DEMOKRASI OTOT KUAT BAJA

Demokrasi Otot Kuat Baja 

Masuk tahun 2013, bagi Kota Gorontalo, provinsi Gorontalo ialah momen tahun politik. Di masa inilah, warga masyarakat Kota Gorontalo memilih nahkoda baru Wali Kota, yang puncaknya dilangsungkan pada 28 Maret 2013.

Satu hal benang merahnya, persoalan konflik fisik politik pragmatis sungguh rawan di momen ini. Bila sudah chaos di dalam pesta demokrasi ini, maka dampaknya akan berujung pada perpecahan antar sesama saudara sendiri. 

Reklame pengumuman jadwal pencoblosan pemilihan Wali Kota Gorontalo_budisusilo

Tak elok, andai Kota Gorontalo yang selalu diidentikan sebagai serambi Madinah, proses Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) berjalan ricuh, rusuh, dan meninggalkan gairah musawarah mufakat.

Sungguh sangat bertentangan, bila Pemilukada tak berjalan sesuai aturan berlaku, mengingat benci terhadap damai itu seolah bersebrangan dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya mayarakat di Gorontalo.

Malam itu, di acara debat kandidat calon Wali Kota Gorontalo di gedung Misfalah, Kamis (14/3/2013), nyaris saja terjadi keributan karena persoalan sepele.  

Massa antar pendukung juga tidak mau kalah, mereka saling bersahut-sahutan demi membela jagoannya yang maju di Pilkada. Inikah gejala demokrasi ‘ngotot’ yang lebih mengandalkan ‘otot kuat baja’.

Tensi jadi panas di gedung itu. Karena satu di antara pendukung dari partai kuning berteriak keras menyebut nomor “dua, dua, dua”. Kontan saja, merasa tidak ingin kalah ramai, satu di antara pendukung dari kubu calon independen pun berteriak lantang nomor “tiga, tiga, tiga”.

Kedua kubu ini memang berdekatan, saling bersebelahan. Dimulai oleh seorang pendukung dari pasangan calon nomor dua yang duduk di paling depan dalam barisannya. Orang ini meneriakan yel yel, “dua, dua, dua”, hingga sampai terdengar jelas di seluruh dalam gedung Misfalah.

Karena mungkin merasa tidak mau kalah, maka seorang pendukung dengan ciri fisik bertubuh tinggi besar menyambutnya dengan teriakan nomor tiga. Pendukung ini adalah dari kubu pasangan calon nomor tiga yang berlatar belakang dari non partai.

Tak ayal, aksi debat bacot tersebut membuat atmosfir gedung Misfalah tegang. Padahal, ini baru masuk sesi penyampaian visi misi dari calon Wali Kota partai Golkar yang bernomor dua. 

Para kandidat Calon Wali Kota Gorontalo di malam debat, Kamis (14/3/2013)_budisusilo

Untung saja, pihak keamanan dari Kepolisian Gorontalo bersikap profesional, sigap melihat kemungkinan akan terjadinya konflik tersebut. Para personel polisi pun langsung ‘turun tangan’ dengan mengkondisikan situasi agar kembali normal dan berjalan tenang.

Berdasarkan hasil kocokan yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Gorontalo beberapa waktu lalu, kubu partai Golkar yang digawangi Marthen Taha berpasangan Budi Doku mendapat simbol nomor dua. 

Mereka ini, Marthen Taha adalah seorang Ketua DPRD provinsi Gorontalo, sedangkan Budi Doku berlatar belakang praktisi dokter dan menjabat juga sebagai anggota DPD RI.

Sementara, pasangan yang bersimbol nomor tiga adalah incumbent Wali Kota Gorontalo bernama Adhan Dambea, yang dahulu dikenal sebagai politisi senior partai berlambang pohon beringin, Golkar Gorontalo.

Karena ada alasan perbedaan prinsip, ia hengkang dari partai Golkar dan mengambil jalan politik independen tanpa kendaraan partai politik. Ia kini berpasangan dengan Inrianto yang berasal dari kalangan pengusaha asal Gorontalo.

Sebenarnya, bersaing itu hal yang biasa, tapi kalau sudah menjurus pada persaingan tidak sehat, maka itu jatuhnya bukan luar biasa. Dan jangan dibiasakan, karena bisa membahayakan bagi seluruh umat di negara kesatuan Republik Indonesia.

Sebab proses pemilukada Kota Gorontalo, hanya jadi wadah atau sarana untuk menuju Kota Gorontalo yang lebih baik bagi semua masyarakatnya, tanpa diskriminasi, entah itu ia pendukung dari partai ini, atau dari golongan itu, semua dirangkul dengan asas kebersamaan.

Di dalam tulisannya (1930-an), Ke Arah Indonesia Merdeka, Muhammad Hatta menggagas, demokrasi itu berdasarkan prinsip hidup bersama, warisan nenek moyang bangsa Indonesia sejak berabad-abad lalu.

Bagi Hatta, kebersamaan dalam kehidupan politik berarti mengutamakan praktik musyawarah mencapai mufakat. Dan demokrasi politik itu, sesuatu yang berisi sebuah tatanan yang mengandung semangat kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.

Geliat kehidupan pusat Kota Gorontalo siang hari di Jalan Nani Wartabone, Sabtu (16/3/2013)_budisusilo

Karena itu, mari jaga Pemilukada Kota Gorontalo ini dengan damai antar sesama, meski berbeda pandangan politik. Gus Dur telah mempopulerkan, perbedaan itu sesuatu yang rahmat, jadi adanya perbedaan itu, adalah sebuah keuntungan bagi warga masyarakat Kota Gorontalo.

Berharap, proses Pemilukada Kota Gorontalo tidak mengalami kutukan demokrasi, seperti apa yang disinggung oleh ilmuan politik Machiavelli, yang kuat akan memangsa yang lemah dan yang lemah akan semakin punah. 

Pemilukada Kota Gorontalo harus jadi gerbong utama mewujudkan perubahan lebih baik bagi semuanya tanpa terkecuali, agar tidak timbul sebuah triani mayoritas di sepanjang sejarah perjalanan pemerintahan Kota Gorontalo tahun 2013 sampai 2018 nanti. ( )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA