MEMBONGKAR PRAGMATISME

Membongkar Pragmatisme 

ADA satu hal yang menarik kala itu, Rabu (18/9/2013), di Bentara Budaya Jakarta, tokoh intelektual muslim Syafii Maarif dalam dialog kebudayaan menegaskan, bangsa yang menghilangkan kebudayaan berarti bangsa tersebut sedang menggali kuburannya sendiri.

Ada benarnya juga dari pendapat Buya Syafii tersebut, sebab budaya itu cerminan hasil akal budi pekerti suatu masyarakat. Anehnya, kadang bangsa ini lupa dalam memperhatikan nilai-nilai budaya yang hidup di negara ini. 

Dialog Kebudayaan di Palmerah Jakarta disampaikan oleh jurnalis, politisi dan intelektual muslim (photo by budi susilo)

Sederhana saja menurut saya, koleksi benda-benda bersejarah yang bermuatan budaya tinggi peninggalan jaman kerajaan nusantara dapat lenyap dicuri oknum-oknum tertentu. Padahal barang ini tersimpan dalam sebuah museum nasional.

Contoh itu adalah pertanda, bahwa bangsa ini tidak terlalu menganggap penting karya budaya sebagai pondasi kehidupan bernegara. Benda bersejarah itu seakan sebagai barang kuno, hal masa lalu, tidak lagi sesuai dengan modernitas. Tentu saja, menurut saya ini langkah yang salah.

Lainnya lagi, para politisi pun banyak yang melenceng, melanggar norma-norma karena tidak memiliki budaya yang agung nan luhur. Buya Syafii menggambarkan, ulah atau tindak-tanduk orang jaman sekarang sudah sangat memprihatinkan. Jika mantan Wakil Presiden pertama Indonesia Muhammad Hatta masih hidup, tentu ia akan marah besar.

Bagi Syafii, budaya itu bagian dari seni. Bila ditelisik lebih mendalam makna seni adalah sesuatu yang indah. Jika seseorang tidak memiliki seni maka orang tersebut hidupnya tak berbudaya, tidak memiliki keindahan. 

Senada, seorang politisi di negeri ini, Fadhli Zon, memiliki pendapat bahwa budaya bagian dari seni dan seni itu adalah rasa. Ungkapan rasa itu memunculkan sifat kejujuran. Karenanya, dalam berpolitik itu perlu adanya seni agar indah. 

Pria kelahiran Jakarta 1 Juni 1971 tersebut pun menganjurkan, orang-orang baik yang berbudaya, harus masuk ke dunia politik. Mengingat politik sekarang sudah cenderung kepada lubang oligarki. Untuk mencegah oligarki ini, orang-orang baik harus masuk ke politik, untuk melawan orang-orang politik kotor. 

Pendapat Zon, berbicara budaya, media massa sebenarnya turut memberikan andil penyebaran budaya, terutama budaya lokal asli Indonesia. Melalui media akselerasi budaya begitu cepat. 

Budaya lokal kita kalah dengan budaya dari luar. Seperti K-Pop, orang lebih menyukai budaya asal Korea ini ketimbang sisi budaya lokal, mengingat budaya dari luar mampu memberikan penyegaran, selalu ada inovasi-inovasi yang mampu diterima pasar. 

Di era industri media seperti sekarang ini, Zon menilai, budaya lokal kurang diangkat, sebab media berkiblat pada selera pasar dan lebih mengutamakan nilai komersil. Karena rating di sebuah media menjadi acuan penting bagi keberlangsungan media tersebut. 

Sementara sisi pandangan lain, dari kacamata jurnalis senior Kompas, St Sularto, negara ini harus melakukan dekonstruksi mental, melalui budaya yang adi luhur. Sekarang orang, terutama para politisi lebih cenderung pada hal-hal yang pragmatis.

Sebab itulah, solusi St Sularto, pragmatisme masyarakat bisa diobati melalui dialog-dialog berbasis budaya. Melalui dialog budaya orang akan mengerti akan nilai-nilai kehidupan dan terlebih membongkar pragmatisme itu perjuangan yang panjang dan sulit.

Ingat, saat jaman perjuangan kemerdekaan pejuang-pejuang negara memiliki semangat tinggi berkorban demi bangsa dan negara. Karena ada hal ini, para pejuang mampu menyadari dan mengikuti akan nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya.

Demikian instisari yang saya cerna dalam acara “Dialog Kebudayaan Kebangsaan” yang digelar di Bentara Budaya Jakarta Jalan Palmerah Selatan 17 sebagai agenda September 2013. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA