MALAM YOGYAKARTA PENUH CERITA
Malam
Yogyakarta Penuh Cerita
SUDAH sekian lama menunggu di dalam gerbong kereta
api, akhirnya waktu yang dinanti datang juga. Kami bertiga, saya (jongfajar),
Abdillah (Bedu), dan Ahmad Sofyan (Pyan) telah tiba di stasiun Lempuyangan, Kota
Yogyakarta, Jumat (29/11/2013) malam dengan selamat.
Alhamdulillah, raga dan barang bawaan kami
aman. Semuanya selamat sampai tujuan. Kami menempuh perjalanan memakan waktu
yang panjang, hingga berjam-jam dari stasiun Senen Jakarta Pusat pukul 13.00
wib tiba di Yogyakarta sekitar pukul 23.00 wib.
Menuju ke Yogyakarta lewat jalur darat dengan kereta
api terbilang lumayan lama, hingga kami bertiga pun, di dalam gerbong kereta
api bisa puas berbicara berbagai hal. Dari soal sosial politik, aliran agama,
traveling, dan sampai persoalan cinta kaula muda.
Kawasan Tugu Yogyakarta sudah ramai oleh lalu-lalang orang, Sabtu (30/11/2013). Tugu ini menjadi ikon populer Daerah Istiwewa Yogyakarta (photo by budi susilo) |
Ketika tiba di stasiun Lempuyangan, penumpang yang
turun berjubel. Jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari. Mengingat orang-orang
yang datang ke Yogyakarta diakhir pekan terbilang luar biasa jumlahnya.
Apalagi kami bertiga berkunjung ke Yogyakarta
bertepatan langsung dengan gelaran kopi darat para blogger nusantara. Alhasil, kota istimewa ini dipadati manusia dari
berbagai penjuru daerah.
Keluar dari komplek stasiun, kami bertiga berunding
mengenai alat transportasi yang akan digunakan menuju kawasan Jalan Sosrowijayan
Wetan, Kota Yogyakarta, tempat menginap kami bertiga.
“Kita naik taxi saja. Nanti kita borong supaya bisa
dapat harga murah,” usul Bedu. Namun saya pun menimpal, lebih baik naik motor
Ojeg[1]
lebih murah. “Naik Ojeg pasti lebih murah,” kata saya. Sementara, Piyan pun
tampaknya lebih memilih apa saja. Prinsip dia, apa pun itu kendaraanya diterima
dengan lapang dada.
Akhirnya keputusan kami bertiga naik Ojeg. Saya pun
yang mewakili untuk melakukan lobi tawar-menawar kepada pengemudi Ojeg. “Mas ke
arah Sosrowijayan berapa tarifnya ? Sepuluh ribu yah,” tutur ku.
Sedang berada di pekarangan sebuah rumah penduduk Kota Yogyakarta, Sabtu (30/11/2013) pagi. Keberadaan rumah khas jawa di Yogyakarta masih banyak. (photo by ahmad sofyan) |
Rupanya nasib belum beruntung. Tawaran harga saya
ditolak mentah-mentah. “Kalau ke alamat Sosrowijayan pasarannya Rp 15 ribu per
orang. Tidak bisa kurang lagi. Kalau kurang dari Rp 15 pasti tidak ada yang mau
antar,” tegas tukang ojeg.
Tanpa berdebat panjang, akhirnya kami bertiga pun
menerimanya. “Oke baiklah mas. Mana tukang ojeg lainnya, panggil lagi dua orang
mas, soalnya kami berjumlah tiga orang,” pinta ku.
Perjalanan dari stasiun kereta Lempuyangan ke Sosrowijayan
terbilang dekat jika naik kendaraan mesin bermotor. Mengingat lokasi
Sosrowijayan juga dekat dengan Maliobroro dengan luasan kampung kurang lebih
0,2 kilometer persegi.
Tadinya, kami bertiga berencana mau jalan kaki, namun
mengingat sudah larut malam dan belum dapat tempat penginapan maka kami bertiga
pilih naik kendaraan bermotor.
Jarak tempuh naik motor ke lokasi sekitar 10 menit
dengan kondisi jalan masih dalam keadaan ramai dan laju motor yang berada di
kecepatan sedang. Saya pun merasa lega bisa tiba di Yogyakarta.
Saya pribadi bangga, meski sudah larut malam kotanya
masih ramai. Arus lalu-lintasnya padat oleh beragam kendaraan dengan ditaburi
hiasan lampu-lampu malam yang penuh warna.
Saya juga sempat melihat beberapa orang,
berjalan-jalan malam dengan naik sepeda kayuh. Tak hanya itu, di
pinggir-pinggir jalan pun, masih banyak orang yang nongkrong di warung-warung kuliner khas Yogyakarta.
Setiba di komplek Sosrowijayan, tahapan selanjutnya
kami bertiga harus berjuang mencari tempat penginapan yang harganya terjangkau
dan strategis dengan jalan besar.
Karena bertiga datang larut malam, maka nasib kami kurang
beruntung. Semua tempat penginapan di kawasan ini sudah penuh. Padahal, jumlah
penginapan hampir ada ratusan, tetapi tetap saja banyak yang sudah penuh. Jika
pun ada yang kosong, harga per kamarnya berada di atas langit, berkelas atas.
“Kebanyakan harganya sudah di atas dua ratus ribu ke
atas untuk per malamnya. Bagaimana kalian mau ?,” kata Bedu. Saya pun protes,
lebih baik berusaha dulu, jangan menyerah cari ke tempat lain, siapa tahu ada
harga yang lebih sesuai dengan isi kantong. “Kalau kita tidak dapat tempat,
kita bisa tidur di pinggir trotoar saja, bagaimana? ,” usul saya.
Berpose di sebuah gang Kota Yogyakarta, Sosrowijayan, Sabtu (30/11/2013). Di tiap-tiap gang biasanya banyak ditawarkan tempat penginapan yang harganya sangat terjangkau. (photo by budi susilo) |
Lorong-lorong jalan, hingga menyusuri gang kecil yang
sempit, kami jelajahi. Sudah hampir 30 menit lebih kami berkeliling hanya untuk
mencari penginapan, namun tak membuahkan hasil. “Kalau tahu begini, pesan
jauh-jauh hari bisa ya,” sesal Bedu.
Untuk mempersingkat waktu, usul Bedu, masing-masing
berpencar mencari lokasi penginapan yang ideal. “Nanti kalau sudah ketemu kita
saling telpon, kumpul disini,” katanya.
Kontan, Piyan menanggapi negatif usul Bedu tersebut.
Mengingat Piyan baru pertama kali datang ke Yogyakarta, belum paham betul
dengan kondisi Kota Yogyakarta, makanya ia pun tak setuju. “Tidak usah. Kita
cari bareng-bareng saja, jangan berpencar, nanti malah sulit sendiri,”
tegasnya.
Mengingat perut sudah kosong, rasa lapar tak tertahan
lagi. “Lebih baik kita cari makan dulu baru nanti kita lanjut cari penginapan,”
tutur saya. Bagus juga, untuk mengumpulkan energi kembali. “Ya kita makan dulu.
Perut gue juga sudah lapar nih,”
ungkap Piyan.
Bukan restoran besar, apalagi rumah makan di hotel
berbintang. Kami bertiga lebih memilih jajanan kuliner yang berada di pinggiran
jalan kawasan Malioboro. Namanya angkringan
yang menjajakan nasi kucing. Rasanya sedap, murah, dan lumayan bisa buat perut
kenyang.
Cukup mengeluarkan uang Rp 5 ribu kita dapat nasi dan
lauk-pauknya. Dan tambahan juga minuman teh hangat seharga Rp 2 ribu, semakin
membuat rasa lapar kami hilang, energi pun kembali bangkit.
Usai santap malam di angkringan Jalan Malioboro, kami
bertiga lanjut mencari lokasi penginapan. Berjalan kaki susuri lorong jalan,
sambil berharap bisa membakar kalori di tubuh kami yang baru saja kami isi
dengan makanan berat.
Sekitar jam 00.30 wib, Sabtu (30/11/2013), akhirnya
kami bertiga dapat menemukan tempat penginapan yang cocok sesuai selera isi
kantong. Tempatnya bagus, meski berada di gang kecil. Untuk sewa kamar harganya
kena harga Rp 190 ribu per malam.
Harga tersebut pendapat kami terbilang murah. Sebab
per kamar bisa disi oleh empat orang karena ada ranjang bertingkat, dengan
fasilitas kasur busa dan spring bead.
Selain itu, ada juga televisi 14 inchi dan dua kipas angin.
Bagi yang mau bersih-bersih badan, di kamarnya sudah
tersedia kamar mandi yang bersih dan indah, walau ukuran kamar mandinya hanya
sekitar 3x2. Air kamar mandi bersih jernih. Di ruangan kamar mandi pun
dilengkapi kaca cermin dan kipas sirkulasi udara.
Tempat yang dimaksud adalah 105 Homestay, yang berada
di gang sepanjang jalan Sosrowijayan. Di tempat ini, kita disuguhkan sarapan
pagi dengan tambahan teh manis hangat untuk per orangnya.
Bicara lokasi, tempat penginapan ini terbilang
strategis, dekat dengan jalan besar Sosrowijayan, apalagi dengan Jalan
Malioboro bisa ditempuh hanya berjalan kaki dengan waktu kurang lebih 10 menit
saja.
Pagi para pengembara, atau backpacker, tentu saja tempat ini termasuk golongan penginapan yang
sangat baik, mampu memberikan kepuasan yang maksimal.
Rasa syukur yang mendalam, akhirnya kami dapat
beristirahat dengan nyaman dan tentram. Dan ketika melihat ranjang, tanpa
sungkan kami bertiga langsung cuci kaki, gosok gigi, dan langsung merebahkan
diri agar energi kembali terkumpul.
Sebab esok harinya, kami bertiga punya rencana
jalan-jalan keliling Yogyakarta, ke Gunung Merapi, Candi Prambanan, Pantai
Baron, dan Pantai Indrayanti serta Keraton Kesultanan. ( )
[1] Ojeg jenis tranportasi kendaraan roda dua yang bisa disewa untuk
mengantar jemput dengan harga yang bisa ditawar sesuai kesepakatan antara
penumpang dan pengemudi Ojeg.
Komentar
Posting Komentar