PEREMPUAN SULUT TELANJANG JURNALISME

Perempuan Sulut Telanjang Jurnalisme
Oleh: Budi Susilo

Era kebebasan pers di Indonesia semenjak reformasi 1998, lantas tak membuat keran salurannya lancar di sisi kaum perempuan Sulawesi Utara. Karena bicara mengenai profesi jurnalis perempuan di Sulawesi Utara tergolong suatu hal yang masih langka, ukuran dari sisi kuantitas masih dibilang dapat dihitung dengan jari.

Tiap-tiap perusahaan media massa yang mempekerjakan dari kalangan wanita sebagai jurnalis masih minim, lebih banyak didominasi oleh jenis kelamin lelaki. Panggung media massa di Sulawesi Utara bila dilihat dari struktur posisi pemimpin redaksi sampai tingkatan terbawah sekelas reporter, kaum pria masih menghiasi mayoritas secara mutlak. Ada apa ini ? kemana selama ini perempuan Sulawesi Utara.

Tentu ada hal yang melatarbelakangi ini, tak lain adalah kondisi pekerjaan dan resiko profesi jurnalis, yang membuat perempuan masih berpikir dua kali dalam menekuni pekerjaan jurnalis. Pengandaiannya, sebagian besar perempuan Sulawesi Utara itu masih "telanjang" jurnalisme, tak mengenal apa itu pakaian jurnalisme, yang padahal adalah pakaian hebat luar biasa, yang mampu merubah dunia hanya melalui kata-kata.

Bekerja di media massa tak kenal waktu, jam kerja terus bergulir ketika peristiwa-peristiwa darurat terus hidup, terlebih dari sisi upahnya pun masih belum membuat berselera dibandingkan dengan resiko tanggungjawab profesinya yang besar.

Melihat lingkungan alam Sulawesi Utara yang rindang, asri serta tentram dan damai, membentuk karakter orangnya lebih menyukai budaya penikmat, santai dan bahagia tanpa harus beresiko tinggi. Tak heran, menurut dari hasil tukar pikiran dengan beberapa jurnalis setempat, menilai lebih baik memilih karir sebagai pegawai negeri sipil ketimbang profesi lainnya seperti jurnalis yaitu sebuah profesi yang berkiblat pada garis perjuangan pembawa aspirasi kepentingan rakyat keseluruhan.

Padahal jauh sebelum itu, presiden Soekarno pernah berkata, "Perjuangan tanpa wanita bagaikan sayap garuda yang terpaku di bumi." Tapi toh, hal ini masih sebatas impian idealisme, cita-cita yang belum terangkat di permukaan bumi kawanua Sulawesi Utara.

Lebih dari itu, Kartini di 21 Januari 1901 pernah singgung dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, bahwa perempuan itu "Soko guru peradaban. Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu mungkin timbul pengaruh besar, bahwa dialah yang paling banyak membantu memajukan kesusilaan manusia."

Tak berbeda dengan di tanah Jawa, di Minahasa pun oleh perempuan elit bernama Maria Walanda Maramis dahulu telah berupaya melakukan pembaharuan sosial. Sosok wanita pahlawan nasional ini bersikap sebagai pembaharuan sosial penafsiran ulang terhadap sejarah lokal dan ajaran-ajaran agama, ia menempatkan diri sebagai pendidik dan penyuara kebutuhan perempuan dari kalangan rakyat jelata agar kaum perempuan bangsa kita tidak terpuruk dalam kemiskinan dan kemerosotan moral.

FOTO: Aksi unjuk rasa yang dilakukan kaum perempuan di Manado_rizkiadriansyah

Karena itu sebenarnya tak heran bila memang perempuan-perempuan di Sulawesi Utara terjun langsung di bidang jurnalistik, menyuarakan perjuangan hak-hak rakyat, terkhusus perempuan dalam memajukan emansipasi dan posisi penting oleh kaum perempuan. Cerminan ini dapat dilihat dari sosok SK Trimurti, perempuan yang dikenal sebagai jurnalis kelahiran 3 Juli 1947 ini memiliki catatan kehidupan sebagai pahlawan bangsa, mendalami dunia jurnalis dengan gigih tanpa kenal menyerah membela rakyat kecil.

Menekuni hidup sebagai jurnalis bagi perempuan, satu hal yang tak dapat ditawar-tawar adalah mengenai kemampuan dan moral. Harus ada penyeimbangan dari sisi pengetahuan intelektual dan integritas yang memadai seperti di tegaskan oleh Dewi Sartika dalam menyemai tradisi bangsawan budi pekerti di akhir 1930-an, bahwa menjadi "Perempuan itu harus mempunyai banyak kecapakan agar mampu hidup."

Persoalannya sekarang adalah di sisi media massanya. Berdasarkan Angela Mc Robbie, Ahli Media dan Komunkasi di Goldsmiths, University of London, menemukan industri media telah memitoskan perempuan di media.

Menurutnya, media selama ini menjadikan perempuan sebagai objek yang mengakibatkan perempuan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi media. Ini disebabkan oleh konstruksi sosial mengenai kelakian dan keperempuan sebagai kategori-kategori berlawanan dengan nilai-nilai sosial yang timpang.

Adapun yang menjadi tekanan kuat dalam relasi antara laki-laki dan perempuan di media adalah proses kekuasaan sosial, konstruksi persamaan dan perbedaan serta isu dominasi.

Perempuan selalu diidentikan dengan kecantikan di media dan industri media memecah belah keinginan perempuan melalui identifikasi tentang kecantikan. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi pada media iklan namun merambah dan menular ke dunia jurnalisme.

FOTO: Organisasi Profesi AJI_istimewa

Karena itu, telah lama organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan setiap perusahaan media jalankan jurnalisme berprespektif gender sebuah jurnalisme yang menolak dominasi, menolak perendahan yang mengakibatkan subordinasi perempuan di media.

Jurnalisme berprespektif gender tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan di media, tidak melakukan diskriminasi, eksploitasi, tidak melakukan proses labeling dan tidak melakukan sensasionalisme dalam pemberitaannya.

Sebab menurut penulis sendiri, perempuan itu bagai telaga biru yang berada di puncak gunung, pancaran keindahan alam pemberian Tuhan yang patut disyukuri dan jangan dirusak. Perempuan itu bagian dari kehidupan, satu hal dari pemberi warna semangat kehidupan seseorang. ( )

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN