MERUMPUT LAUT NAEN

Merumput Laut Naen
Oleh: Budi Susilo

Fajar terbit menyapa Pulau Naen, Minahasa Utara. Sahut-sahutan ayam jago berkokok di tiap rumah-rumah warga yang memilihara ayam, Jumat (29/6/2012). Persis jam 06.00 Wita kala itu, pak Otang mulai siap-siap untuk pergi melaut, memakai perahu kecil bermotor. 

Bapak tiga anak ini  kesehariannya menjadi petani rumput laut, atau yang populer bahasa warga setempat sering menyebutnya tanaman ‘agar-agar’. Cikal bakal nama ini diambil karena rumput laut itu biasa dipakai sebagai bahan baku pembuatan 'agar-agar'.

Rumput laut yang sudah kering akibat terjemur di bawah matahari (photo by budi susilo)

Sudah menjadi rutinitasnya, pak Otang tiap pagi pergi melihat, mengkontrol lahan perkebunan rumput laut miliknya. “Saya sudah setiap pagi pergi ke laut. Sudah biasa bagi saya. Hanya hari Jumat dan cuaca buruk saja saya tidak pergi melaut,” ungkapnya di kediamannya, usai cuci muka dan gosok gigi.

Secangkir teh beserta kue panada tiga buah sajian istrinya, cukup untuk mengisi perut kosong pak Otang. Baginya, pergi melaut itu butuh juga tenaga ekstra, meski memakai mesin perahu motor, sebab ada kalanya, bila tiba-tiba mesin motor perahu rusak maka jalan terakhir harus mendayung untuk jalankan perahu.

Pergi ke perahu, Pak Otang tidak membawa tentengan apa pun, katanya, berbagai peralatan kebun rumput laut sudah ditaruh di perahunya. Menuju ke perahunya yang biru tua, jalannya pak Otang tampak meyakinkan, tanpa ada rasa keluh kesah, capek, menyerah, hadapi dengan optimisme tinggi, pak Otang merasa senang berjuang hidup menjadi petani rumput laut.

Orang Pulau Naen biasa menyebutnya rumput laut Grandong (photo by budi susilo)

Alhamdulillah, sejak saya geluti pertanian agar-agar sekitar tahun 1999, sudah bisa menghidupi anak istri saya. Saya sekarang sudah bisa sekolahkan tiga anak saya. Penghasilannya lumayan bila panen agar-agarnya bagus,” ungkapnya.

Hebatnya, selain berekonomi rumput laut, pak Otang pun melakukan diversifikasi mata pencarian, ia juga menyambi menjadi pedagang pengumul ikan, yang hasil tangkapan ikannya dijual ke Pasar Bersehati Kota Manado. 

Terbukti, kediaman rumahnya sudah bedinding tembok, bertingkat dua, dengan ragam fasilitas rumah tangga yang lumayan lengkap. Ia bersama keluarga intinya bisa hidup berkecukupan, mampu sekolahkan anaknya di Sekolah Menengah Atas Kota Manado dan anak bungsunya Sekolah Dasar di Pulau Naen.

Tentu saja, fakta ini akan menyangkal dari ulasan yang digambarkan oleh Kusnadi dalam bukunya yang berjudul Keberadaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir , bahwa, pekerjaan nelayan diasosiasikan dengan pekerjaan berat, beresiko tinggi, kurang prosepektif, pendapatan tidak pasti, investasi dan biaya operasional mahal, status sosial sebagai nelayan rendah dibandingkan dengan kelompok sosial yang lain.

Untungnya, cuaca bersahabat, pak Otang tidak mengalami kesulitan berarti untuk melihat budidaya rumput lautnya. Hampir 200 meter lebih dari daratan Pulau Naen, untuk menuju ke lokasi rumput laut pak Otang. Unik cara yang dilakukan pak Otang dan sebagian besar warga Pulau Naen yang mencoba peruntungannya dalam berbudidaya rumput laut. 

Suasana kampung Pulau Naen di pagi hari yang cerah (photo by budi susilo)


Agar terjaga baik rumput lautnya, dibuatlah seperti kebun taman rumput laut dengan memakai tali tambang, tali rafia dan botol bekas air mineral plastik. Fungsi tali tambang tersebut jelas Pak Otang, untuk wadah rumput laut. Atau dalam istilah sebagai ‘pot tanaman’. 

Sedangkan tali rafianya untuk perekat, pengikat bibit rumput laut di tali tambang dan botol bekas air mineral sebagai pengapung tali tambang di perairan laut.

“Resikonya kalau ada angin badai kencang, arus laut sangat kuat, tambang bisa terlepas. Banyak rumput laut yang akan rusak, tidak bisa dipanen. Saya pernah alami ini waktu ada angin musim barat, rumput banyak yang rusak. Resikonya tidak banyak yang bisa saya panen,” ujarnya.

Di perkampungan Pulau Naen, warga hanya mengenal dua jenis rumput laut. Sebagian besar warga lebih memilih budidaya rumput laut jenis ‘gerandong’, begitu mereka menyebutnya, ketimbang rumput laut jenis SP. Termasuk Otang, menjatuhkan hatinya untuk tanaman rumput laut gerandong. Bentuk jenis ini, memang tangkainya besar-besar, berbeda dengan yang rumput SP lebih ramping namun rumbai-rumbainya di batang lebih banyak.

Mayoritas warga Naen bertani rumput laut termasuk perempuannya bertugas menjemur rumput laut usai di panen dari laut (photo by budi susilo)

Lebih dari itu, tutur Otang, rumput laut grandong secara perawatan sangatlah sederhana, sangat kuat tidak rentan kena serangan hama air. Kalau rumput laut jenis SP, meski dipasaran penjualannya berharga mahal tapi perawatannya itu bersiko sebab rumput laut ini golongan tumbuhan air yang mudah kena hama. Bila sudah keserang hama, panen pun tak kunjung datang penghasilan pun hilang.

“Rumput laut gerandong itu tahan lebih kuat dari serangan hama. Tanaman ini asli dari laut yang tumbuh secara alami, tapi kalau yang SP itu sudah bibitan, tidak tumbuh di laut ini,” ungkapnya yang saat itu mengenakan kaus oblong biru tua. 

Berbicara pembibitan rumput laut gerandong yang biasa dilakukan Otang, itu adalah hal paling mudah, tidak perlu repot-repot mengeluarkan biaya pembelian bibit rumput laut. 

Dijamin mereka yang bercocok-tanam rumput laut akan terasa sebagai petani yang hemat, tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk modal.

Bibit rumput laut gerandong itu tidak dijual bebas, karena memang orang-orang tidak ada yang menjualnya. Misal apa yang dilakukan pak Otang, mau tanam bibit rumput laut ia hanya memetik di rumput laut yang sudah ‘masak’. 

Mirip metode stek, rumput laut yang sudah masak diambilah bagian ujungnya. “Kalau sudah kita petik dari bagian ujung rumput laut yang sudah tua, kita lanjutkan penempelan bibit di tali tambang. Nanti kedepan pasti akan besar, berkembang lebat,” imbuhnya.  

Perahu-perahu kecil jadi sarana untuk berkegiatan merumput laut Pulau Naen (photo by budi susilo)

Sebenarnya, tutur Otang, secara hitungan bisnis rumput laut SP lebih mahal kalau mau dibandingkan dengan yang rumput gerandong. Dipasaran lebih melirik rumput laut yang SP, karena secara kualitas lebih menjanjikan, harga pasarannya bisa ‘gila-gila-an’. 

Walau rumput laut gerandong terlihat besar-besar merah maron, tapi pasar lebih meminati yang rumput SP. “Kalau saya juga warga yang lainnya tanam rumput laut hanya tanam. Tidak diolah jadi barang manfaat. Saya hanya menanam kalau sudah panen saya jual ke penampung yang ada di Manado,” ungkapnya.

Rumput laut asal Pulau Naen itu telah dikenal luas warga masyarakat di Indonesia. Bahkan di kementrian Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, kawasan Pulau Naen Minahasa Utara masuk pemetaan budidaya rumput laut tingkat nasional sebagai pasokan perdagangan ekspor, termasuk perbankan swasta pun banyak yang semangat mengucurkan kredit budidaya tanaman ‘agar-agar’ ini.

Katanya Otang, sepengetahuannya yang diperoleh dari para pengumpul rumput laut, biasanya tanaman air ini dimanfaatkan untuk berbagai produk seperti pangan, kecantikan, dan obat-obatan. “Di warga Naen itu sudah lama bercocok tanam rumput laut. Banyak yang butuh rumput laut, makanya kami menanamnya,” katanya. 

Itulah cerita singkat dari pembudidaya rumput laut asal Pulau Naen Minahasa Utara. Siapa tahu makanan agar-agar atau produk kosmetik yang selama ini kita pakai diambil dari tempat ini. Bila benar adanya, berarti kita telah membantu para petani rumput laut asal Pulau Naen. Cintailah produk-produk dari kita sendiri, bangsa makmur, Indonesia maju. ( )  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN