MUSIM KEMARAU PANJANG MATA AIR BUTU MENGALIR

Musim Kemarau Panjang 
Mata Air Butu Mengalir
Oleh: Budi Susilo

Cuaca Lekobalo Kota Gorontalo siang itu mendung, langit sudah agak gelap pertanda akan turun hujan, Sabtu (22/12/12). Tapi Inang Mahmud (36), ibu rumah tangga, masih sibuk menuruni anak tangga sambil menenteng satu ember hitam berisi pakaian kotor, menuju mata air Butu yang ada di dataran rendah.

Bagi warga setempat, lokasi mata air Butu yang ada di alamat Kelurahan Lekobalo Kecamatan Kota Baru, Kotamadya Gorontalo, Provinsi Gorontalo dianggap seperti jantung kehidupan masyarakat karena menyediakan sumber mata air yang murni, jernih, aman dan berkualitas. 

“Mau cuci baju disni. Tiap hari cuci baju disini,” kata Inang sambil berjalan kaki mendekati sumber mata air Butu.

Setiap harinya, bila memungkinkan, Inang melakukan rutinitasnya di mata air Butu. Katanya, keberadaan mata air Butu itu bagai surga dunia Lekobalo, kehidupan jadi lebih hidup, nasib kelanjutan riwayat hidupnya bergantung sekali pada alam ciptaan Tuhan itu.

Warga menikmati kolam mata air Butu Kota Gorontalo pada Sabtu 22 Desember 2012. (photo by budi susilo)
“Disini airnya melimpah, bersih sekali. Saya bisa bebas manfaatkan tanpa harus bayar, tinggal pakai saja, tidak ada yang larang,” ungkapnya sambil mencelupkan pakaian kotornya ke air sebelum ‘dikucek’ pakai sabun.

Tidak hanya Inang yang menikmati mata air Butu. Ada puluhan orang yang datang, berlalu-lalang, bergantian memanfaatkan hingga tak dapat terhitung jumlahnya berapa orang. Satu di antaranya lagi, Pemi Ahmad (34), ibu rumah tangga, tiap harinya berbasah-basahan di mata air Butu. “Seringnya cuci baju, sama ambil air untuk minum,” urainya.

Pemi tanpa alasan pergi ke mata air Butu. Sebab baginya, air dari mata air Butu itu sangat spesial, keajaiban Tuhan yang perlu disyukuri dan dinikmati. Di kediaman Pemi ada kamar mandi tetapi hanya berfungsi untuk buang air besar dan kecil serta mandi saja. “Kualitas air di rumah tidak sebagus air yang di Butu sini,” katanya.

Untuk menempuh sumber mata air Butu, tidaklah sulit karena mudah dijangkau. Pasalnya lokasi strategis, berada persis di samping jalan besar kampung Lekobalo. Sumber mata air pun tertata, ada khusus pancuran air untuk minum, juga tempat berenang dan mencuci.

“Rumah saya dekat dari sini. Cukup jalan kaki sudah bisa dijangkau. Jarak dari sini ke rumah kira-kira ada 20 langkah,” urai Pemi, perempuan kelahiran Lekobalo ini.

Oleh pemerintah daerah, mata air Butu memang dibuat secara eksklusif, berupa komplek sumber mata air tawar di Kotamadya Gorontalo, penampungannya membentuk persegi panjang, layaknya tempat pemandian kolam renang komersil.

Hanya saja, untuk menuju lokasi harus menuruni anak tangga yang tidak sampai ratusan jumlahnya, karena memang berada di dataran rendah, dekat menyatu bersama hamparan Danau Limboto serta berdekatan persis samping Mesjid Jami al Istiqamah.

Ada dua pintu keluar masuk mata air Butu, di samping kiri dan sisi kanan. Untuk pintu bagian kanan, turunan anak tangga agak sedikit ekstrim, sangat menjorok ke bawah, bila tidak berhati-hati akan beresiko jatuh atau kaki terkilir.  

Tapi sayang, masuk di abad milenium ini, kondisi jumlah penduduk perkotaannya yang bertumbuh,  volume mata air tersebut pun ikut terancam karena sifat buruk manusianya itu sendiri. Mancuran air dari dalam tanah sudah mulai berkurang, seakan takdir hembusan hidup dari mata air Butu tinggal ‘separuh nafas’.

Ditemui, Karim Laiya (61), Ketua Adat Kecamatan Kota Barat, yang sedang bersantai duduk ditemani segelas air putih di kediamannya menyempatkan penjelasan bahwa, mata air Butu sudah tidak seperti jaman dahulu kala, yang airnya itu begitu melimpah sekali.

“Dulu kalau masuk musim kemarau, tinggi air kolam mata air Butu setinggi pinggang orang dewasa, tapi sekarang cuma setinggi lutut orang dewasa,” ungkapnya dengan sesal.

Berkurangnya pancuran mata air tidak terlepas dari ulah manusianya itu sendiri, yang enggan mengakrabkan diri terhadap nilai kelestarian alam sekelilingnya. Bandingkan katanya, di era tahun 1720 Lekobalo masih hutan belantara, masih ditumbuhi banyak pepohonan rindang menghijau. “Jalan masih setapak, belum  ada jalan besar dan beraspal seperti sekarang,” tuturnya.

Usut punya usut, leluhur warga Lekobalo itu bernama Langkangio Laiya. Orang inilah yang pertama kali menjadikan Lekobalo jadi kampung pemukiman penduduk. Dulu baru hanya Langkangio Laiya yang membuat rumah dan belum ada mesjid seperti sekarang. “Kami anggap sebagai dotu, orang yang dituakan, sebagai kakek keturunan kami,” katanya.

Kualitas sumber mata air Butu tergantung dari alam Gunung Hutiaditi yang artinya rotan kecil. Apabila keberadaan gunung tersebut gundul rusak, maka mata air Butu tidak akan lagi bisa produksi air mineral. “Kami warga disini harus bijak, pandai-pandai menjaga kelestarian alam gunung,” tegas Karim.

Tapi rupanya gelombang pertumbuhan penduduk mengorbankan kondisi Lekobalo yang secara administrasi pemerintahan berstatus sebagai kelurahan. Pohon-pohon besar yang berdekatan dengan kumpulan mata air Butu juga sudah hilang, ditebang untuk lokasi pemukiman, padahal pohon besarnya berfungsi untuk pertahankan pasokan air tanah yang melimpah. 

“Dulu ada pohon-pohon besar. Seperti pohon Mangga, Mengkudu, dan Alongbango di tepian kumpulan air. Pohon ditebang jadi rumah-rumah,” ungkap Karim yang merupakan mantan lurah Lekobalo periode 1991 hingga 2003 ini.    

Seingat dia, mundur sekitar 100 tahun sebelumnya, ada tokoh masyarakat Lekobalo yang dianggap sebagai senior kampung bernama Islaku Katili yang memberikan wasiat keseluruh masyarakat Lekobalo untuk selalu tetap ramah lingkungan. 

“Ia bilang jangan tebang pohon yang dipinggir-pinggir dekat mata air. Kita harus pertahankan kalau tidak mau mengalami kekeringan,” tutur Karim mengulangi perkataan Islaku saat itu.

Aneh bin ajaib, anugerah Tuhan yang maha dahsyat, denyut mata air Butu tidak ada matinya. Walau keluaran air sudah mulai sedikit bila dibandingkan di jaman dulu, tapi munculan air Butu tetap eksis, meski masuk kemarau panjang. 

“Butu itu bahasa lokal, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia Butu itu muncul tiba-tiba. Jadi mata air yang selalu muncul,” kata Karim.

Pernah kejadian, di tahun 1966 Gorontalo mengalami kemarau panjang. Dimana-mana terjadi kekeringan, sulit mencari air tawar yang berkualitas baik. Danau Limboto pun airnya menipis kala itu, tapi mata air Butu tetap mengalir mengeluarkan air bersih, jernih dan sehat.

“Dulu orang di penjuru Gorontalo berbondong-bondong datang ke mata air Butu. Antriannya panjang sampai satu kilometeran, mengambil air tawar disini,” ujar Karim yang merupakan kelahiran Lekobalo 7 Januari 1951 ini. 

Keanehan lainnya, tambah Karim, mata air ini tidak bisa diambil dengan secara sembarangan. Kejadian ini dialami awal masa jaman pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Terjadi di tahun 1957, tepatnya jaman Permesta, dibuat pipa saluran ke arah pemukiman warga yang ada diperbukitan Lekobalo dengan sedotan mesin, tetapi hasilnya nihil, air tidak dapat tersedot ke atas.   

“Permesta dulu perhatian dengan warga disini, buat saluran air. Yah kalau jaman sekarang itu PDAM-nya. Tapi upaya ini tidak berhasil, warga mau tidak mau harus tetap turun ke bawah,” kata suami dari Khadijah Ahmad ini.

Senada juga dilakukan di jaman Gubernur Gorontalo Fadhel Muhammad, sudah dilakukan dengan segala perlengkapan infastruktur dan mesin canggih tetapi tetap tidak bisa. Akhirnya, pemerintah provinsi saat itu hanya menggarap bangunan beton sekeliling mata air dan membaginya dalam bagian-bagian sumber mata air, untuk khusus air minum dan khusus mandi, cuci. “Komplek mata air Butu dibaguskan untuk kenyamanan dan perlindungan,” tegas Karim.

Karena itu, upaya menjaga dan merawat mata air, dibuatlah momen-momen adat yang hidup di tengah kehidupan masyarkat, sebagai pengingat warga, bahwa pentingnya akan kelestarian mata air Butu itu masuk kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan wajib dijalani. “Kita buat acara-acara adat di komplek mata air sini, supaya warga bisa menghargai tempat ini,” ujarnya.

Misalnya di Bulan Safar dalam penanggalan tahun hijriah Islam, digelar acara adat mandi safar di mata air Butu dengan tema yang di usung Molihu Lo Lililu yang artinya mandi di air untuk mencegah hal-hal buruk dan Momadi Syatar yang maknanya mandi untuk menghindari wabah-wabah penyakit yang akan menyerang kampung. 

Teknisnya itu, jelas Karim, lebih ke acara doa-doa dan membasuh diri dengan sumber mata air Butu. Biasanya, untuk seremonialnya mengambil daun mangga asam yang sudah ditulis di permukaan daun dengan kalimat bismillahirahmanirrahim, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  

“Daun mangga asam sudah dibaca-bacakan doa lalu dicelupkan ke penampung air mata air Butu, disusul para warganya untuk membasuh seluruh badan dengan air dari mata air Butu. Atau juga ada yang langsung berenang, nyemplung ke kolam,” ujar Karim. ( )
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

CANDI GARUDA YOGYAKARTA