RASA NASIONALISME

Rasa Nasionalisme

BERKACA pada polemik penamaan Kapal Republik Indonesia (KRI) Usman Harun, dapat disimpulkan bahwa di negara sini (Indonesia), nama prajurit Usman dan Harun dianggap sebagai pahlawan negara yang bertaraf nasional.

Sementara di negara sana (Singapura), Usman dan Harun diakui sebagai penjahat teroris. Inikah sisi buruk dari sebuah konsep nasionalisme, dimana keberadaan planet bumi yang ditempati manusia ada batasan geografis, sehingga ada kotak-kotak berdasarkan kepentingan sistem kenegaraan nasional masing-masing.

Padahal manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi berbeda-beda suku, ras, dan jenis kelamin untuk hidup rukun, bersama-sama mendiami planet bumi, tetapi kenapa ternyata manusia harus hidup dalam pembedaan geografis berbentuk organisasi bernama negara.

(design by http://kepakgaruda.wordpress.com)


Garis pemisahnya beristilah batas nasional. Sifat rasanya adalah nasionalisme. Bola dunia yang didiami kaum insan terbentuk oleh sekat-sekat nasionalisme. Daerah satu sama lain berbeda, walau sekalipun warganya itu serumpun.

Berkaca pada Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Nama-nama negara nasional ini warganya satu rumpun. Hampir ada kemiripan satu nenek moyang. Namun ketiganya dibedakan, dikotak-kotakan oleh nasionalisme.

Sebenarnya melalui rasa nasionalisme, manusia terdorong untuk membangun negeri nasionalnya. Lebih luhurnya, ada yang melukis negaranya dengan perjuangan luhur. Melukis negaranya dengan pengabdian, dan melukis negaranya dengan keikhlasan.

Bahkan soal rasa nasionalisme, Raden Oto Iskandan Dinata1, pernah berpesan “...kalau ibu pertiwi memanggilmu untuk berbakti, kalian harus tanpa ragu-ragu memenuhinya. Sebab kalian adalah putra-putra dari ibu pertiwi.”

Namun sebagus itukah prinsip nasionalisme. Kiranya ini masih dipertanyakan. Melihat kasus yang terjadi pada belakangan ini, antara Indonesia dan Australia2, gara-gara atas nama nasionalisme hubungan keduanya retak, emosi tegang, saling curiga dan putus hubungan.

Padahal ada kalimat bijak dari Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Nasaruddin Umar bahwa “Semakin buruk silaturahim, semakin buruk pula kualitas dan martabat hidup manusia."3

Sejarah kelam akibat dorongan semangat nasionalisme juga tergambar dari hubungan Indonesia dan Singapura pada tahun 1965. Yakni dua prajurit Marinir Indonesia Usman Janatin bin Haji Ali Hasan dan Harun bin Said dihukum mati di Singapura karena dianggap merugikan negara nasional Singapura.

Bagi Indonesia ada penilaian tersendiri. Kedua prajurit Marinir tersebut dianggap sebagai pahlawan, walau cara pergerakannya melalui peledakan bom di Hotel Mac Donald House Singapura, dekat Stasiun Dhoby Ghaut, yang sebagian besar dihuni oleh warga Inggris4.

Tujuan peledakan tersebut, untuk membuat panik (sabotase) negara Singapura dan juga membuat kuping panas Malaysia dan Australia, yang notabene kesemuanya berada dalam ketiak negara nasional Inggris.

Padahal kalau menarik ke belakang, abad ke-6 sebelum masehi, cara perjuangan tersebut sungguh tak ciamik bagi filosof Sun Zi. Menurutnya, “untuk mengalahkan bangsa yang besar tidak dengan mengirimkan pasukan perang, tetapi dengan cara menghapus pengetahuan mereka atas kejayaan para leluhurnya, maka mereka akan hancur dengan sendirinya.”5

Lalu, andaikan bumi ini tak lagi tersekat-sekat oleh nasionalisme, apakah kemudian umat manusia akan terjamin hidup damai, tak ada lagi pertikaian antar negara. Bisa hidup dalam kebersamaan, satu bumi, dan satu keluarga, hidup satu rumah dalam planet bumi.

Sebagaimana pola pikir Tan Malaka dahulu, menginginkan adanya persatuan Asia dan Australia, namun ini rupanya hanyalah sekedar gagasan, impiannya itu tak terwujud, tak banyak orang yang mau menyetujui gagasannya, sebab dianggap utopia semata.

Jika saja konsep penyatuan dari Tan Malaka benar-benar terwujud, mungkin tak ada lagi kasus ketegangan antara Indonesia dan Australia, atau juga Malaysia dan Indonesia dengan Sipadan dan Ligitan.

Sebab itulah, sebenarnya nasionalisme bukanlah segalanya bagi manusia. Sebab nasionalisme itu hanyalah kendaraan untuk menempuh jalan berkeadaban manusia.

Nasionalisme adalah sumber api cinta, yang mengandung rimbunan kerahmatan bagi semua alam. Dan nasionalisme itu, seyogyanya nasionalisme yang bercakrawala luas. Tujuannya untuk kebaikan, dan bukan penghancuran kehidupan.

Sikapi rasa nasionalisme dengan balutan akal rasional dan di pupuk dengan keluhuran. Jauhi pandangan nasionalisme sempit (chauvinisme), jika kita semua menginginkan planet bumi ini aman dan damai, tak terpeleset ke jurang peperangan dunia, yang saling memangsa satu sama lain bak kiamat dunia. ( )





1 Oto Iskandar Dinata pria kelahiran 31 Maret 1897 di Bojongsoang Kabupaten Bandung yang merupakan Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
2 Persoalan penyadapan intelejen Australia kepada pejabat-pejabat tinggi Indonesia melalui sambungan telepon yang terjadi di akhir tahun 2013.
3 Majalah Gatra, Silaturahim, edisi 23 Mei 2013 halaman 80.
4 Aksi Heroik Asal Mula Nama KRI Usman Harun http://www.tempo.co/read/news/2014/02/06/078551788/Aksi-Heroik-Asal-Mula-Nama-KRI-Usman-Harun
5 Buku Sun Zi, Sun Zi Bingfa (Art of War), Chinese to english by Lionel Giles, M.A. (1910)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN