MENGINJAK BUMI HULANDALO

Menginjak Bumi Hulandalo
Oleh: Budi Susilo

MATAHARI terbit mulai menampakan wajahnya, kala itu datanglah short massage service (SMS) di handphone-ku hingga bergetar, pertanda bahwa telah ada pesan masuk, Rabu (4/7/2012). Iya, pesan singkat ini dari teman ku Fransiska Noel, yang kebetulan juga tahu kondisi geografis Gorontalo, dan sudah tinggal di Gorontalo selama enam bulan.  

“Bro, cepat yah, hehehe hati-hati di jalan. Ika so di kantor travel Garuda Mas,” begitulah isi bunyi SMS ya, menganjurkan ku untuk segera datang ke terminal taxi jurusan Manado-Gorontalo. Bagi orang setempat, Gorontalo itu biasa disebut Hulandalo.

Menyambangi provinsi Gorontalo, melalui jalur darat menggunakan taxi travel yang tarifnya per orang Rp 125 ribu. Tarif ini dapat duduk di bagian tengah mobil jenis MPV. Sedangkan untuk tempat duduk yang depan dekat supir paling mahal kena harga Rp 150 ribu dan yang termurah itu di bagian belakang berbandrol Rp 100 ribu. 

Masjid di perbukitan Gorontalo. Daerah ini dijuluki Serambi Madinah_budisusilo
Kenapa murah, karena tempat duduk di bagian belakang sungguh melelahkan. Selain sempit juga agak sumpek, saat melaju kencang di turunan jalan maka perut kita akan terkocok, serasa ‘syur-syur’.

Mengambil pilihan kendaraan Taxi gelap, selain murah meriah, juga dapat mengenali lebih mendalam daratan Geografis Sulawesi Utara dan Gorontalo. Jalur yang dilewati adalah Trans Sulawesi yang bila dipeta kita lihat itu berada di ujung pulau Sulawesi, berdekatan dengan pesisir lautan Pasifik. 

Kagumlah dapat rasakan daratan trans Sulawesi. Hijrahnya aku ke Provionsi Gorontalo, jadi satu pengalaman yang baru, sebab selama ini belum pernah menginjak tanah pemekaran dari wilayah Sulawesi Utara ini. Apalagi secara kultural sosiologis sebagaian besar warga masyarakat Gorontalo itu berbudaya Islam yang sangat mengental. Itulah kenapa banyak orang menjuluki Gorontalo dengan sebutan 'Serambi Madinah'.

Berangkat dari Manado pada pukul 10.00 Wita. Mobil berangkat dimulai dari lorong BCA tembusan Jalan Sam Ratulangi. Dalam perjalanan, apalagi usai melewati daerah Pantai Malalayang, Kalase, perjalanan semakin mengasikan. 

Di kanan kiri jalan, tersuguhkan panorama hutan-hutan dan perairan laut Trans Sulawesi. Lembaian pepohonan oleh tiupan angin Trans Sulawesi, seolah jadi hiburan tersendiri. Jalanan yang menurun dan meninggi, memberikan warna tersendiri bagi perjalanan ke Gorontalo.

Unik juga, sang sopir taxi tersebut non stop memutar musik. Perjalanan tentu semakin asik. Apalagi musik-musik yang diputar kebanyakan lagu-lagu daerah lokal Sulawesi Utara dan ada juga musik dari tanah Jawa. Tentu lagu campur sari ini mengingatkan ku di kampung halaman Jawa Tengah.

Melintasi perbatasan Sulut-Gorontalo kala itu pengalaman yang pertama kali. Dijaga ketat oleh petugas berseragam kepolisian Republik Indonesia. Entah saking baiknya supir taxi ku, saat melewati perbatasan sang supir memberikan uang receh ke petugas perbatasan tersebut. 

Bila tidak salah lihat, uang yang diberikan tidak banyak hanya Rp 5 ribu saja. Dan tampaknya, supir Taxi pun tidak merasa bermasalah, sebab diraut wajahnya saat berikan uang terlihat tetap memancarkan senyuman ramah.

Setiba di perbatasan Gorontalo-Sulut, yakni Gorontalo Utara, sekitar pukul 18.30 Wita. Melewati Gorontalo Utara, terlihat jelas sekali nuansa desanya masih mengental bila dibandingkan situasi di Kabupaten Minahasa Utara. “Desa sekali ya ka', rumahnya masih banyak yang jauh-jauh dan berbahan papan kayu,” tutur ku ke Fransiska.
Perkebunan Jagung di Jalan Palma Kota Gorontalo_budisusilo
Tampak jelas juga, beberapa jalan sepanjang Gorontalo Utara masih dalam proses penyempuranaan jalan. Ada beberapa jalan di bagian pinggir, tanahnya digaruk oleh mesin bolduser, penggaruk tanah rupanya akan dibuat pelebaran jalan karena infrastruktur ini akan dipakai oleh mereka pengguna kendaraan bermotor antar provinsi.
Menempuh perjalanan yang melelahkan, berkelok-kelok dan menanjak akhirnya tiba juga di lokasi penginapan pondok pria, Jalan Beringin Kelurahan Tuladenggi, Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo sekitar pukul 20.00 Wita. 

Puji Tuhan, di pondok pria ini disambut beberapa teman-teman baru di Kota Gorontalo. Sebenarnya asal daerah mereka dari berbagai daerah, tidak hanya dari Gorontalo saja. Ada yang dari Banggai Sulawesi Tengah, ada dari Kotamobagu dan Manado provinsi Sulawesi Utara, Medan Sumatera Utara dan juga ada dari Nusa Tenggara Timur.  Kebanyakan dari di antara mereka ada yang masih aktif sebagai mahasiswa dan bekerja.

Buat ku, hal itu sambutan yang luar biasa. Mereka telah lama di pondok berkumpul, pemuda-pemudi itu berjumlah 10 orang. Mereka ini kebetulan akan mengadakan diskusi mingguan. Tanpa basa-basi aku dan Fransiska ikut nimbrung, nongkrong bergabung berdiskusi. 

Tema yang dibahas mengenai ibadah puasa Ramadan, maklumlah seminggu kedepannya akan mengadapai ibadah Ramadhan bagi kaum muslim. Ngobrol mengenai segala hal tentang puasa asik, seru dan membuat penasaran, sebab masing-masing memliki pandangan dan cerita menarik dalam menjalani puasa Ramadan yang setiap tahunnya berlangsung.

Provinsi yang hampir sudah masuk umur 10 tahun tentu banyak perbedaan bila kita bandingkan dengan di Sulawesi Selatan Makassar, atau Manado dengan Sulawesi Utara-nya. Misalnya, sisi pembangunan infrastruktur jalan, tata kota, fasilitas umum,  Gorontalo masih kalah jauh. 

Bertahap, tapi pasti. Pembangunan akan terus maju, semua bergantung mereka-mereka sumber daya manusianya dalam menyikapi untuk mengisi pembangunan di provinsi Gorontalo usai ada pemekaran daerah. Daerah yang pernah dipimpin Sultan Amai ini terbilang membanggakan perkembangannya. Karena Gorontalo secara nasional telah dikenal masyarakat. Misalnya dengan komoditi Jagungnya dan lagu Indianya ala Norman Kamaru.

Kendaraan Bentor banyak menghiasi pusat Kota Gorontalo_budisusilo
Esok paginya, Kamis (5/7/2012), ku jalan-jalan, kelilingi sebagian pusat Kota Gorontalo. Sudah ada Gorontalo Mall, menandakan ini sudah siap menjadi gaya urban baru. Sama halnya seperti di Kotamobagu, Kota Gorontalo dijamuri oleh kendaraan umum Becak Motor, atau yang disingkat Bentor.

Tidak habis pikir, apakah ini jenis kendaraan umum atau kendaraan privasi, sebab plat Bentor berwarna hitam tapi difungsikan sebagai kendaraan komersil. Umumnya itu, kalau alat tranportasi massal harusnya plat nomor warna kuning yang tercatat resmi dari Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tapi Bentor di Gorontalo tidak.

Tak tanggung-tanggung, cakupan operasional Bentor tidak hanya di pusat keramaian kota, tapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa. Angkutan umum mobil rupanya kalah pamor di Gorontalo, orang lebih suka naik Bentor, katanya lebih enjoy, mudah dan menjangkau semua lini. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN