WAJAH TANI GORONTALO

Wajah Tani Gorontalo
Oleh: Budi Susilo

Hidup petani, sejahterahlah petani. Tegakan Undang-undang Agraria, demi keadilan bagi Petani. Tema-tema inilah yang berkumandang kencang keseluruh penjuru nusantara dalam memperingati hari Tani Nasional, termasuk di Kota Gorontalo, Senin (24/9/2012), oleh elemen mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Gorontalo (UNG).

Tani, sebuah kata yang memiliki arti kegiatan mata pencarian bercocok tanam. Jaman sebelum proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dibangga-banggakan Indonesia itu sebagai negara yang berkarakteristik agraris. Nenek moyang kita bertani, mengandalkan hidup dari hasil bertanam tumbuh-tumbuhan.

Tapi ada yang berbeda belakangan ini, pekerja petani itu dianggap warga masyarakat rendahan yang tidak berpendidikan formal tinggi. Lihat saja, jebolan dari fakultas pertanian di perguruan tinggi apakah ada yang mau turun ke tanah jadi petani ? Bukankah dari kebanyakan mereka itu hanya terjun di ladang rezeki lembaga perbankan dan finance ?

Lahan sawah di Jalan Adam Zakaria Kota Gorontalo mulai berkurang (photo by budi susilo)
 Ada penilaian, seorang sarjana terjun bertani tidak ubahnya menyia-nyiakan ijazah bangku kuliahnya. Tidak heran, akibat anggapan itu, pekerjaan sebagai petani tidak banyak yang meminati, generasi muda lebih suka bekerja di perkantoran swasta atau memilih menjadi pegawai negeri sipil. Inilah ironi, problematika bangsa agraris yang kini kita hadapi, termasuk yang ada di provinsi Gorontalo.

Daerah otonomi baru ini menghadapi dilema angkatan kerja di sektor agraria, yang jumlahnya merosot. Apa benar demikian ?, lihatlah data yang merujuk pada Badan Pusat Statistik (BPS) Gorontalo, bahwa angkatan kerja di sektor pertanian menurun. Ini tercermin dari data tahun 2010, angkatan kerja sektor tani sebanyak 176.900 orang, sedangkan pada tahun 2011, totalnya tinggal 159.123 orang.

Tentu saja, menurut pengamat pertanian Gorontalo dari Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Nurdin, gejala menurunnya tenaga kerja pertanian disebabkan kurangnya pendampingan di generasi muda. Pemerintah yang rajin memberikan fasilitas penyuluhan pertanian, hanya sekedar memberi penyuluhan, tetapi tindak-lanjut dan pendampingan masih nihil. Akibat hal ini, kegiatan usaha tani stagnan.

Ada pelatihan-pelatihan tentang usaha pertanian. Anak muda dikumpulkan, dikasih ceramah, tapi tanpa pendampingan. Usai kegiatan langsung hilang semua, tidak lagi ada kejelasan,” ujarnya.

Persawahan di Kelurahan Wongkaditi Kota Gorontalo mulai tergusur oleh bangunan beton. (photo by budi susilo)
Parahnya lagi, asumsi dia, angkatan kerja petani generasi tua Gorontalo telah banyak yang sudah ‘gantung pacul’, sudah tidak lagi turun tanah karena keterbatasan fisiknya yang sudah lemah. Juga orang-orang yang dulu memang mengandalkan mata pencarian bercocok tanam, telah banyak yang tiada meninggal dunia.  

Menurut Nurdin, regenerasi ke kaum muda mengalami kegagalan. Sebab memang berkegiatan ekonomi di bidang pertanian tidak menjanjikan. Usaha yang butuh kerja-keras tetapi tidak menguntungkan banyak. “Usaha pertanian itu tidak menentu. Banyak rintangannya, misal harga jual berubah-ubah, resiko kena hama dan cuaca. Jadi banyak anak muda yang tidak meminati jenis pekerjaan ini,” ujarnya.

Jalan keluar yang bisa dijalankan, tegas Nurdin, harus membuat daya dukung penuh dalam program agroindustri, oleh pemerintah, industri swasta dan dunia kampus. Dukungan ini dalam bentuk hukum formal berupa Peraturan Daerah mengenai penyangga pangan.

Gorontalo belum punya konsep penyangga pangan. Harusnya sudah ada, dengan dipayungi hukum Perda,” tutur pria yang kini menjabat sebagai Ketua Jurusan Agrotek Fakultas Pertanian UNG ini.

Karena itu ia menegaskan, pemerintah dapat mewujudkan Perda penyangga pangan di provinsi Gorontalo apabila ada kemauan politik yang kuat untuk memajukan dunia pertanian Gorontalo. Baginya, itu tidaklah sulit, apalagi secara peraturan tertinggi dari Perda, telah ada aturan Undang-undang nomor 41 tahun 2009 mengenai Perlindungan Pangan Berkelanjutan.

Undang-undangnya sudah ada, jadi sekarang Pemda bisa buat Perdanya. Kalau di RTRW Gorontalo sudah diatur lahan-lahan pertanian tapi penjelasannya sifatnya hanya umum. Kalau pakai Perda Penyangga Pangan maka penjelasannya bisa spesifik, jelas terukur,” katanya.
Pedagang sayur Pasar Sore di Kota Gorontalo memasukan sayur ke karung. (photo by budi susilo)
 Andaikan memang Gorontalo telah ada Perda Penyangga Pangan, maka kebijakan pro pertaniannya sangat jelas. Karena Perda itu, akan diatur secara tegas sanksi dan penghargaan bidang pertanian. Lewat Perda, titik-titik lokasi lahan pertanian sudah ditentukan, sangat haram apabila penetapan lahan pertanian dikemudian hari beralih fungsi menjadi non pertanian. “Kalau ada Perdanya yang langgar lahannya bisa kena hukuman,” ujarnya.

Berbicara penyangga pangan, pemerintah dapat memfokuskan ke daerah-daerah yang masih terbuka luas lahannya, seperti di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo Utara, dan Boalemo. “Kalau di Kota Gorontalo rasanya tidak mungkin, lahan sudah habis oleh bangunan-bangunan permanen,” tuturnya.

Sebenarnya, pemerintah provinsi Gorontalo era Gubernur Rusli Habibie sendiri, telah menargetkan sebagai daerah Penyangga Pangan dengan capaian swasembada pangan di tahun 2015, dengan segudang program strategis melalui intensifikasi dan eksentifikasi pertanian. Lalu, telah berhasilkah rencana program kerja tersebut ?, kita tunggu saja, di penghujung tahun 2015 nanti, berdoa semoga berhasil agar semua raih kebaikan bersama.

Berbeda pandangan dengan Suparno, Kepala Seksi Pertanian BPS Gorontalo, menyangkal bila penurunan angkatan kerja sektor pertanian di Gorontalo melorot. Pasalnya, data statistik yang disajikan itu bukanlah sebuah kesimpulan pasti, mengenai rendahnya minat bekerja sebagai petani. 

Logikanya, oleh sebagian besar orang Gorontalo, pertanian itu di masih dianggap jenis pekerjaan informal. Pekerjaan yang sifatnya musiman, hanya pada momen-momen tertentu. Jadi bila tidak dalam masa tanam, maka untuk sementara dunia pertanian ditinggalkan. Di Gorontalo sendiri, berdasarkan rutinitasnya, masa panen itu periodenya dua tahun hanya lima kali.

Petani itu pekerjaan informal. Barangkali saat kita survei mereka tidak sedang bertani. Lagi kerja di tempat-tempat yang tidak ada hubungannya dengan pertanian,” tutur pria kelahiran Sragen 8 Maret 1978 ini.

Sebagai contoh, Gorontalo sedang mengalami musim kemarau bercuaca panas, sebuah masa yang kurang menguntungkan bagi para petani, dianggap sebagai masa paceklik. Kondisi inilah yang membuat para petani beralih pekerjaan untuk sementara waktu, mencari pekerjaan yang lebih prospektif. 

Kalau lagi tidak musim bertani ada orang dari kampung-kampung lari ke Kota beralih kerja dari petani jadi kuli bangunan, atau cari uang tawarkan jasa naik bentor,” urai Suparno, yang merupakan lulusan magister Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor.

Antrian pengemudi Bentor mengular di depan kampus UNG menunggu penumpang. (photo by budi susilo)
 Hal ini juga pernah terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara, di saat suasana susah bercocok tanam, warga setempat ‘banting setir’ menjadi pekerja tambang. Cara ini dinilai efektif dalam upaya mempertahankan hidup, memenuhi  kebutuhan sehari-hari. Sebab bila hanya mengandalkan satu sektor, maka dirasa bukan solusi terbaik, harus memutar otak bagaimana caranya bisa tetap peroleh uang.

Di Gorut pernah kami lakukan sensus penduduk. Mereka kebetulan sedang tidak di musim bercocok tanam. Mau tidak mau, waktu di sensus mereka mengaku bekerja sebagai petambang, padahal di sisi lain mereka sewaktu-waktu bisa juga sebagai pekerja petani,” ungkap Suparno.

Melihat wajah Gorontalo, sebenarnya begitu semangat menjadikan sebagai wilayah berbasis pertanian. Hingga pernah ramai di wacanakan menjadi daerah Agropolitan dan juga hingar-bingar sebagai lumbung jagung terbesar di tingkat nasional.

Memajukan dunia pertanian Gorontalo pun dikejewantahkan dalam upaya konkrit berupa perluasan lahan pertanian. Mengacu pada data BPS Gorontalo, luas lahan produksi pertanian sawah di tahun 2010 seluas 29.060.000 hektar, ini naik di tahun 2011 menjadi 29.500.000. “Kebanyakan lahan-lahan baru yang dibuka itu di daerah Kabupaten-kabupaten. Seperti di Boalemo, Pohuwato, Bonebolango,” urai Suparno.

Walhasil, komoditi pertanian Gorontalo sedikit terdongkrak. Hal ini tercatat dalam data BPS Gorontalo, produksi hasil padi di tahun 2010 hanya 253.563 ton, tetapi masuk di tahun 2011 menjadi 273.921 ton, yang secara persentase naik sebesar 7,43 persen. “Tapi saya prediksi tahun 2012 angkanya akan turun. Akibat dari musim kemarau panjang dan perbaikan beberapa infrastruktur irigasi yang masih berjalan,” ungkap Suparno.

Bagaimana pun, kemajuan pertanian Gorontalo itu bergantung warga masyarakatnya. Bukan saja tanggung jawab petani, pemerintah, apalagi pihak swasta saja. Semua elemen harus bahu-membahu, bersinergi memantapkan dunia pertanian demi mencapai ketahanan pangan yang hakiki. Hal ini seperti tercermin dalam pemikiran mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Hatta, yang menegaskan perlu adanya kesadaran rakyat.

Sebagaimana dikupas dalam bukunya Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010), perlu dibangun kesadaran dan keinsafan rakyat. Hatta melukiskan “bagaimana memperbaiki nasib kaum tani, kalau si tani masih dapat ditipu djuragan-djuragan pabrik jang menjewa tanahnja untuk ditanami tebu dengan harga begitu murah?. Karena itu menurut Hatta, tanpa adanya keinsafan rakyat akan hak dan harga dirinya, maka selama itu pulalah pergerakan ekonomi tidak berhasil. Majulah petani Indonesia, maka kedaulatan pangan bangsa akan kokoh sepanjang masa ! ( )
   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN