RUMAH BETAWI JAKARTA
Gayanya Mirip Joglo Jawa
Oleh: Budi Susilo
RUMAH
kebutuhan pokok terpenting makhluk hidup, seperti manusia. Sebab selain sandang
dan pangan, rumah itu berfungsi sebagai pendukung kelanjutan hidup. Tanpa
papan, manusia hidupnya akan mengalami kesulitan yang tak kunjung-kunjung
padam.
Jika
tanpa rumah, kala hujan deras dan angin kencang, manusia akan kehujanan. Badan
basah kuyup, dingin menggigil, fisik akan rentan terhadap penyakit flu atau
masuk angin.
Andai
manusia tanpa rumah, saat cuaca panas terik oleh matahari tubuh manusia akan
tersengat ultra violet. Kulit menjadi hitam kusam juga akan terkena penyakit
kanker kulit yang membahayakan kelangsungan hidup.
Membangun
rumah sebenarnya tidak perlu besar-besar megah nan mewah. Membangun rumah
sesuai keperluan ala kadarnya. Membangun rumah sesuai kemampuan manusianya.
Membangun rumah itu juga bisa sesuai selera pemakai dengan mengkombinasikan
aturan hukum formil[1] yang
berlaku.
Mendirikan
rumah itu yang terpenting aman, nyaman, tentram untuk dihuni. Mendirikan rumah
ada baiknya berkonsep ramah lingkungan, indah dipandang dan memberikan aura
positif bagi penghuni dan orang-orang sekelilingnya.
Rumah
ada dibantaran kali sungguh tak elok. Rumah dibangun pada pinggiran rel kereta
api itu mengganggu ketertiban umum. Begitu pun membuat rumah di pemukiman warga,
jika tak sesuai dengan hukum formil berlaku, sama saja dengan egois,
sepantasnya harus hidup di hutan belantara.
Itulah
rumah, terlihatnya seperti urusan sepele, namun jika ditelaah lebih mendalam,
mendirikan dan merawat rumah itu butuh keseriusan, jangan anggap enteng.
Soal
mendirikan bangunan rumah, suku-suku penduduk di Indonesia memiliki ciri khas
sendiri. Masing-masing mempunyai perbedaan dan ada juga kesamaan, sebab
percampuran kebudayaan atau asimilasi[2]
di Indonesia sudah terjalin lama.
Termasuk
rumah suku adat Betawi yang mendiami Jakarta Ibukota Republik Indonesia. Suku
betawi sejak dahulu sudah dikenal sebagai komunitas kampung nelayan kecil jaman
kerjaan Hindu Tarumanegera pemerintahan Purnawarman.
Suku
Betawi[3]
memiliki peradaban berupa bangunan rumah yang memiliki karakteristik tersendiri
meski sudah beradaptasi dengan budaya-budaya lain seperti dari Jawa, Cina, dan
Eropa.
Secara
sekilas, tampilan rumah Betawi lebih mirip adat Jawa bernama Joglo[4].
Tetapi jika ditelisik mendalam, ada perbedaan mendasar dengan rumah adat
Jawa.
Bedanya,
rumah Betawi itu di dalamnya tidak ada pembagian ruangan dan balok-baloknya
tidak sebagai penyangga atap rumah. Lebih dikesankan meluas tanpa tiang-tiang
penyangga.
Bahan
bangunan rumah Betawi lebih banyak dari kayu-kayuan yang banyak tumbuh di bumi
Betawi seperti nangka, sawo, kecapi,bambu, sabut kelapa, dan pohon sagu.
Lantainya juga dibuat rata mulus dengan semen. Ini dimaksudkan agar nyaman
untuk ditempati.
Pada
bagian depan pintu rumah Betawi ditandai dengan ciri yang meluas. Teras depan
pintu rumah hampir dibuat serupa dengan luasan pekarangan depan pintu gerbang
rumah yang begitu lapang, agar bisa difungsikan untuk tempat bersantai atau
menerima tamu.
Bagi
warga Betawi, teras depan pintu rumah tersebut dinamai Langkan. Bernada atau Langkan
ini selalu ada, mengingat jaman dahulu, orang-orang Betawi memiliki lahan tanah
yang lebar.
Di Langkan itu, biasanya terdapat sebuah Bale. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia memiliki arti tempat duduk. Ditempat inilah, biasanya disaat pagi
hari atau sore, sebagai tempat nongkrong,
berbincang-bincang berbagai hal.
Selain
itu, ‘Jendela Bujang’ juga dimiliki
rumah Betawi. Keberadaannya ada di antara pintu rumah, sisi kanan dan sisi kiri, menghadap langkan.
Filosofisnya,
‘Jendela Bujang’ ini berfungsi sebagai media komunikasi seorang lelaki lajang
kepada seorang gadis yang ada di dalam rumah. Istilahnya sebagai sarana untuk
‘pacaran’ bagi kaula muda. Pria ngapel
ke rumah wanitanya, berbincang-bincang di jendela kamar rumah perempuan
pujaannya.
Sementara,
interior ruangan rumah joglo Betawi tidak seperti rumah joglo Jawa. Bedanya,
rumah joglo Betawi itu tidak terbagi dalam petak-petak ruangan secara detail,
sementara di masyarakat Jawa ada.
Untuk
konstruksi rumah joglo Betawi menganut konsep Tou Kung Cina. Yakni siku penyangga pada atap teras menyerupai khas
aristektur Cina. Jika menurut Gin Djin Su[5],
Tou Kung adalah sistem penyangga
kantilever bagian teras. Tanda ini dapat dilihat dari arah luar. Contohnya pada
bangunan istana, kuil, atau rumah tinggal orang laya.
Belakangan
ini, model-model rumah Betawi sudah sulit ditemukan. Gaya arsitektur
rumah-rumah orang Betawi sudah bermodel pada umumnya, modern minimalis, sudah
tak tampak lagi persis model rumah Joglo Betawi.
Keberadaan
rumah Betawi masih bisa ditemukan hanya di wilayah-wilayah tertentu. Seperti di
komunitas masyarakat budaya Betwai di Setu Babakan, atau Danau babakan yang
berlokasi di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.
Di
daerah lain juga masih ada seperti di Pasar Rebo, Kali Sari dan Marunda yang
menyuguhkan rumah bertingkat Pitung. Agak unik untuk rumah pitung yang satu
ini, pasalnya rumah bermodel panggung mirip orang-orang di Minahasa Sulawesi
Utara dan Minang Sumatera Barat.
Rumah
Pitung berwarna merah yang memiliki ketinggian 20 sampai 30 centimeter. Rumah
ini sekarang hanya dijadikan bukti konkrit warisan budaya asli Betawi.
Banyak dari segala penjuru berwisata ke rumah ini setiap harinya, karena ingin melihat langsung pelestarian budaya Betawi tersebut.
Banyak dari segala penjuru berwisata ke rumah ini setiap harinya, karena ingin melihat langsung pelestarian budaya Betawi tersebut.
Merasa
penasaran dengan rumah si Pitung ? Buktikan dan saksikan sendiri secara
langsung yang berada dibilangan alamat Jalan Marunda Pulo RT 01/07 Kelurahan
Marunda Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. (
)
[1] Sertifikat tanah, Ijin Mendirikan Bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan
[2] Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan
hilangnya ciri khas kebudayaan asli dan akhirnya membentuk kebudayaan baru (wikipedia)
[3] Sebutan betawi diambil dari kata Batavia yang penamaan ini dari
pemerintahan Hindia Belanda kala berkuasa di Jayakarta (ensiklopedi profil
Jakarta)
[4] Penyebarannya ada di Jawa, Pulau Madura dan Pulau Bali (wikipedia)
[5] Gin Djin Su, 1964. Chinese
Architecture, Last and Contemporer, Hongkong: The Sinpoh Amalgamated ltd.
Komentar
Posting Komentar