JELAJAH KAMPUNG PEKOJAN
Jelajah Kampung Pekojan
HUJAN
deras yang sempat menguyur Kota Tua Jakarta selama hampir 30 menit lamanya, tak
membuat geliat warga ibu kota redup. Awan yang gelap tak membuat wilayah
bersejarah ini mati tanpa denyut nadi.
Keadaan
itu jelas terlihat pada Sabtu 12 Juli 2014 siang,
diantaranya masih ada beberapa pedagang kaki lima menggelar dagangannya, para
supir angkutan umum pun masih berusaha menawarkan jasa transportasinya, dan
penjual uang recehan pun masih beredar untuk menawarkan jasa penukaran.
Jalan
memang agak becek dan sedikit kotor berlumpur sehingga mengurangi keindahan.
Genangan bekas air hujan pun masih menghiasai di beberapa titik jalan seputaran
Kota Tua.
Kesan
ini membuat sangat tidak nyaman bagi mereka yang berjalan kaki, rawan terkena
cipratan laju kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Ya inilah cermin
sebagian wilayah Kota Jakarta, yang masih banyak pekerjaan rumahnya.
Namun
kondisi itu, tidak menghalangi Komunitas Historia Indonesia untuk menggelar
Jelajah Kampung Pekojan. Kegiatan ini diikuti puluhan orang, yang kebanyakan
adalah muda-mudi.
Antusiasme
atas kegiatan ini terbilang cukup besar, mengingat dari para peserta yang ikut
sebagian besar sedang berpuasa ramadhan.
Bersama-sama menjelajah Kampung Pekojan pada Sabtu 12 Juli 2014. Di tempat ini dahulunya kampung khusus warga yang berasal dari bangsa Arab dan India. (Photo by budi susilo) |
Bayangkan
saja, di antara mereka ada sedang berpuasa dengan kondisi tubuh yang lumayan
lemas, lapar, dan dehidrasi tapi tidak menyurutkan semangat untuk berjalan kaki
menyusuri Kampung Pekojan.
"Datang
kesini sama teman wanita. Mau tahu daerah Pekojan. Juga mau photo-photo
bangunan tua," kata Murdwarsa Febriyanta yang kini bekerja di daerah Bumi
Serpong Damai Tangerang ini.
Senada
dengan Asih Yanti Rahayu, rela datang dari Ciganjur mengikuti Jelajah Kampung
Pekojan karena ingin mengasah pengetahuannya mengenai Pekojan. "Gue baru
pertama kali jalan kaki ke daerah Pekojan.
Sebelumnya
belum pernah sama sekali," ungkap perempuan berdarah Sumatera Utara ini.
Kegiatan itu dipandu langsung oleh relawan Komunitas Historia Indonesia bernama
Dimas Ekamitra Nugraha.
Bermodalkan
alat pengeras suara berupa toa', Dimas yang punya rambut lurus ini dengan
semangat yang menggelora, mulutnya terus berkoar-koar, mengeluarkan suara
lantang bak korlap demonstran jalanan.
Dimas
rela melakukan ini di bulan ramadhan karena dia memberikan penjelasan singkat
mengenai sejarah keberadaan Pekojan, Kota Tua kepada seluruh peserta. Jelajah
dimulai sekitar jam tiga sore.
Di
awali di gedung Museum Bank Indonesia. Cuaca saat itu sudah reda, tak lagi
merintikan air hujan sehingga para peserta pun berbahagia karena dapat
merasakan kebahagiaan acara Jelajah Kampung Pekojan ala Komunitas Historia
Indonesia.
Untuk
menikmati geografis Pekojan tidak dimodali alat kendaraan, semuanya wajib
berjalan kaki. Lagi pula jalan kaki bersama-sama ke Kampung Pekojan itu mampu
menghilangkan rasa kantuk dan capek di bulan ramadhan.
Sebelum
masuk ke kawasan Pekojan, para peserta melewati terlebih dahulu pusat Kota Tua.
Di antaranya melewati bangunan bertingkat yang gagah dan megah.
Bangunan
ini dahulunya disebut sebagai tempat perkantoran lembaga keuangan bank di jaman
Hindia Belanda.
Kondisi
bangunan sudah tak lagi berfungsi, bangunan tampak tua renta, tak terpakai,
namun struktur bangunanya masih utuh dan masih kokoh.
Selain
itu, juga tampak beberapa bangunan rumah yang memancarkan arsitektur campuran
dari budaya Tiongkok, budaya Belanda, dan melayu.
Namun
sayangnya, rumah-rumah ini sudah tidak ada yang berpenghuni. Alhasil, rumah pun
tampak tak terawat, cat-cat sudah terkelupas hanya lumut yang menyelimuti
bangunan.
Rumahnya
terasa magis, terlihat angker menyeramkan namun beraura eksotis. Usai melewati
kawasan itu, peserta pun mulai masuk ke Jalan Tiang Bendera atau yang bahasa
Belandanya Malaischeweg.
Daerah
ini, sejarahnya dahulu ditempati warga negara yang berketurunan Tionghoa.
Pemukiman penduduk kawasan Batavia (Jakarta) di jaman pemerintahan Hindia
Belanda kala itu di kotak-kotak-kan atau eksklusif sesuai dengan etnis suku
tertentu.
Mereka
yang etnis Tiongkok harus tinggal di komplek Tionghoa, begitu pun mereka yang
keturunan Arab, diwajibkan tinggal di pekampungan Arab. "Bendera apa (pola
desain) yang dikibarkan tidak tercatat dalam sejarah.
Tapi
yang pasti, berdasarkan bacaan buku sejarah yang saya baca, peristiwa
pengibaran bendera pada tiang di daerah ini benar-benar ada," ungkap
Dimas, relawan Komunitas Historia yang memakai kaca mata minus ini.
Nah, kemudian diberi nama Jalan Tiang Bendera karena
dahulunya di tempat ini ada tiang bendera yang berfungsi sebagai simbol
dimulainya penerapan pajak oleh pemerintah.
Kebijakan
ini diterapkan oleh seorang pemimpin daerah tersebut, yang disebut dengan
kapiten. Bila kapiten ini telah mengibarkan bendera di tiang tersebut, maka
warga harus siap-siap menyetorkan pajak ke pemerintah.
Tidak
jauh dari daerah Jalan Tiang Bendera, sekitar setengah kilometer maka mulailah
para peserta masuk ke kawasan Kampung Pekojan.
Memasuki
kawasan ini bisa dikenali dari keberadaan bangunan rumah ibadah kuno umat
muslim yang masih berdiri gagah dan masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan
kegiatan sosial.
Bangunan
yang dimaksud ini adalah Masjid Al Anshor yang berada dibilangan Jalan
Pengukiran II. Kawasan ini dahulunya komplek pemukiman penduduk Arab.
Perlu
diketahui, berdasarkan catatan Asep Kambali seorang sejarawan dan penggiat
Komunitas Historia, bahwa orang-orang Islam dari India dan Arab diatur di
perkampungan Koja (Pekojan).
Kala
itu, orang-orang Islam dibebaskan untuk mendirikan masjid, dan para ulamanya
dibebaskan untuk menggelar pendidikan agama dengan syarat
kurikulum pendidikannya tidak berisi hasutan untuk memerangi dan membenci VOC.
Kondisi
sekarang, di tahun 2014, suasana perkampungan Arab sudah tidak mengental. Sebab
sebagian besar bangunan-bangunan yang berdiri di daerah ini sudah beragam,
tidak lagi mencerminkan perkampungan Arab, sudah banyak berdiri ruko
bertingkat, dan rumah-rumah bergaya modern.
"Sekarang
ini masyarakatnya sudah tidak lagi terkotak-kotak. Sudah berasimilasi,
budayanya sudah bercampur dengan suku-suku lain," ujar Dimas.
Walau
demikian, di kampung Pekojan ini masih menyisakan kesan memori era tahun
1970-an. Ini dibuktikan dari masih banyaknya tukang gerobak air beredar di
Pekojan, berjualan air tawar mentah dengan berjalan kaki mendorong gerobak,
menawarkan air dari rumah ke rumah warga.
Tukang
gerobak air ini bisa mengangkut sampai 12 jerigen air di gerobaknya, sungguh
keras perjuangan ekonominya. Selain Masjid Al Anshor, para gerombolan Komunitas
Historia pun mengunjungi Masjid An Nawier dan Masjid Roudah yang tak jauh dari
lokasi Masjid Al Anshor.
Kemudian
juga menuju ke arah Masjid Zawiyah yang berada di Jalan Pekojan Kecil II dan
terakhir di Langgar Tinggi, sebuah bangunan langgar berlantai dua yang dibangun
pada tahun 1829 masehi oleh kapiten Arab, bernama Syeikh Said Naum.
Bersama-sama menjelajah Kampung Pekojan pada Sabtu 12 Juli 2014. Di tempat ini dahulunya kampung khusus warga yang berasal dari bangsa Arab dan India. (Photo by budi susilo) |
Setelah puas memandangi panorama kampung Pekojan, gerombolan Komunitas Historia pun kembali mengarah ke Museum Bank Indonesia melalui Pasar Pagi yang ramai dan semrawut.
Hari
mulai sore, awan sudah agak gelap, jarum jam sudah mau menunjukan ke angka
lima, para peserta yang berpuasa pun akan bersiap-siap berbuka, membatalkan
ibadah puasa di jam maghrib nanti.
Setiba
di Museum Bank Indonesia, pejalan kaki Kampung Pekojan bergabung bersama
anak-anak yaitum piatu, yang berjumlah 100 orang. Bercampur baur dengan
anak-anak yatim piatu merasakan senja ramadhan.
Gelaran
Jelajah Kampung Pekojan juga diselingi kegiatan sosial berbuka puasa bersama
anak-anak yatim piatu dengan menu kegiatan belajar sejarah, dongeng cilik oleh
Kak Ariyo Zidni, tausiyah religi Islam yang disampaikan oleh Ustad Ali Limau.
Selain
itu juga ada acara quis berhadiah, dan santap berbuka, dan pemberian bingkisan
ramadhan yang sumbernya datang dari sumbangan para relawan.
Selain
Komunitas Historia, kegiatan ini juga didukung penuh oleh lembaga Museum Bank
Indonesia, komunitas @MakelarSedekah, komunitas @PcintaAnakYatim dan komunitas
@berbaginasiJKT.
Mengikutsertakan
anak-anak sampai puluhan lebih, sebab kedepannya mereka ini adalah generasi
muda bangsa Indonesia. Untuk itulah, dimulai sejak dini, anak-anak harus sudah
dikenali sejarah Indonesia agar mereka nantinya tidak buta pada bangsa dan
negaranya sendiri.
Satu
hal penting lagi, meminjam ungkapan bijak dari seorang penggiat Komunitas Historia,
Kang Asep Kambali bahwa, "Untuk menghancurkan
suatu bangsa, musnahkanlah ingatan sejarah generasi mudanya." Apakah mau
seperti ini, tentu saja tidak. Let's make history ! ( )
Komentar
Posting Komentar