REVOLUSI MILLENIAL
Cuaca sedang cerah, matahari mulai beranjak
naik tepat berada di atas kepala, Kamis 12 Oktober 2017. Keluar rumah di Sumber
Rejo, berjalan menuju ke arah Balikpapan Baru untuk melihat-lihat situasi pasca
aksi demonstrasi para supir angkutan umum plat kuning. Tidak disangka, begitu
laju sepeda motor sudah menginjak kawasan Balikpapan Baru, ada kerumunan massa,
jumlahnya sangat luar biasa, mencapai ratusan orang.
Massa ini menggunakan busana gaya bebas, pakaian sipil, dijaga beberapa
aparat kepolisian. Kontan langsung menghampiri kumpulan massa ini. Ternyata,
mereka ini adalah para pengendara ojeg daring (online) yang merasa dirugikan
adanya kebijakan penutupan layanan transportasi daring di Kota Balikpapan.
Sebelum ada peristiwa ini, sudah ada aksi
unjuk rasa para awak transportasi plat kuning, baik angkot dan taxi argometer.
Tuntutan mereka ini hanya satu yakni pemerintah kota mesti melakukan tindakan
berupa penghentian layanan transportasi daring di Kota Balikpapan.
Aspirasi penghentian jasa transportasi daring
di kalangan sopir angkot dan taxi tidak terlepas dari persoalan ekonomi, mereka
penghasilannya semakin berkurang. Dianggap tersaingi, merasa mendapat perlakuan
tidak adil, para sopir kemudian protes keras ke Dewan Perwakilan Rayat Daerah.
(Jongfajar Kelana) |
Izin angkutan daring dianggap belum jelas,
sementara transportasi plat kuning sudah legal. Setiap tahunnya ikut
berkontribusi memberi penambahan pendapatan bagi daerah Kota Balikpapan.
Polemik ini berbalas, mereka para pengendara ojeg daring pun memiliki nasib
yang sama, ingin sejahterah. Turun ke jalan ramai-ramai, melakukan aksi protes.
Misi para ojeg daring berkeliaran di
perkotaan Balikpapan ingin memberi jasa layanan transportasi yang terjangkau
dan cepat buat masyarakat, supaya pengemudi ojeg daring ini mendapat imbalan bayaran
yang sesuai. Harapannya, nanti dapur keluarga bisa ngebul, yang masih jomblo
bisa punya tabungan buat modal menikah dengan kekasihnya.
Siapa yang sangka, kehadiran teknologi yang
sekarang akrab dengan usia kaum millenial memberi gejolak sosial. Tidak ubahnya
ini seperti revolusi. Pantas diberi istilah inilah Revolusi Millenial. Setiap
revolusi ada saja yang menjadi korban, ada orang-orang yang menjadi martir.
Kehidupan sosial masyarakat bergetar,
gonjang-ganjing terjadi di berbagai tempat, melibatkan banyak orang dengan
jumlah yang tidak terhitung. Inilah ciri-ciri dari revolusi, yang bisa ditarik
kesimpulan, munculnya revolusi karena repot memperoleh nasi.
Pemakai transportasi daring di Kota
Balikpapan terbilang cukup maksimal. Banyak dukungan dari berbagai pihak, baik
itu pengendara pengguna aplikasi maupun konsumen masyarakat pengguna pengendara
daring.
Bandingkan saja, pernah suatu ketika, untuk
naik kendaraan transportasi daring kadang bisa mendapat harga murah karena
promo, kadang juga kena lebih mahal daripada naik angkutan konvensional. Semua
bergantung situasi.
Naik ojeg daring misalnya, bayar sesuai
dengan yang tertera di perangkat aplikasi. Naik ini hanya tunggu di satu titik,
langsung dijemput sama pengendara. Harganya lebih mahal ketimbang kalau kita
naik angkot palat kuning. Tetapi kita mesti berjalan kaki beberapa meter untuk
dapat angkot ini.
Beda lagi kalau naik mobil daring dengan taxi
plat kuning, jelas lebih murah naik angkutan mobil berbasis aplikasi ketimbang
naik taxi yang memakai argometer. Naik dari Bandara Udara Sultan Aji Muhammad
Sulaiman, ke arah pusat kota di Balikpapan Tengah menggunakan mobil daring
hanya dikenakan sekitaran harga Rp 50 ribu.
Sementara bila naik taxi argometer dikenakan
biaya sampai Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu. Rasa mobilnya sama-sama nyaman,
dingin dan empuk. Naik kendaraan transportasi daring cepat, tepat.
Harganya sesuai dengan ukuran, kalau tidak setuju dengan harga, konsumen bisa
menolaknya mentah-mentah tanpa harus dipersalahkan kena sasaran luapan amarah.
Kebanyakan dari pikiran orang, pertarungan
antara konvensional dengan daring sebenarnya tidak perlu terjadi di negeri ini.
Satu sama lain mesti mencari solusi, harus saling melengkapi. Namun memang
upaya ini sedang dicari upayanya, seperti apa yang cocok diterapkan.
Zaman millenial, kehidupan sangat bergantung
pada teknologi. Susah rasanya menghindari dari metode teknologi. Jurus jitu
supaya kita bisa terlepas dari teknologi, jawabannya kita mesti pergi ke hutan
belantara dan bertapa selamanya hingga penghujung hayat, maut menjemput.
Sekarang adakah yang mau memilih hidup
seperti ini ? Kalau saya sepertinya menolak, sudah tidak berani. Soalnya saya sudah
punya anak dan istri yang belum tentu juga mau diajak hidup rekoso ke hutan ala
tarzan. ( )
Komentar
Posting Komentar