KUMIS

Kumis

BAGI sebagian pria, kumis itu asesoris fisik yang kadang harus melekat. Kumis yang tercitra dalam diri seorang pria, bak mantra yang memancarkan pesona. Guna diidentikan sebagai pria yang tampil beda dan penuh gaya, gagah perkasa.

Lihat saja, pemimpin revolusi Rusia, Stalin dan Lenin berkumis tebal. Pemimpin Nazi Jerman pun juga berkumis. Lalu siapa lagi ? Ouh, ilmuwan atom ternama, Albert Einstein juga pelihara kumis.

Di Indonesia ada tokoh-tokoh publik seperti Roy Suryo, Rano Karno, Fauzi Bowo, Warkop Indro, almarhum Benyamin Sueb, dan tidak ketinggalan wanita yang juga artis dangdut kelahiran Indramayu, Iis Dahlia punya kumis meski tipis.

Dua pria tak berkumis dan pria berkumis pasang gaya (photo by alid poter)
Bagi pria, kumis itu simbol. Fungsinya banyak ragam, antara lain menciptakan keindahan wajah, menambah kepercayaan diri, dan memberi merk diri. Makanya tidak heran, iklan-iklan penumbuh bulu di media massa pun membanjiri, berharap bisa meraup rupiah di bisnis obat ini.

Mereka yang punya kumis, tentu akan terbawa pisikologi sebagai seorang pria sejati. Inilah yang ditunjukan oleh Andi Malarangeng, pria berkumis tebal ketika tersandung kasus dugaan korupsi wisma atlet di Hambalang Bogor.

Semenjak dirinya dinobatkan sebagai pengamat politik Indonesia ternama hingga sampai sekarang menjadi mantan menteri Pemuda dan Olah-raga, kumisnya selalu melekat di atas bibirnya yang selalu menebarkan ramah senyum.

Entah itu pengaruh dari kumisnya yang hitam, ia pun selalu bersikap jantan, rela untuk ditahan, dipenjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia dengan sikap kesatrianya, siap menghadapi itu semua, sebab meyakini apa yang ia lakukan selama ini tidaklah berkorupsi.

Menyinggung soal korupsi, sebenarnya bukan penyebab dari kumis, walau kumis itu sering di asosiasikan ke orang yang pemberani dalam segala hal, baik itu dalam tindakan baik dan buruk.

Tidak ada sangkut paut antara kumis dengan tindakan pidana korupsi. Kumis hanya sebatas kumis, yang dipercaya mendongkrak rasa berani, jantan, dan memberikan atmosfir wajah rupawan.

Dorongan berkorupsi bukan karena semakin lebatnya bulu kumis. Tumbuh suburnya kumis tidak mempengaruhi orang untuk berbuat buruk, apalagi sampai mengidentikan pada perbuatan jahat yang merusak. 

Ini seperti halnya yang pernah tercitra dalam adegan film Pemberantasan Gerakan G30S PKI, yang sorotan kameranya menggambarkan spesifik kumis tebal yang dimiliki oleh aktor antagonisnya, di dalam sebuah rapat kudeta politik.

Sebenarnya, bila mau tahu, orang berkorupsi itu karena godaan dari posisi dan status pejabat publik di tataran paling elit. Semakin kuat kekuasaannya, maka peluang korupsinya semakin leluasa.

Ada baiknya, untuk mencegah hal itu, mengambil langkah tepat. Caranya tentu tidak memangkas kumis seseorang, apalagi harus memaksa orang untuk tidak memelihara kumis. 

Terobosan terbaik, benahi sistem pengawasan dengan cara ketat di setiap jabatan publik. Jangan terus dibiarkan atas lemahnya kontrol para pejabat publik di negeri ini. 

Lemahnya ‘pengekangan’ diri para pejabat publik harus ditiadakan. Jika tidak mau membenahi hal ini, tentu saja siap-siap nanti gigit jari, kiamat akan mendekati, dan menghancurkan segalanya. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN