KAMPUNG ANTAL | DESA SALIMBATU | KALIMANTAN UTARA

Mengarungi Sungai dan Lautan

Rintik hujan halus mulai jatuh di lapisan kulit tubuh. Cuacanya redup, menandakan sedang mendung, padahal sudah sekitar jam setengah delapan pagi. Ini saya rasakan kala keluar rumah untuk menuju ke Pelabuhan Speedboat Lamin Tanjung Selor, pada Kamis 22 Oktober 2015.

PELABUHAN yang dicat biru tersebut tidak jauh dari rumah kontrakan. Hanya butuh waktu lima menit. Lokasi pelabuhan berada tepat di depan Hotel Lamin, Jl Katamso. Saat tiba di pelabuhan terlihat hanya beberapa orang saja.

Untung saja, ketika menuju dan tiba di pelabuhan, hujan belum menampakkan keganasannya. Guyuran hujannya irit, pakaian yang melekat pada tubuh saya pun tidak basah kuyup. Angin yang berhembus sepoi-sepoi, hawanya sedikit dingin lembab.

Momen itulah yang mengawali saya, sebelum pergi mengarungi Sungai Kayan menuju ke perkampungan nelayan bernama Antal, Desa Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. 


Saya pergi tidak sendiri, tetapi berkelana bersama Kesbangpol Bulungan, Dinas Kelautan dan Perikanan Bulungan, TNI angkatan darat dan laut, Polres Bulungan. Kapan lagi bisa pergi ke Kampung Antal, mumpung ada yang mengajak, bisa pergi gratis melihat suasana Antal tuk pertama kalinya.  

Sudah hampir 30 menit menunggu di pelabuhan Lamin. Rombongan belum lengkap. Sambil menunggu kebosanan, saya pun memandangi geliat kehidupan di Sungai Kayan. Banyak perahu-perahu kayu berukuran kecil lalu-lalang, meski kabut masih pekat.

Singkat cerita, dirasa orang-orang dinyatakan lengkap, kami pun berangkat ke Kampung Antal. Cuaca saat itu masih mendung meski langit pagi tak lagi menurunkan hujan. Kami naik perahu speedboat bermesin satu, dengan muatan penumpang 21 orang.


Perahu meninggalkan dermaga Pelabuhan Lamin Tanjung Selor pada pukul 08.53 Wita. Hamparan Sungai Kayan yang coklat, kami jelajahi. Menembus air sungai yang tidak bergelombang besar. Pengemudi perahu melaju tanpa kendala, walau jarak pandangnya agak terhalang kabut. 

Tidak lama kemudian, sekitar jam sembilan pagi, perahu kami masuk ke wilayah anak Sungai Kayan yang diguyur hujan deras. Perahu bagian belakang yang terbuka, spontan ditutup dengan terpal agar sebagian penumpang tidak terkena rintik hujan.

Sebelum hujan turun, perahu masih melaju, kencang. Hutan-hutan bakau yang hijau menemani perjalanan. Kelak-kelok, perjalanan yang asyik, penuh warna, puas merasakan angin sungai. Waktu itu, selama di perjalanan, paling sering berjumpa dengan perahu-perahu katinting. Mereka sedang mencari peruntungan, mendapatkan udang dan ikan.

Memasuki perairan laut Tarakan, ini pertanda akan segera tiba di Kampung Antal. Ombak laut kala itu lumayan, bisa mengocok perut kami. Laju kapal tidak semulus waktu melintasi perairan Sungai Kayan.

Saat jarum jam menunjukkan, pukul 09.51 Wita, perahu tiba di Kampung Antal. Hujan gerimis menyambut kedatangan kami di Antal. Perahu merapat di dermaga, penumpang yang ada di dalam keluar meninggalkan perahu.


Karena turun hujan, begitu keluar dari perahu, penumpang berhamburan, mencari tempat teduh. Yang menjadi tempat persinggahan, demi menghindari guyuran hujan ialah di rumah keluarga Abdul Qadir, pria berumur 75 tahun.

Kami disambut baik, diperbolehkan duduk bersantai di ruang tamu rumahnya. Kami semua disuguhi minuman kopi yang hangat, di tengah suasana hujan yang turun semakin deras. Keramahan ini menjadi cerminan warga yang bertempat tinggal di Kampung Antal ini.

Banyak rumah-rumah panggung berdiri, terbuat dari kayu. Perkampungan ini berada di lahan bakau. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan, yang merupakan pendatang dari wilayah Tanjung Selor dan Tanjung Palas, berasal dari suku Tidung dan Bulungan.

Jumlah Kepala Keluarga yang tinggal di Kampung Antal ini sebanyak 100, sedangkan penduduknya ada 300 jiwa, dengan total empat Rukun Tetangga. “Saya datang dari Tanjung Selor,” ujar Qadir, sambil memegang sebatang rokoknya.

Perkampungan di Atas Air
HUJAN reda. Durasi hujan yang lama sampai satu jam lebih membuat saya berlama-lama di dalam rumah. Padahal, saya mau berkeliling, berjalan-jalan menyusuri Antal yang jalan perkampungannya memakai lapisan kayu selebar satu meter. Jalanannya tidak menyentuh tanah langsung.

Berhubung berada di lahan bakau, jalan dibuat penyangga, layaknya jembatan. Bagi yang pertama kali pasti akan berkesan, sangat menikmati dan menakjubkan. Dibuat seperti itu karena bila hujan deras, air yang menggenang tidak merendam jalanan.

Jalan-jalan setapak kayu itu terbuat dari bahan kayu pilihan berupa kayu ulin. Dipilihnya kayu ulin karena jenisnya sangat kuat, tidak pernah lapuk dimakan zaman. Bila terkena, atau terendam air saban hari, kayunya mash kokoh.

Inilah perkampungan Antal yang bebas banjir meski pemukimannya berada di lingkungan air. Itulah kenapa, ditempat ini merupakan surganya sumber daya alam ikan, udang, dan kepiting.

Qadir mengungkapkan, mencari kepiting atau ikan di depan pemukiman Kampung Antal masih sangat mudah, ketersediaan ikan dan kepitingnya bak jumlah bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.

Warga tidak akan kesulitan bila ingin makan lauk-pauk seafood. “Memancing tidak sampai sejam sudah bisa dapat tiga ikan besar-besar,” ujarnya. Di antaranya ada ikan merah, ikan kerapu, dan ikan senangin.

Menolak Pukat Harimau
MELIMPAHNYA sumber perikanan di Kampung Antal atas peran warga yang hidup berkesinambungan dengan alam sekitar. Pohon-pohon bakau yang tumbuh dibiarkan hidup rindang, menghijaukan seputaran Kampung Antal.

Gaya hidup lestari, menjaga ekosistem bakau dilakukan secara turun-temurun, dari nenek-kakek hingga ke generasi di bawahnya. Lagi pula, ujar Qadir, hutan bakau hancur, pekampungan Antal pun akan terendam air dan rawan terkena tiupan angin puting beliung.

Kelestarian bakau turut memberi andil bagi perkembangan habitat ikan dan kepiting. Hutan bakau tempat tinggal dan bertelurnya para kepiting, termasuk ikan-ikan juga bermukim dan mencari makan di sekitaran hutan bakau. “Kami semua disini berkomitmen tidak akan merusak pohon bakau. Siapa yang berulah akan kami usir dari kampung,” ujarnya.


Soal penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau, warga Antal sangat menolak. Pukat harimau selain merusak lingkungan, juga merugikan nelayan-nelayan Antal yang sehari-harinya menggunakan pukat gondrong, yang ramah lingkungan.

“Pukat harimau semuanya dikeruk. Yang tidak perlu kita tangkap, tertangkap, lalu dibuang begitu saja. Merusak keseimbangan ekosistem perairan,” tegas Qadir, nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha bersama Intimung Antal ini.

Dia menambahkan, bila ada praktik pukat harimau di kawasan perkampungan Antal, akan mengurangi hasil pencarian nelayan. “Empat tahun lalu ada yang pakai pukat harimau. Lalu kami hadang. Kami usir. Kami jauhkan,” tutur Qadir.

Sekarang, tambah dia, sudah tidak ada lagi yang berani. Buktinya nelayan masih mudah mencari penghasilan, tidak merasa kekurangan. “Dahulu ada yang pakai pukat harimau sulit sekali mau dapat ikan,” ungkapnya. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN