PASIR JEFRI UNTUK SANG ISTRI
TAMBANG PASIR SUNGAI BONE GORONTALO
Pasir Jefri untuk Sang Istri
Terik matahari jatuh di
perkampungan Bugis, Kamis (17/1/2013). Cuaca panas saat itu memang menyengat,
tak heran Jefri Pia (21) pun mencoba berteduh sejenak di bawah pohon rindang
dengan beralaskan pasir sambil menelentangkan kakinya menghadap sungai Bone.
Kesehariannya, kecuali hari
Minggu, pria ini menggeluti sebagai penambang pasir di sungai Bone, Kelurahan
Bugis Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Keberadaan
sungai ini sudah dikenal luas warga masyarakat Gorontalo sejak dulu, apalagi di
sungai ini juga dilintasi jembatan penghubung komplek kantor pemerintah
provinsi dengan pusat kota yang terkenal dengan sebutan jembatan Talumolo.
Aktivitas pencari pasir di sungai Bone kampung Bugis Gorontalo, Kamis (17/1/2013)_budisusilo |
Sungai Bone ini menyimpan limpahan
harta alam berupa pasir dan batu krikil, yang pemanfaatannya untuk bahan baku
pembuatan rumah, gedung dan jenis bangunan lainnya. Sejarah dulu, sudah banyak
orang yang mencari pasir atau krikil di tempat ini, membuktikan bahwa kualitasnya
memang bagus.
“Saya sih kerja disini masih orang
baru. Saya baru lima bulan, yang lain sudah ada yang puluhan tahun,” ujar Jefri
yang saat itu mengenakan kaus oblong kuning dan celana pendek.
Cari pasir di Sungai Bone itu
pilihan hidup yang diambil oleh Jefri, bukan paksaan dari orang lain, ia
melakukan atas dasar kemauan sendiri, demi menghidupi dirinya dan istri
tercintanya. Sebab akhir tahun 2012 dirinya telah melepas masa lajang.
“Penghasilan lumayan, bisa buat
makan, walau kadang-kadang sulit untuk nabung,” ungkap pria yang hanya lulusan
Sekolah Menengah Pertama di Kota Gorontalo ini.
Dalam sehari, hanya bermodalkan
perahu kecil dan satu ember kecil, ia rata-ratanya mampu mengumpulkan pasir
sebanyak 55 meter kubik. Itu pun syarat utamanya harus mencari pasir sejak
fajar terbit, dimulai pada pukul 07.30 Wita hingga selesai 16.00 Wita.
“Jam istirahatnya siang, saya isi
waktu dengan makan siang. Tapi kalau badan capek pegel-pegel, biasanya saya
banyak istirahatnya, tergantung kemampuan juga,” ungkap Jefri, yang memiliki
rambut hitam lurus ini.
Jembatan Talumolo I Kota Gorontalo yang melintas Sungai Bone, Minggu (3/3/2013)_budisusilo |
Berdasarkan harga pasaran di awal
tahun 2013, pasir sungai Bone itu dihargai Rp 30 ribu untuk ukuran per bak
motor Viar, sejenis kendaraan roda tiga. Tetapi kata Jefri, semakin banyak
memesan pasirnya, konsumen akan mendapatkan bonus harga yang lebih ringan.
“Kalau beli lebih dari 10 bak
Viar hitungannya bisa kena harga Rp 20 ribu,” urainya yang mengaku juga bahwa,
konsumen yang melirik pasirnya itu kebanyakan berasal dari wilayah Kota
Gorontalo saja, selebihnya dari Kabupaten-kabupaten di Gorontalo.
Ternyata susah-susah gampang
tekuni penggali pasir di sungai. Kesan inilah yang dialami Jefri, karena
susahnya bila masuk musim penghujan, air sungai meluap berarus kuat tidak bisa
mencari pasir.
“Jangan ambil resiko. Sungai
meluap bisa membahayakan diri, bisa hanyut tidak selamat nanti,” imbuh pria
kelahiran 12 Januari 1992 ini.
Juga kalau musim kemarau panjang,
air sungai mengering, tentunya pasir yang dikandungnya pun hanya terkumpul
sedikit. “Enaknya itu kalau sungai habis banjir meluap, pasti akan meninggalkan
pasir yang melimpah. Kalau kemarau itu sedikit pasirnya,” ujar Jefri.
Memindahkan pasir dari perahu ke daratan, Sabtu (22/12/2012)_budisusilo |
Namun banyak jalan menuju roma,
Jefri pun tak mati kutu bila kondisi Sungai Bone sedang tidak bersahabat.
Seperti sifat amphibi, Jefri pun enggan menjadi pengangguran kala Sungai Bone
sedang banjir dan mengering.
Sebab ia tetap berusaha sekuat
tenaga berjuang hidup untuk terus mengais rezeki di medan darat. “Kadang jadi
supir Bentor, atau juga jadi kuli bangunan. Yang penting dapur bisa mengebul,”
katanya.
Kisah pencari pasir lainnya
adalah dari seorang pria beranak lima, Adnan Dilo (48). Lelaki berkulit sawo
matang ini termasuk orang lama, yang paling senior. Ia melakukannya sejak tahun
1976, banyak kesan yang diperolehnya menjadi penambang pasir sungai.
“Bisa menghidupi istri dan lima
anak . Bisa sekolahkan, sampai SMA (Sekolah Menengah Atas). Ya, hidup mencukupi
saja, tidak lebih,” ujar Adnan.
Selama pengalamannya cari pasir,
ia peroleh kenang-kenangan pahit dari sungai Bone. Tubuhnya yang kekar diserang
penyakit gatal-gatal. Ini akibat dari ia menyelam cari pasir di sungai selama
berjam-jam. “Kalau malam badan itu rasa
gatal-gatal. Obatnya saya lumuri saja obat salep gatal,” katanya.
Mendorong perahu pengangkut pasir Sungai Bone, Sabtu (22/12/2012)_budisusilo |
Secara total keseluruhan
berdasarkan data sampai di Desember tahun 2012, warga yang bertempat tinggal di
Kelurahan Bugis berjumlah 5062 orang. Aktivitas pekerjaan warga yang
mendominasi Kelurahan Bugis adalah pedagang kecil dan nelayan.
Ditemui Herlina Djamalu, Kepala
Biro Ekonomi Pembangunan Kelurahan Bugis, mengatakan, berdasarkan cerita jaman
dahulu, orang yang pertama kali mencoba mencari pasir di Sungai Bone itu adalah
Djauhari Hulopi yang terjadi pada tahun 1962.
“Sekarang ini aktivitas penambang
pasir berkelompok-kelompok. Disini sudah ada tujuh kelompok, yang tiap
kelompoknya bisa di isi 10 sampai 20 orang,” urai perempuan kelahiran Kota
Gorontalo 24 Agustus 1972 ini.
Mereka melakukan kegiatan itu
tidak ada legalitas hukum yang resmi, sebagaimana ini diungkapkan oleh Agus
Ating, Kepala Sub Bidang Pengembangan Sumber Daya Lingkungan, Badan Lingkungan
Hidup Kota Gorontalo. Namun pihaknya hanya memberikan bimbingan dan imbauan
demi terciptanya lingkungan yang sehat dan aman.
“Kami selalu berikan sosialisasi,
edukasi ke mereka, supaya bisa juga menghormati dan menjaga lingkungan Sungai
Bone. Jangan sampai merusaknya bila tidak mau merugi,” tegas Agus.
Pasir dari Sungai Bone Gorontalo dikenal berkualitas bagus, Sabtu (22/12/2012)_budisusilo |
Antara lain imbuan yang
didengungkan ke mereka adalah soal jarak antara sumber kerukan pasir dengan
tepian pinggir sungai. Menurut Agus, pengaturan jarak antara tepian sungai dan
lokasi tambang perlu di atur agar tidak terjadi longsor tepian sungai.
“Kami perintahkan ke para
penambang agar ambil jarak pengerukan pasir sejauh lima meter dari garis tanggul
sungai, supaya tidak merusak bronjong yang sudah kami bangun,” tegas pria
kelahiran Bandung, 20 Agustus 1961 ini.
Kemudian, secara kebetulan,
tambah Agus, di sungai Bone terdapat jembatan Talumolo, maka penambang pun
mendapat peringatan agar tidak melakukan pencarian pasir yang berdekatan dengan
tiang pancang pondasi jembatan untuk menghindari rusaknya jembatan.
“Maksimalnya para penambang harus
menjauh dari sekitaran jembatan. Kira-kira jaraknya itu 300 meter. Kalau tidak
diindahkan, resiko jembatan bisa ambruk, karena daratan pondasi jembatan
terkeruk,” ungkap pria yang pernah bertugas di Dinas Pekerjaan Umum Toli-toli
Sulawesi Tengah ini.
Karena itu, untuk
mengantisipasinya, maka tidak bosan-bosannya BLH Kota Gorontalo selalu ingatkan
dan memberikan ketegasan dalam penegakan hukumnya. Bila ada yang terbukti
melanggar, tidak menghiraukan semua imbauan maka ancamannya adalah hukuman
pidana penjara dan denda.
“Dalam proses penegakan hukum,
kami sudah berkoordinasi dengan aparat kepolisian, bekerjasama dalam
menindaklanjuti jika ada yang langgar, yang membuat kerugian ke semua pihak,”
tegas Agus. ( )
Komentar
Posting Komentar