MASJID BESAR NURUL JANNAH GORONTALO

Bangunan Masjid Dikelilingi 27 Pilar
Oleh: Budi Susilo

PINGGIR bagian kiri dari pintu masuk Masjid Besar Nurul Jannah, tampak ada dua orang sibuk mengerjakan pengecetan plitur daun pintu. Maklum, rupanya masjid ini memang sedang dalam tahap proses penambahan bangunan dan renovasi masjid.

Sebenarnya, Masjid Besar Nurul Jannah sudah lama berdiri. Eksistensinya sudah hampir puluhan tahun, sewaktu Gorontalo masih dalam kandungan provinsi Sulawesi Utara, masjid ini telah ada.

Sayangnya, pendirian sejarah masjid ini belum ada yang mengetahuinya. Kala ditemui, Abas Alimun (48), Imam Masjid Besar Nurul Jannah, menuturkan, tidak tahu persis kapan masjid didirikan tapi yang pasti tanah masjid ini hasil wakaf dari Yahya Podungki.

"Dulu juga dikenal sebagai tokoh agama Gorontalo yang berpengaruh. Jadi imam masjid, terkenal di Gorontalo. Beliau sekarang sudah tidak ada, sudah wafat," katanya di pelataran Masjid Nurul Jannah, Rabu (1/8/2012).
Tampak depan Masjid Nurul Jannah di Jalan Birgjen Piola Isa Kota Gorontalo_budisusilo
 Tapi yang pasti, katanya, keberadaan masjid ini sudah ada sejak tahun 1940-an, yang dahulu fisik bangunanya terbuat dari bahan bambu, kayu, dan rumbai. "Sudah beberapa kali mengalami renovasi," urai Abas.

Penamaan masjid sendiri, jelasnya, adalah pilihan dari Yahya Podungki, sang ulama saat itu. Secara definisi, masjid sebagai tempat sumber cahaya surga.

"Nurul itu cahaya. Sedangkan Jannah adalah surga. Jadi harapannya dapat sebagai cahaya surga," urai Abas, yang kala itu mengenakan kaus berkerah hitam.

Material masjid berubah ke beton terjadi pada tahun 1982. Ini terjadi di saat pemerintahan daerah Kota Gorontalo yang dipimpin oleh Ahmad Nazamudin.

"Dinding bukan lagi dari Bambu. Sudah jadi beton. Bagian atap dibuat dari seng. Tadinya masjid tidak ada kubah, lalu dikasih kubah yang dari seng," kata Abas.

Berlanjut di 20 mei 1988, Masjid kembali dapat bantuan dari pemerintah. Bantuan diperuntukan untuk maksimalisasi bangunan masjid demi kenyamanan beribadah para jamaah yang semakin bertambah.

Saat itu, bantuan tersebut pemberian dari Presiden Republik Indonesia yang masih dijabat Soeharto yang kemudian peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Kepala daerah tingkat satu Sulawesi Utara, C. J Rantung.

Penggarapan masjid itu pun dilengkapi menara yang dibagian bawah menara terdapat fasilitas tempat wudhu dan sumur air berkedalaman empat meter yang posisinya persis ada di bawah tangga menara. "Tapi sekarang sumur airnya sudah kami timbun tanah. Karena sudah kering tidak ada air," ungkapnya.

Model menara masjid memang bernilai seni. Menara bertiang empat, memanjang ke atas setinggi sekitar 50 meter dengan dihiasi kubah seng kecil dibagian pucuk menara. Dan lagi, kuncup kubah tersebut pun, dilengkapi tulisan kata Allah dengan gaya tulisan bahasa Arab.

Bagian bawah menara dibentuk tiga lorong melengkung tanpa daun pintu. Tiga lorong ini adalah arah menuju sumber air untuk wudhu para jamaah Masjid Besar Nurul Jannah.

Di bagian sisi samping kiri dan kanan menara pun, juga ada anak tangga menuju ketinggian menara sekitar lima meter. "Itu ada anak tangga hanya perindah menara saja. Tidak ada fungsi untuk ibadah," ujar Abas, pria kelahiran 31 Oktober 1964 ini.

Memasuki tahun 2011, Masjid Besar Nurul Jannah mengalami perubahan besar-besaran, yang hampir menelan biaya sebesar Rp 200 juta lebih. "Uang sumbangan dari para jamaah, juga dari bantuan pemda," ungkap Abas.

Ketinggian masjid ditambah sekitar empat meter dan plapon bagian dalam masjid pun diperindah dengan hiasan lampu gantung kristal.

"Di dalam masjid sejak dulu ada empat pilar. Kami ubah hanya tambah tingginya saja, biar terlihat lebih luas," kata Abas, pria kelahiran Gorontalo ini.
Kubah lama dari Masjid Nurul Jannah yang sudah tidak terpakai_budisusilo
Ditahun 2011, kubah masjid pun diubah menjadi kubah yang tampil lebih gagah, indah, dan megah. Kubah ini terbuat dari semacam kuningan yang terlihat sesaat seperti dari emas, kuning mewah.

"Yang asli, masih dipertahankan bangunan masjidnya adalah bagian jendela. Asli sejak tahun 1982, rencananya belum kami ubah, tapi tidak tahu ke depan nanti bagaimana," ujarnya.

Dibagian luar Masjid Besar Nurul Jannah, dilengkapi oleh pilar-pilar berbentuk kotak dengan gaya bangunan model tahun 1980-an yang ciri khas yang mengental bercorak lekukan-lekukan dan garis vertikal serta horizontal.

Jumlah tiangnya adalah 27, mengelilingi masjid sehingga bangunan masjid tampak kokoh. Tidak heran, Masjid Besar Nurul Jannah, yang berlokasi di alamat Jalan Birgjen Piola Isa, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo ini menjadi lokasi ibadah yang besar bagi kaum muslim Gorontalo.

Masjid yang persis berada di pinggiran perempatan jalan ini, dulunya dibangun dengan sederhana. Pembuatan bangunannya diambil dari bahan-bahan alam yang ada disekeliling masjid.

Sedang bersantai di dalam masjid, Sulaiman Pulo'o (73), Jamaah Masjid Nurul Jannah, bercerita kala ditemui, bahwa, dulu itu dinding masjid dibuat dari bambu. Atap masjid dari rumbia, bahkan lantai masih tanah yang ditutup pakai tikar anyaman.

"Saya masih ingat. Ini terjadi sekitar di tahun 1950-an. Waktu itu saya masih kecil. Seingat saya, masih umur-umur 10 tahun," urai pria kelahiran 14 Agustus 1939 ini.

Suasana interior Masjid Besar Nurul Jannah di tahun 2012 usai di renovasi_budisusilo
Disekililing masjid pun, tidak seramai sekarang ini. Bila dibandingkan tahun 1950 dengan tahun 2012, lingkungan masjid sudah berubah total. Sebab katanya, dahulu itu belakang masjid bukan bangunan rumah namun ladang sawah, begitu pun disamping kanan dan kiri masjid itu pematang sawah.

"Jalan depan masjid dulu belum beraspal, masih tanah merah," ujar Sulaiman yang kini telah memiliki dua anak dengan lima cucu ini.

Dulu itu masjid masih sejuk, adem, banyak rindang pohon. Masih kebun-kebun jadi masjid itu enak sekali suasananya, nyaman buat sholat. "Saya lebih pilih suasana masjid jaman dulu," kata pria lulusan Sekolah Rakyat Umum tahun 1945 ini.

Ia mengungkapkan, selain bersekolah di lembaga bentukan pemerintah Hindia Belanda, Sulaiman juga menimba ilmu di Masjid Nurul Jannah. Ilmu yang ia peroleh mengenai agama Islam yang disampaikan oleh ulama Yahya Podungki.

"Masih ingat, di sekolah SR Umum dapat pelajaran bahasa Belanda. Kalau di masjid dapat ilmu pentingnya sholat lima waktu," tuturnya dengan diakhiri senyuman ringan.

Kenangan lain yang teringat Sulaiman adalah ketika menuju masjid dirinya harus berjalan kaki dengan jarak tempuh satu kilometer. Rumahnya ada di Dulalowo, kalau mau ke masjid jalan kaki karena tidak ada angkutan umum, apalagi sarana transportasi seperti kuda, sepeda, kendaraan bermotor. "Saya jalan kaki. Biasanya datang ramai-ramai bersama teman," ujar suami dari Eli Mustaki ini. ( )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

MACACA NIGRA PRIMATA SEMENANJUNG MINAHASA I

CANDI GARUDA YOGYAKARTA