidak dapat kiriman makan. Cari sendiri di hutan, ketemu umbut rotan muda, kami olah jadi makanan. Untungnya kita para tentara sudah biasa menghadapi alam hutan, sudahterlatihhidup di hutan. Menanam singkong lalu dimakan babi hutan tetap saja sisanya saya makan,” ujarnya.[2]

Dituduh Tanpa Proses Pengadilan
Muradi Kaswan, 75 tahun, merasa nelangsa. Kesedihan terangkat kembali ketika menceritakan kisah pahitnya sekitar tahun 1970, yang dituduh sebagai orang pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah Kota Balikpapan Kalimantan Timur.
Muradi adalah bagian satu di antara tentara Angkatan Darat waktu itu, yang terseret dalam gejolak politik 30 September 1965. "Saya dituduh ikut Pemuda Rakyatnya PKI. Saya bilang saya tidak pernah ikut Pemuda Rakyat," tuturnya kepada Tribun di Argosari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sebagai tentara yang pernah menempuh pendidikan tempur, Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman. Tugas negara ini dia emban sebelum dirinya ditangkap di tahun 1970 sebagai tapol PKI.
"Sedih. Saya masih sakit kalau ingat sampai sekarang. Dahulu saya sempat mau gila. Untung teman-teman saya yang tapol memberi dukungan moril," ujarnya.
Kronologis Muradi ditangkap awalnya sepulang dari dinas dan ingin pulang ke asrama tentara tiba-tiba ada rekan tentara yang lainnya datang menghampiri. "Saya sudahtiba di asrama. Buka sepatu, lalu datang teman saya. Di bilangsayadipanggilsamakomandan," ungkapnya.
Petunjuk tersebut Muradi layani. Pergi kekomandannya, menghadap langsung pada hari itu juga. Setiba di lokasi diintogerasi, langsung mengarah kalau dirinya terlibat pada kegiatan politik di Pemuda Rakyat. "Tidak tahu apa-apa soal Pemuda Rakyat," tuturnya.
Muradi mengaku, tidak bergabung di Pemuda Ralyat namun hanya mengenal orang-orang Pemuda Rakyat karena pada saat itu dirinya pernah ditugaskan untuk menjaga tapol yang sudah ditangkap, yang kebanyakan adalah warga sipil yang tergabung dalam Pemuda Rakyat.
Pada rentang waktu tahun 1965 sampai 1969, Muardi masih tentara. Pria kelahiran Nganjuk ini pernah berjaga, ditugaskan untuk mengamankan orang-orang tahanan PKI di Pelengkung. "Setiap apel kenal saja. Saya kenal orang-orang PKI dari tahanan waktu jam menjaga. Kenal bukan dari bergabung di Pemuda Rakyat," katanya.
Atas tuduhan berfusi dalam Pemuda Rakyat, Muradi dijebloskan kepenjara tanpa melalui proses pengadilan. Momen ini terjadi sekitar tahun 1970. Tuduhan yang dialamatkan ke dirinya membuat Muradi murung, sakit hati. Muradi merasa difitnah, selama dirinya menjadi tentara tidakpernah masuk ke dunia politik praktis.
"Ditodong senjata. Saya disuruh melepas semua seragam tentara saya. Disuruh angkat tangan lalu masuk ke sel penjara," tutur Muradi yang lahir pada 6 Maret 1942 ini.
Anehnya, selama di penjara Muradi tidak pernah mendapat kabarakan disidangkan di pengadilan militer. Perlakuan Muradi di penjara sebaliknya, dianggap seperti bukan manusia. Muradi mendapat siksaan fisik yang pedih.
Tubuhnya yang masih muda, waktu itu sering mendapat bogeman mentah, dituduh Pemuda Rakyat. "Awalnya saya dikasih makan. Sudah selesai makan dihantam sana sini. Badan disiksa," ujarnya.
Paling menyedihkan lagi, Muradi pernah diborgol bersama tahanan politik lainnya. Pemborgolan Muradi berbarengan dengan tahanan lainnya. Saat akan buang air kecil dan air besar, tidak dilepas harus sama-sama dengan kawan yang diborgol. "Tangan saya diborgol. Sampai sakit pergelangan tangan saya," kata Muradi.
Tidak hanya Muradi, ada Wirya Wikrama, 60 tahun, yang bernasib sama. Bedanya Wirya bukan seorang tentara tetapi orang sipil transmigran dari Karang Anyar Jawa Tengah. Daerah transmigran yang disinggahi ialah Samboja, Kukar. Ikut transmigrasi program dari Presiden Soekarno.
Wirya yang sudah memiliki anak satu sekitar tahun 1968 dituduh ikut dalam gerakan Barisan Tani Indonesia. Kronologisnya, Wirya sedang bertani menanam singkong, lalu didatangi pria berbadan tegap menggunakan pakaian sipil.
"Diperintah untuk pergi ke Balikpapan. Pergi ke Balikpapan ditahan. Saya dituduh ikut BTI. Saya bilang saya hanya petani tidak ikut politik, tidak punya niat membunuh jenderal," ungkapnya.
Penetapan sebagai tahanan politik Wirya tanpa melalui proses pengadilan. Dirinya langsung dijebloskan ke penjara. Namun untungnya, selama dipenjara tidak disiksa hingga menyakitkan. Wirya hanya diisolasi tidak boleh pulang kerumah menemui keluarga.
Pernah Wirya dilempar ketahanan yang ada di Kota Samarinda. Selama dilempar di Samarinda, Wirya diperlakukan berbeda, bukan dikurung namun dijadikan pelayan para tentara. "Disuruh buatkan minum kopi. Buat teh. Kadang disuruh pijat," tuturnya.[3]

Karir Hilang Cerai dari Istri
Puluhan tahun hidup dalam pengasingan dicap sebagai tahanan politik oleh penguasa saat itu, tidak membuat Yohanes Wagiran Sumitro putus asa, mengambil jalan pintas melakukan bunuh diri. Hidup mesti dijalani. Dirinya percaya, semua penderitaan hidup adalah takdir yang harus disyukuri, suatu saat akan menemukan kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan. 
MENJELANG senja, Wagiran mengendarai sendiri sepeda motor bututnya yang warna hitam. Mengenakan pakaian yang lusuh, membawa sebuah celurit, Wagiran tak sungkan untuk menyapa orang di setiap jalan yang dilintasinya.
Termasuk kepada saya, dia berhenti sejenak, sempatkan waktu untuk bersua. "Mau pergi cari rumput. Tidak jauh dari sini, hanya di sekitaran waduk disitu. Cari rumput buat ternak sapi saya di rumah," katanya, Rabu 27 September 2017.
Sehari‑hari, mata pencahariannya sebagai petani. Wagiran mengandalkan perkebunan seperti singkong, buah‑buahan untuk menyambung hidupnya. Hewan ternak sapi pun jadi tambahan pundi‑pundi rupiah bagi bekal kehidupannya.
Dahulu, Wagiran adalah pegawai negeri di dinas kemiliteran dengan pangkat terakhir sebagai Pelda. Dirinya dikait‑katikan kasus politik tahun 1965. Peristiwa inilah yang kemudian membuat garis hidupnya berubah. Dirinya ditangkap, dikurung, lalu diisolasi ke hutan liar Amborawang yang sekarang sudah jadi pemukiman penduduk bernama Agrosari, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Nasib buruk tidak sangka oleh Pelda Yohanes Wagiran Sumitro, pria berkulit gelap ini disangkakan sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Dirinya yang berstatus tahanan politik, membuat kehilangan karir di dunia militer. Gaji tidak terbayar, pesangon lenyap, apalagi kesejahteraan dari uang pensiun sungguh tak jelas. 
Statusnya sebagai pegawai negeri di tubuh militer Kodam Mulawarman dihilangkan begitu saja, lantaran mendungnya dunia politik Indonesia di September 1965. Mengawali karir, Wagiran mendaftarkan diri sebagai tentara Indonesia.
Saat itu bukan di Kota Balikpapan. Wagiran mendaftar di Surakarta, Jawa Tengah. "Daftara tentara, saya ingat di tahun 1960. Saya daftar di Resimen Surakarta. Ya kemudian diterima," kata Wagiran. 


Begitu daftar langsung dikirim untuk mengikuti pendidikan selama satu tahun. Bagi Wagiran, mengikuti pendidikan di kedinasan militer merupakan angin segar, ada kebanggan bisa menjadi pegawai. "Sampai satu tahun ikut pendidikan saya dilantik. Seingat saya pelantikan 1 Maret 1961," ujarnya.
Setelah dilantik, Wagiran mendapat informasi bakal dikirim bertugas ke Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Sebagai seorang pegawai, Wagiran siap mengemban tugas. Negara membutuhkan, Wagiran terpanggil untuk ikut berkontribusi bagi negeri.
Dia pun akhirnya dikirim ke Balikpapan. Kapasitasnya bukan sebagai tentara tempur, namun tugasnya menjadi seorang perwira personalia. Singkat cerita, sejak dua bulan sudah di Balikpapan, Wagrian kemudian dipercaya lagi untuk ikut kongres perwira personalia di Jawa.
Menurut dia, mengikuti kongres kala itu seakan menjadi capaian prestasi tinggi. Ikut kongres bertemu seluruh perwira di seluruh daerah. Pergi ke lokasi pun tidak memakai transportasi laut apalagi darat.
"Pergi diberi fasilitas pesawat.  Pada zaman itu orang bisa naik pesawat itu adalah orang‑orang hebat, mahal. Bangga sekali bisa naik pesawat untuk pertama kalinya. Ikut kongres naik pesawat," tuturnya.
Namun kebanggaan itu akhirnya sirna saat memasuki tahun 1970. Saat ada kecampuk politik di Kota Jakarta tahun 1965, berimbas ke wilayah Kalimantan Timur. Ada beberapa perwira yang terciprat politik di Jakarta, dituduh sebagai pengikut PKI, mendukung kelancaran gerakan September 1965.
Selama menjalani sebagai tahanan politik, dirinya masih bernasib baik. Saat dikurung dalam penjara tiada pernah mendapat siksaan pedih. Namun hak kebebasannya sebagai warga saja yang terengut, hingga akhirnya dia pun terpaksa dipisahkan dari istri dan anaknya.
Hidup sendiri dalam tahanan, dituduh dalam gerakan politik adalah hukuman yang berat, tapi itu semua kata Wagiran, peristiwa yang harus dihadapi secara sabar dan tegar.
"Kalau mau bunuh diri tidak selesaikan persoalan. Banyak teman saya yang juga ditahan ada yang sampai sakit jiwa, mau bunuh diri. Saya jalani saja waktu itu meski pedih," ujarnya.
Selama diisolasi di hutan belantara, Wagiran hanya berfokus cara mempertahan hidup. Disediakan lahan dimanfaatkan untuk menanam tumbuhan yang bisa dikonsumsi.
Mencoba merintis dari titik nol hingga sekarang akhirnya menjadi warga negara biasa, hidup di Argosari dengan rumah sederhana dari kayu beratap seng, hingga memiliki hewan ternak. Buat Wagiran bangga, sangat bersyukur.[4]

Kerja Paksa Buat Bantalan Rel Kereta
Masyarakat sipil yang dicap sebagai tahanan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) jumlahnya melimpah. Menurut pelaku sejarah, Aloysius Pailan, 78 tahun, bahwa jumlah tahanan politik dari sipil sekitar 200 orang, sisanya dari kalangan militer sekitar puluhan orang. Tahanan ini ditempatkan di Kamp Konsentrasi Sumber Rejo Balikpapan.
Pailan masih ingat, sekitar awal tahun 1977, pelaksana khusus militer daerah Kaltim mengeluarkan perintah kepada tahanan politik Kamp Sumber Rejo untuk melakukan kerja di daerah Amborawang, Kutai Kartanegara.
“Kami disuruh kerja paksa. Membuat bantalan untuk rel kereta api yang bahannya terbuat dari kayu belambangan. Hasilnya tidak dipakai untuk di Kalimantan, mungkin dikirim ke Jawa atau Sumatera,” ujarnya.
Sebagai tahanan politik tentu saja tidak bisa membantah perintah, apalagi menghindar. Penjagaan di Kamp Sumber Rejo sangat ketat. Sekali pun lari, akan sangat mudah terlacak, bakal mudah ketangkap lagi.
Menurut Pailan, kegiatan kerja paksa membuat bantalan kereta api itu sangat berat. Alat kerja yang disediakan tidak memadai. Upah pun tidak diberi, hanya makan seadannya saja, nasi hanya sayur.
Di lokasi itu, para tahanan hanya ditempatkan barak. Fungsi barak ini sebagai tempat teduh, berbaring tidur, dan berlindung kala turun hujan deras. Selain barak, juga ada bangunan lain yang digunakan untuk dapur umum. “Yang buat para tahanan,” ujarnya.
Jam kerja yang diberlakukan untuk membuat bantalan rel kereta api dilakukan setiap hari, tidak mengenal hari libur sabtu dan minggu atau tanggal merah. Kerja dimulai setelah sarapan pagi hingga tengah malam. Istirahat hanya dilakukan saat makan siang.
“Malam juga kerja. Waktu itu supaya tidak gelap gulita dibawakan lampu petromak, jadi alat penerangan. Kami kerjanya diawasi sama tentara Angkatan Darat,” tutur Pailan, yang pernah bertempat tinggal di Kota Tarakan bersama ayahnya saat masih usia bocah.   
Menjelang tutup tahun, memasuki 22 Desember tahun 1977, tahanan politik yang terkena cap PKI di Kota Balikpapan akan mendapat angin segar. Tahanan yang berasal dari elemen sipil maupun militer, kabarnya akan mendapat pembebasan.
Momen ini direkaman betul dalam ingatak, pelaku sejarah, Untung Soeyanto (75). “Kepala kamp kasih kabar. Kalian mau dibebaskan. Senang kami mendengarnya,” katanya.
Tahanan politik yang dibebaskan sekitar 800 orang, yang semuanya berasal dari Kota Balikpapan. Pembebasan ini pun dilakukan secara seremonial, digelar di lapangan sepak bola, yang kini disebut Lapangan Merdeka Balikpapan.
Pelaksanaan pembebasan tahanan dipimpin langsung petinggi militer di Kodam. Saat sebelum dilepas, para tahanan wajib mengikrarkan dalam kalimat butir-butir yang dikandung dalam Pancasila dan nyatakan setia kepada negara Republik Indonesia.
“Lapangan penuh orang. Ramai sekali. Keramaian pasar malam kalah. Keluarga tahanan ada yang hadir, ikut meramaikan untuk sambut keluarganya yang ditahan,” ujar Untung.
Namun disayangkan, setelah ada pembebasan, mereka yang berlatar belakang tentara diwajibkan masih tinggal di Kamp Sumber Rejo, dan harus selalu melakukan apel. Sementara tahanan yang sipil diperbolehkan pulang ke keluarganya, bahkan rumahnya yang ada di luar Kota Balikpapan diberikan bekal ongkos.
“Saya masih disuruh apel. Katanya sudah bebas tetapi kenapa harus tetap tinggal di Kamp Sumber Rejo. Tidak jelas. Saya bukan tentara lagi kenapa harus seperti tentara. Gaji saja sudah tidak dapat,” tutur Untung.   

Diisolasi di Hutan
Berlanjut ke 29 Desember 1977, ada kabar lagi. Melalui Kapten Umar Maksum Komandan tim pemeriksa daerah tiba di Kamp Sumber Rejo. Kapten Umar mengumpulkan semua bekas tahanan politik yang berlatarbelakang tentara.
“Dikasih kabar akan dipindahkan ke tempat lain. Tidak lagi di Sumber Rejo,” katanya.
Pemindahan itu, katanya, akan didukung secara maksimal, di antaranya akan diberikan satu rumah, lahan dua hektar, dan sertifikat tanah. Lokasi yang dipilih ialah Amborawang, Kukar.
Awalnya ditanggapi secara positif oleh para tahanan, namun setelah tiba di lokasi, ternyata janjinya tidak benar. Amborawang waktu itu masih berwujud hutan belantara, belum ada rumah, apalagi tanah landai siap pakai untuk bercocok tanam. “Tidak bisa menolak. Pokoknya harus ikut. Tidak boleh tidak,” katanya.
Lokasi ini berada sekitar tiga kilometer dari jalan besar. Saat itu baru ada rumah percontohan sebanyak empat unit yang fungsinya untuk barak. Tahanan setiap harinya dipekerjakan untuk membuat pemukiman penduduk, tidak jauh dari tempat barak. “Kami dijadikan perintis,” tuturnya.
Bayangkan saja, orientasi yang ditanamkan pejabat militer ke para bekas tahanan politik ditekankanharus bisaberhasil mengubah hutan jadi pemukiman penduduk. Buat bekas tapol, ini bukan pekerjaan yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.
“Kami hanya diberi modal parang sama kapak saja. Disuruh membabat hutan tidak memakai kendaraan alat berat. Dikasih uang makan sebesar Rp 250 per hari untuk per orang,” tutur Untung. 
Aktivitas semua yang dilakukan bekas tapol ini diawasi. Bahkan bila ingin keluar dari kawasan hutan Amborawang, wajib izin kepada pihak yang diberi tanggungjawab yang saat itu dijabat Mayor Manurung. “Izin keluar boleh. Izin harus jelas tujuannya. Tapi harus segera kembali lagi, tidak boleh lama berhari-hari,” ungkapnya.

Selang beberapa bulan kemudian, sekitar pertengahan tahun 1978, bekas tapol dari militer ini mendapat ‘keluarga baru’. Kawasan hutan Amborawang ini mendapat kiriman orang-orang bekas tapol PKI lainnya. Mereka ini berasal dari Kota Balikpapan, Samboja, dan Tana Gerogot. Awal kedatangan gerombolan ini langsung ditempatkan di barak-barak.   
Kedatangan di antara mereka, ada bekas tahanan yang membawa keluarganya, baik istri, anak, dan orangtua. Namun pihak militer saat itu hanya memberikan jatah makanan hanya kepada satu orang kepala keluarga. Mereka yang membawa anak, istri dan orangtua harus membiayai hidup sendiri. Jatah makan hanya berlaku ke si tahanan saja. 
Mulai menggeliat kehidupan pemukiman penduduk masuk di tahun 1979. Kawasan ini didatangi para pemborong tukang bangunan dan mendatangkan bahan bangunan untuk membangun rumah yang terbuat dari kayu, model rumah panggung. 
Setelah rumah-rumah rampung dibangun, warga berhak untuk menghuni. Pembagian rumah dilakukan secara acak, memakai nomor undian. Ini dilakukan untuk menghindari kecemburuan, upaya untuk menghilangkan rasa pilih kasih. “Rumahnya bukan karena pilihan sendiri atau ditunjuk orang,” ungkapnya.
Dan era tahun 1980, sekitar pukul 20.00 Wita, seluruh warga dikumpulkan. Kegiatan ini tidak lain untuk membentuk pemukiman penduduk RT. Warga bekas tahanan banyak yang setuju, menerima usulan pembentukan kampung. 
Dan berlanjut 10 Juni 1980, dilakukan musyawarah desa. Keputusan akhirnya diberi nama Desa Agrosari. Nama ini diambil dari kata Agro yang bermakna gunung dan Sari berarti inti. Geografisnya yang berbukit-bukit diharapkan warga bisa hidup sejaherah, mampu memanfaatkan sumber alamnya sebagai modal kehidupan. 
Dimulai dari sini, kemudian tempat ini berkembang dinamis. Banyak pendatang yang menempati, bukan saja dari orang bekas tahanan. Agrosari sekarang sudah ramai, menyerupai perkotaan. 
Apalagi sekarang statusnya sudah berubah menjadi kelurahan bukan lagi desa. “Buat saya enak berstatus desa. Kalau sekarang sudah jadi kelurahan tidak dapat lagi dana desa,” kata Untung, yang merupakan mantan Sekretaris Desa Agrosari ini.[5]

Koesman dalam Pusaran Gerakan Tahun 65
Peristiwa pecahnya pembunuhan para jendral di Kota Jakarta di tahun 1965, berdampak meluas hingga ke Kota Balikpapan Kalimantan Timur. Pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikaitkan dalam gerakan pembunuhan para jendral revolusi, dilakukan secara gencar.
Koesman satu di antara orang yang pernah mengalami zaman ini, di saat usainya memasuki sekitar umur 40 tahun. Ditemui di kediamannya di Jalan Panjaitan, Kelurahan Sumber Rejo Kota Balikpapan, Koesman bercerita masa silam, era yang diistilahkan sebagai Pemberontakan 30 September.
Raut wajah Kosman yang sekarang sudah keriput, masih ingat peristiwa yang dianggapnya memilukan tersebut. “Sedih juga. Sesama saudara sendiri sebangsa setanah air kenapa harus terjadi pembunuhan,” ujarnya pada Rabu 27 September 2017.
Waktu tahun 1965, Koseman belum bertempat tinggal di Sumber Rejo. Saat era orde lama, Koseman menempati di wilayah Gunung Empat. “Rumah saya masih di Gunung Empat. Sudah berkeluarga. Punya istri dan anak,” kata pria bernama lengkap Prajitno Joyodiharjo Koesman.
Selama zaman kemerdekaan perang dunia kedua, Koseman dikenal sebagai intelejen tentara rakyat Indonesia di perang Sangasanga Kutai Kartanegara dan berlanjut sebagai sukarelawan yang tergabung di gerakan konfrontasi dengan Malaysia.
Usai Indonesia berdaulat, merdeka dari Belanda dan Jepang, Koesman tidak lagi menjadi bagian dari tentara, atau yang dahulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Jalan hidup yang dipilih Koesman kala itu sebagai orang sipil, veteran perang. Dirinya bekerja di perusahaan swasta perminyakan, yang waktu itu masih bernama BPM dan tergabung dalam serikat buruh yang berbasiskan organisasi NU.
Dia mengaku, tahun 1965 sebelum ada peristiwa pembunhan para jendral di Kota Jakarta, Kota Balikpapan banyak diisi orang-orang yang berafiliasi dengan PKI. Terutama warga masyarakat yang mendiami daerah di Gunung Empat Kota Balikpapan.
“Di Gunung Empat banyak simpatisan organisasi yang berada di bawah PKI.Saya ingat ada Pemuda Rakyat, ada Barisan Tani Indonesia dan Gerwani,” urainya.
Saat itu, pengaruh PKI juga sampai memasuki ke organisasi serikat pekerja perminyakan yang dikenal Perbom, Persatuan Buruh Minyak. Dahulu perusahaan minyaknya bernamaBataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).
Aksi unjuk rasa pun waktu itu sangat subur, tumbuh di beberapa titik area sentral Kota Balikpapan. Paling sering ada di Balai Kota dan Perusahaan minyak BPM. Mereka yang melakoni demonstasi di jalan, dilakukan oleh orang-orang organisasi yang dipayungi PKI.
Biasanya, aksi unjuk rasa mereka dilatarbelakangi oleh kenaikan harga sembilan bahan pokok. Mereka yang ikut aksi ini kebanyakan dari kalangan pemuda dan juga ada beberapa wanita. “Harga gula naik saja langsung didemo,” ujarnya.
Selain itu, yang paling sering jadi sasaran massa demonstrasi ialah perusahaan minyak BPM. Para lakon aksi unjuk rasa ini semua dilakukan oleh organisasi buruh, Perbom, yang berafiliasi dengan PKI. “Minyak tanah kurang di pasaran langsung didemo,” katanya.
Menurut Koseman, warna PKI di Kota Balikpapan saat itu memang semarak, mencolok. Eksistensi PKI di Kota Balikpapan dianggap luar biasa, pengaruhnya meluas di seantero Balikpapan. “Pemuda rakyat berada dimana-mana. Besar sekali PKI,” tuturnya.
Tidak hanya itu, Gerwani yang lahir dari rahim PKI pun pengaruhnya begitu dahsyat. Banyak kaum perempuan di pelosok-pelosok kampung Balikpapan kepincut, berminat masuk ke Gerwani, terutama mereka para wanita yang buta aksara dan tidak memiliki pekerjaan.
Gerakan Gerwani yang paling Koesman ingat di daerah Gunung Empat Balikpapan ialah melalui cara gelaran arisan. Para perempuan dikumpulkan, diikutkan dalam kegiatan arisan. Setiap pertemuan arisan, selalu tersedia berbagai macam makanan dan minuman yang lengkap.
Koesman waktu itu pun sempat bingung, setiap pelaksanaan arisan Gerwani, acaranya berlangsung secara menarik, tersedia banyak sajian menu kuliner, yang pada saat itu mungkin dianggap spesial, memiliki daya tarik.
Padahal pada zaman itu, kondisi ekonomi negara sedang terupuruk, kehidupan warga perkampungan masih sangat susah, sulit sekali mencari makanan yang enak dan bergizi. Bahkan untuk mencari sembako saja sampai ada yang harus mengantri.
“Arisan Gerwani sediakan banyak makanan. Saya tidak tahu siapa yang membiayai. Memang kalau ada arisan Gerwani pasti ada yang mengirim makanan yang enak-enak,” katanya
Lalu pengaruh lain juga datang dari pentas seni musik dan drama, yang populernya disebut seni ludruk. Kata Koesman, ludruk yang terlindungi dalam PKI disebut Ludruk Proletar, yang aksi panggungnya sangat tenar di tengah kehidupan masyarakat Balikpapan.
Ludruk Proletar ini sering tampil, diundang di acara-acara pernikahan. Ketika unjuk gigi, kesenian ludruk ini tidak secara vulgar mengkampenyekan garis perjuangan dan visi misi PKI, tetapi aksi panggungnya ada pesan yang bermakna ke arah kepentingan PKI.
Seperti halnya, yang Koesman pernah saksikan, pementasan Ludruk Proletar mensusupi aksi seninya dengan bumbu-bumbu yang bermuara ke PKI. Ada lakon yang mengatakan kepada penonton para penikmat ludruk.
“Enaknya kerja apa?Ya jadi petani. Kalau mau bertani enaknya gabung ke BTI (Barisan Tani Indonesia). Bingung dagangan tidak laku-laku? Ya gabung saja ke Gerwani. Ada buruh tidak naik pangkat pendapatan selalu sedikit ? Biar enak gabung ke serikat buruh saja,” kata Koesman yang mengulangi lagi perkatan-perkataan sang lakon drama di Ludruk Proletar.
Dia menganalisis, pengaruh PKI mengakar di warga Balikpapan kala itu tidak terlepas juga dari kekuasaan di pemerintah pusat. Koesman beranggapan, di kabinet waktu itu banyak diisi orang-orang berhaluan kiri PKI dan Presiden Soekarno pun juga akrab dengan beberapa pentolan PKI.[6]
Kondisi di Kota Balikpapan pun kala itu juga sama. Seperti halnya Panglima Kodam saat sebelum terjadinya pembunuhan jendral, telah ditempati orang militer yang berselera ideologi kiri, sangat dekat dengan organisasi politik PKI.
Dia bernama Jendral TNI Suhardjo Padmodiwarjo, atau Suharyo, alias Hario Kecik, pria kelahiran Surabaya. Tubuhnya yang mungil ini memimpin lembaga kemiliteran wilayah Kalimantan, yang kala itu sudah bernama Kodam IX Mulawarman pada tahun 1959 hingga 1965.
“Saya ingat Pangdam bernama Suharyo. Orangnya pro PKI. Melindungi orang-orang yang tergabung dalam organisasi PKI,” ungkapnya.
Melihat kondisi seperti itu, warga masyarakat tertarik, ikut bergabung dengan elemen organisasi yang terwadah dalam PKI. Pola pikir warga saat itu, bergabung dengan organisasi berhaluan PKI, hidupnya akan terjamin, diangkat derajatnya, bakal terlindungi dari mara bahaya.
“Panglima (Kodam Mulawarman) di Balikpapan dekat dengan PKI. Beranggapan warga bisa dapat angin. Seakan-akan akan dapat perlindungan kalau ikut juga gabung di PKI,” ujar Koesman.  
Setelah ada kejadian pembunuhan enam jendral di Jakarta, situasi politik di Kota Balikpapan pun ikut berubah. Setelah ada kabar pasukan cakrabirawa menculik dan membunuh para jendral di Jakarta, warga Balikpapan juga telah mengetahui informasinya, tak terkecuali Koesman.
Kabar panasnya politik di Jakarta sampai ke Balikapapan didapat Koesman dari siaran radio yang ada di perumahan karyawan perusahaan minyak. Koesman waktu itu menumpang mendengar radio di rumah orang karena di rumahnya belum terlairi listrik dan tidak memiliki radio. “Satu radio didengar banyak orang. Yang mendengar banyak sekali, bukan saya sendiri. Orang-orang sampai mengerubungi radio,” katanya.
Informasi yang terpancar di radio itu disampaikan secara langsung oleh Kolonel Untung, pemimpin pemberontak 30 September. Koesman ingat, pesan yang disampaikan bahwa peristiwa duka di Jakarta itu dianggap momen biasa. Kejadian jelang dini hari itu merupakan perebutan kekuasaan dari orang-orang yang dicap sebagai kapitalis, pro negara barat. 
“Kolonel Untung bilang di radio bagi prajurit yang ikut berjuang, yang pro PKI dinaikkan pangkat dua tingkat. Yang tidak pro pada PKI tidak naik pangkat. Seakanpara Jendral itudisamakan dengan Untung yang masih berpangkat kolonel,” tutur Koesman.
Memasuki tahun 1965, nakhoda Kodam Mulawarman, Pangdam Suharyo alias Hario Kecik sudah digantikan oleh Pangdam kelahiran Probolinggo bernama Soemitro, yang jabatan sebelumnya sebagai Ketua Dewan Perencana Angkatan Darat di tahun 1963.
“Yang saya tahu Pangdam Sumitro itu tidak pro PKI. Dikenal orang yang dekat sama agamawan. Dalam setiap waktu Pangdam Sumitro rajin bertemu dengan ulama, pastor, pendeta,” urainya.
Begitu ada kejadian pembunuhan jendral yang dikatakan didalangi orang-orang PKI dan beberapa tentara militer, keadaan Balikpapan berganti wujud. Warga di beberapa tempat pasang kuda-kuda, berjaga diri di tempat tinggalnya masing-masing.
Alasannya, jelas Koesman, untuk menghindari dari ancaman serangan dari orang-orang yang dekat dengan PKI. Peristiwa di Kota Jakarta dianggap berbahaya, ditakutkan merembet ke daerah Balikpapan, karena itu ada warga yang mewaspadai.
“Bekas pejuang, orang yang tidak pro PKI seperti orang-orang PNI, Masyumi, Pemuda Anshor, pemuda katolik, berjaga-jaga.Takut kalau juga dapat serangan dari orang-orang pengikut PKI,” katanya.
Apalagi di Gunung Empat tempat tinggal Koesman, kepala lingkungan dan Ketua RT sebagai gembong organisasi Pemuda Rakyat, terlibat dalam Perbum dan Barisan Tani, yang ditakutkan orang-orang ini memobilisasi warga untuk membuat kericuhan. 
“Saya ikut Pemuda Anshor. Saya ikut Sarekat Buruh Minyak dan Tambang di bawah ormas Nadhlatul Ulama. Saya sudah siap kalau ada apa-apa. Teman-te,an sekitar saya juga sudah siap,”ungkapnya.
Selang kemudian, ada ramai-ramai pembentukan Kesatuan Komando Anti Komunis. Tujuan dibentuknya kesatuan ini untuk memburu dan menangkap para pengikuti PKI. Mereka yang tergabung dalam kesatuan ini adalah orang sipil berusia muda, para tentara dan polisi yang anti PKI.
“Dibentuk kesatuan gara-gara ada kabar, mereka (PKI) menang di Jakarta, kita disini (Balikpapan) akan dihabisi. Kemudian kita bersama-sama, bersatu bergerak bersama,” kata Koesman. 
Aksi pemberantasan simpatisan dan aktivis PKI berlangsung di beberapa tempat Kota Balikpapan, terutama yang dianggap sebagai basis PKI. Seperti di antaranya, kesatuan anti komunis menggeruduk, menguasai sekretariat organisasi buruh Perbum, yang dikaitkan ke PKI.
“Markas Perbum waktu itu ada di Dahor. Sekarang ada di lahan bangunan Apartemen Pertamina atau depannya Hotel Blue Sky. Kami kuasai lalu diserahkan ke tentara,” katanya. 
Tempat pengurus ranting-ranting yang berafiliasi dengan PKI pun juga dieksekusi. Rumah Ketua RT tempat tinggal Koesman di Gunung Empat pun terdapat papan yang bertuliskanpimpinan pengurus ranting Pemuda Rakyat dicabut tanpa izin.
“Orangnya (Ketua RT) ditahan. Papan Pemuda Rakyat yang ada di depan rumahnya dicabut. Rumahnya tidak dibakar. Kasihan, ada istrinya,” ujarnya.
Tidak hanya warga sipil, nyatanya, pihak militer yang dianggap ikut ke garis PKI juga ditahan. Seandainya warga sipil yang menangkap, memperlakukannya tidak terlalu kasar. Berbeda orang militer yang menangkap, pasti ada saja pemukulan ke tahanan. “Teman saya yang veteran juga ada yang ketangkap,” ungkapnya.
Selain itu, mereka seniman yang biasa bermain ludruk pun ditangkap, termasuk alat-alat permainan ludruk juga kena sasaran, ditahan oleh tentara yang tidak pro PKI. “Ditahan ke markas Polisi Militer, sampai kemudian juga ada yang ditaruh ke Kamp Sumber Rejo,” katanya.
Pernah suatu waktu, Koesman dituduh ikut masuk dalam gerombolan PKI. Adanya laporan ini, Koesman ikut dipanggil, diperiksa secara intensif oleh tentara. Yang melapokan Koesman sebagai antek PKI adalah Ketua RT tempat tinggalnya.
Saat pemeriksaan tersebut, Koesman menjelaskan kalau dirinya tidak pernah terlibat dengan organisasi yang terhubung ke PKI. Namun kalau bertetangga dengan orang Pemuda Rakyat itu benar, sebab di rumahnya ada papan plang bertuliskan Ketua Ranting Pemuda Rakyat. “Saya bukan anggota (PKI). Saya bilang kalau dia itu orang Pemuda Rakyat,” tuturnya.
Kesaksian Koesman diperkuat, ketika peringatan 17 Agsutus di perkampungan Gunung Empat, Koesman dipercaya sebagai ketua panitia pesta kemerdekaan Indonesia. Hajatan ini tidak hanya dikuti orang berideologi kiri saja, tetapi juga ada dari organisasi lainnya.
Kebetulan saat sesi pemberian pidato sambutan, Koesman mempersilakan Ketua RT maju ke panggung untuk memberikan sambutan, namun ketika itu bukan mengatasnamakan Ketua RT.
Tetapi pada waktu itu sebagai Ketua Ranting Pemuda Rakyat Gunung Empat. “Saya tidak begitu akrab dengan dia. Usianya lebih tua dari saya,” ungkapnya. Dan akhirnya, Koesman lolos dari perangkap tudingan sebagai orang komunis.[7]( )



[1] Koran Tribunkaltim, “Terpisah dari Istri dan Anak,” terbit pada Senin 2 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[2]Koran Tribunkaltim, “Pailan Kaget Ditodong Senjata,” terbit pada 2 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[3]Koran Tribunkaltim, “Ditahan tanpa Sidang,” terbit pada Selasa 3 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 rubrik Tribun Line.
[4] Koran Tribunkaltim, “Kisah Tapol yang Diisolasi ke Hutan Belantara: Karir Hilang Cerai dari Istri,” terbit pada Sabtu 28 Oktober 2017 di halaman 23 pada rubrik Tribun Line.
[5]Koran Tribunkaltim, “Kisah Tapol Puluhan Tahun Tinggal di Hutan Amborawang: Kerja Paksa Bikin Bantalan Rel Kereta Api,” terbit pada Rabu 4 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.
[6]Koran Tribunkaltim, “Rekrut Relawan Lewat Ludruk dan Arisan,” terbit pada Senin 2 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun line.
[7]Koran Tribunkaltim, “Saya tak Pernah Terlibat,” terbit pada Selasa 3 Oktober 2017 di halaman depan bersambung ke halaman 11 di rubrik Tribun Line.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN