GANTUNG
Gantung
BELAKANGAN
ini manusia di berbagai daerah di Indonesia sering diledek oleh iklim. Seakan
manusia telah di ‘gantung’ oleh perubahan iklim yang tak menentu.
Tidak
bisa ditebak, apakah sudah masuk musim kemarau, atau musim penghujan. Kadang
hujan turun deras, tetapi tiba-tiba bisa saja cuaca bisa mengalami panas, sulit
diprediksi.
Maklum
saja akibat dari semakin parahnya pemanasan global, membuat iklim berbalik
‘marah’, manusia terus ‘diejek’, selalu di ‘gantung’ oleh iklim yang dalam teori
ilmu geografi memiliki sifat dimensi waktu yang panjang.
![]() |
(repro by budi susilo) |
Dan bagi
manusia, sebenarnya ini tak semestinya disesali dan langsung menuduh buruk pada
iklim, sebab hujan atau panas adalah hal yang alamiah.
Yang
penting bumi harus dikembalikan lagi, menjadi tetap lestari. Segala
tindak-tanduk manusia mengukurnya dengan keharmonisan pada lingkungan alam;
pohon, tanah, langit, dan air.
Bicara
kata “gantung” di Indonesia sudah sering terdengar. Telah merebak ke berbagai
sudut-sudut kota hingga desa. Juga di warung-warung kopi hingga di forum
perguruan tinggi.
Yang
paling ramai lagi, usai pentolan di lembaga Mahkamah Konstitusi ketahuan melakukan
korupsi bersama legislator dan pemerintahan tingkat eksekutif Banten.
Sebelum
kejadian itu, kata “gantung” juga pernah mendadak meledak. Maksudnya bukan
meledak dari ledakan bom yang sering dijumpai dan digarap oleh para personel
Densus 88 loh.
Namun
‘meledak’ disini adalah populernya kata “gantung”, yang dilontarkan langsung
oleh politisi kawakan bernama A’U (Anas Urbaningrum) yang di tahun 2013 jadi
tersangka korupsi Hambalang.
“Satu
rupiah saja Anas korupsi Hambalang, maka Anas siap digantung di Monas.” Yah, beginilah bunyi opini kala itu, yang telah
didengar oleh banyak orang.
Ibarat
tumbuh satu, tumbuh seribu. Usai ada lontaran opini dari Anas itu, langsung
kata gantung merebak kemana-mana, baik itu disampaikan dalam kalimat canda
sehari-hari, maupun dalam pembicaraan forum-forum serius diskusi.
Ya, itulah
cerita di tahun 2013, tetapi kini di tahun 2014 sepertinya kata gantung akan
tetap terus berkibar. Menggelorakan kata gantung bagi koruptor akan terus
diperjuangkan oleh mereka orang-orang yang benci pada korupsi.
Mereka
yang kesal, muak, dan merasa dirugikan oleh korupsi, menginginkan hukuman
gantung bagi para terpidana korupsi. Entah itu pria atau wanita, tak memandang
suku dan agama, jika memang terbukti korupsi maunya diberi hukuman
seberat-beratnya.
Jangan
tebang pilih, bagi mereka yang secara nyata terbukti korupsi beri hukuman
gantung guna ada efek jera dan fungsi hukum berarti bisa ‘berbicara’ baik,
sebagaimana cita-cita negara ini yang dibangun berdasarkan hukum, bukan pada
landasan negara kekuasaan (politik).
Tapi
lagi-lagi, hukuman gantung bagi para koruptor sekedar luapan emosi saja karena
korupsi dinilai telah menciptakan ketidakadilan bangsa, merusak sendi-sendi
kehidupan.
Hukuman
gantung di Indonesia juga cerita takhayul. Pasalnya, negara Indonesia secara
hukum formil tak mengatur mengenai hukuman mati berupa digantung hidup-hidup.
Kehadiran
KPK (Corruption Eradication Commission’s)
di negeri ini ada semacam secercah harapan dalam membangun bangsa yang lebih
beradab dengan pondasi-pondasi integritas, cerdas, dan berbudaya.
Korupsi
diberantas, KPK bergigi, aksi korupsi tak ada lagi, maka ini adalah bagian
unsur-unsur dalam penerapan kalimat yang berbunyi penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sehingga
ketika negara sudah bersih dari penyakit korupsi, maka republik Indonesia tidak
saja hanya mengantarkan rakyatnya ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tetapi
lebih dari ini, rakyat Indonesia mampu dibawa masuk ke dalam surganya
kemerdekaan. Sekali merdeka tetap merdeka ! ( )
Komentar
Posting Komentar