TEATER TARI KARTINI

Aku Tidak Mau Kawin 
Aku mau bebas

DUDUK manis di sebuah kursi panjang berbusa merah, Kartini rupanya sedang dirundung kebimbangan. Pikirannya menggelayut beban, ada semacam kebingungan yang dia rasakan, mengenai apakah cita-cita idealismenya dapat ia wujudkan.

Kartini, bernama lengkap Raden Ajeng Kartini yang seorang gadis belia dari suku Jawa memiliki mimpi tinggi adi luhur. “Aku tidak mau hidup ku berakhir begitu saja.”

Meski dirinya dilahirkan dilingkungan keraton dengan segala fasiltas yang lengkap, Kartini terpanggil ingin memajukan kaumnya, mau memikirkan masyarakat tertindas.  

Selama hidupnya, jiwa sosial Kartini tumbuh perkasa. Dirinya pernah mengabdi bagi bangsanya, dengan menggelar pendidikan rakyat secara gratis tanpa ada pungutan uang sepeser pun. Ini dia lakukan agar rakyatnya memiliki modal wawasan luas dan berkarakter tangguh.

Murid-muridnya yang pergi belajar di sekolah Kartini adalah kaum perempuan. Dia ingin kaum perempuan bangsanya cerdas, berkeperibadian pendidikan. “Akankah mimpi ku ini menjadi kenyataan. Cita-cita ku terasa amat jauh.” 

Dia menilai, kaum perempuan bangsanya tidak boleh kalah dengan mereka bangsa-bangsa eropa, yang dianggap selangkah lebih maju.

Ditemani dua saudaranya yang perempuan, di bangku panjang berbahan kayu itu, Kartini bercerita penuh makna, dia mencurahkan isi hatinya. 

“Apakah yang dikatakan kewajiban itu tidak mementingkan diri sendiri. Apakah yang dimaksud kewajiban itu, tidak berkewajiban untuk mengembangkan diri.”

Kartini belia ingin mengenyam pendidikan tinggi, seperti layaknya kaum laki-laki, tapi apa daya, kultur tempat tinggalnya seakan mematikan cita-citanya untuk bersekolah tinggi.  

Perempuan-perempuan jaman Kartini, tidak ada hak untuk mengenyam pendidikan formal. Perempuan tidak perlu bersekolah tinggi sampai di luar negeri. Perempuan hanya perlu cakap untuk berdandan, mengurus suami, dan anak saja.

Pentas teater tari Kartini di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014. Teater ini pun diiringi lantunan musik jawa kuno sehingga penonton pun dapat terhanyut ke masa jawa tempo silam. (Photo by budi susilo)

“Tiga hari lalu ada peristiwa penting. Aku dilamar seorang pangeran, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Ayahku sangat terharu, tidak mengira anaknya dilamar pengeran.”

Kartini menanggapinya dengan risau yang teramat dalam, “Mengapa selalu saja ada jalan penghalang buat aku. Sungguh aneh.” 

Saking begitunya, Kartini pun bertanya-tanya dalam dirinya sendiri. Dia seakan tidak percaya akan peristiwa yang akan dialaminya ini. 

“Kenapa dia tidak mempersunting yang lain, perempuan yang lebih cantik, kaya, dan muda. Kenapa mesti harus aku yang dipilih. Aku ini tidak cantik, tidak kaya dan tidak lagi muda.”

Di lubuk hatinya yang terdalam, gadis polos seperti Kartini ingin sekali bersekolah tinggi di negeri Kincir Angin Belanda, layaknya kakak lelakinya. 

Padahal dia ingat betul akan pesan eyangnya, beberapa waktu yang silam pernah bercerita padanya, “Hidup tanpa ilmu, akan membuat hidup tidak bahagia. Dinasti kita akan mundur.”

Kartini pun berusaha, segala jurus dicoba, Kartini mendekati ayahnya, meyakinkan ke ayahnya, kalau Kartini punya tekad untuk melanjutkan sekolah tinggi. 

Namun respon yang didapat, ayahnya hanya terdiam tanpa sepatah kata menyetujui mimpi Kartini. Ayahnya hanya mencubit pipinya. 

Perbincangan Kartini dengan ayahnya pun, didengar juga oleh kakak kandungnya, Raden Mas Panji Sosrokartono. Kakaknya berceletuk, “Perempuan jadi Raden Ayu saja.”

Tapi lagi-lagi, kalau menerima saran kakaknya itu bukan Kartini namanya. “Aku tidak mau kawin. Aku mau bebas, tidak mau menjadi Raden Ayu.”

Kartini pun sempat berpikir, Raden Ayu itu apa? Dia pun mempelajari bentuk Raden Ayu di Kabupaten-kabupaten itu seperti apa karakter dan perannya dalam kehidupan. 

Dan ternyata, usut punya usut, hasil penelusuran Kartini, bahwa posisi Raden Ayu itu sebagai seorang gadis yang harus dimiliki laki-laki secara absolut. Perempuan berkesan warga kelas dua setelah kaum pria. 

Raden Ayu itu perempuan yang tidak tahu posisinya, “Siapa dia, harus berbuat apa, dan harus bagaimana.” Ini sangat tidak sesuai dengan pola pikir yang dimiliki Kartini, yang merdeka dalam berpikir dan bertindak.

Kemudian, usaha Kartini dalam menajamkan wawasan atau ilmu pengetahuannya terlihat saat dia menemukan buku-buku, atau bacaan koran. 

Apabila ada buku-buku dan surat kabar media massa yang dilihatnya, ia merasa penasaran, dan bahan bacaan ini akan langsung dilahap, dibaca, dan dipelajarinya. 

Bahkan bila dia menemukan kata-kata berbahasa asing, Kartini pun tidak malu untuk bertanya kepada kakaknya, untuk mengartikannya dan langsung dihapal, diingat ke pikirannya. “Aku suka sekali belajar. Banyak yang bisa aku pelajari.”

Sepenggalan cerita ini tergambar dalam pentas seni tater tari Kartini pada Sabtu 15 November 2014 yang digelar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat. Pementasan memakan waktu 90 menit.

Sebagai tokoh Kartini, diperankan perempuan asal Makassar yakni Ayu Diah Pasha yang dikenal sebagai selebritis Indonesia yang pernah bermain di film Dunia Mereka pada tahun 2006.

Pementasan tersebut, persembahan Gathaya Performing Arts yang di sutradarai oleh Wawan Sofwan. Intinya, cerita menggambarkan tokoh Kartini yang disimbolkan sebagai kaum perempuan yang punya hak untuk menutut pendidikan tinggi.

Kartini memiliki sahabat luar negeri, negeri Belanda, seperti Lensi dan Rosa Abendanon. Persahabatan ini diikat dengan diskusi-diskusi berat, yang membangunkan kesadaran akan emansipasi perempuan. 

Maksud pemikiran emansipasi ini, kalau kalangan perempuan dalam kehidupan punya hak untuk berpendapat, berpikir, dan beraktivitas di ranah publik. ( )

Wajah senyum sumringah Ayu Diah Pasha yang menjadi pemeran utama sebagai Kartini, dalam teater tari Kartini yang digelar di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014 (Photo by budi susilo)

Pentas teater tari Kartini di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014. Teater ini pun diiringi lantunan musik jawa kuno sehingga penonton pun dapat terhanyut ke masa jawa tempo silam. (Photo by budi susilo)

Pentas teater tari Kartini di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014. Teater ini pun diiringi lantunan musik jawa kuno sehingga penonton pun dapat terhanyut ke masa jawa tempo silam. (Photo by budi susilo)

Sebuah kain batik hasil karya asli RA Kartini yang dipajang di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014. (Photo by budi susilo)

Pentas teater tari Kartini di Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat pada Sabtu 15 November 2014. Teater ini pun diiringi lantunan musik jawa kuno sehingga penonton pun dapat terhanyut ke masa jawa tempo silam. (Photo by budi susilo)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN