MEMPERTANYAKAN KEPAHLAWANAN ELIT PEMERINTAHAN

Mempertanyakan Kepahlawanan
Elit Pemerintahan
Oleh: Budi Susilo

SETIAP tanggal 10 November, warga Kota Bitung yang berdiam di negara kesatuan Republik Indonesia melewati momen peringatan sejarah penting, namun hal ini mulai dilupakan warga akibat elite penyelenggara pemerintahan bersikap kurang merakyat.

Sebagian masyarakat lupa setiap 10 November adalah peringatan heroik eksistensi perjalanan Republik Indonesia. Coba buktikan, tanyakan ke beberapa warga terutama masyarakat akar rumput, apakah masih ingat dan mengerti bila 10 November itu adalah sebagai hari Pahlawan.

Peringatan hari Pahalawan awal mula berangkat dari upaya merebut dari kekuasaan penjajah yang zhalim, dari pemerintahan kolonialisme saat itu. Berkaca kebelakang di perang kemerdekaan Jawa Timur, setidaknya 6 ribu sampai 16 ribu pejuang Indonesia tewas dan 200 ribu rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.

Saat itu berdasarkan sumber di Woodburn Kirby, S (1965), The War Against Japan Vol. V. London: HMSO, korban pasukan Inggris dan India (milik Inggris) kira-kira 600 sampai 2 ribu tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Namun jaman sekarang ini menjadi pertanyaan kembali, apakah sikap perjuangan yang ditunjukan oleh elite penyelenggara pemerintahan terkini tetap sama dengan apa yang dilakukan ketika para generasi pejuang dahulu kala, bergerak mempertahankan kedaulatan dan memerdekakan rakyat dari negara imperlialisme.


Perjalanan kini, kadar kepahlawanan elite penyelenggara negara sudah luntur, sulit mencari tauladan, walaupun ada itupun langka ditemukan. Kebanyakan diberikan mandat oleh masyarakat tetapi banyak yang telah mengingkari janji, dampaknya pun ketika kembali menjalankan proses pemilihan melalui jalur demokrasi, rakyat pun enggan untuk berpartisipasi, lebih memilih golongan putih.

Semisal, pejabat elite penyelenggara pemerintahan di Kota Bitung ada yang tersandung dengan masalah hukum dugaan korupsi dan ada pula penempatan jabatan tidak sesuai dengan profesionalitas dan integritas. Ada pula yang menjabat sebagai legislator tak pernah hadir, seseorang politisi ini bekerja tidak sebagaimana yang telah diamanahkan oleh rakyat, dipilih dan dipercaya menjalankan emban pengabdian warga masyarakat.

Rasa kebangsaan yang mementingkan kepentingan publik luas tidak ditunjukan, semua beradegan mementingkan pribadi dan golongan saja. Hal ini tentu bertentangan apa yang telah didengungkan oleh pahlawan kita, Panglima Jendral Sudirman di dalam amanatnya di peresmian status kedudukan Tentara Rakyat Indonesia bagian udara di Yogyakarta 25 Mei 1946.

"Jangan sekali-kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat, bahwa tiap-tiap perjuangan tertentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela temanmu yang telah gugur sebagi ratna, lagi pula untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji kamu tepati."

Melihat kondisi bobroknya beberapa elit pemerintahan, tentu masyarakat pun akhirnya pesimis, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Rasa kebangsaan pun ikut meluntur karena tidak ada panutan. Seolah kehidupan berbangsa dan negara itu, hanyalah sandiwara belaka.

Pemerintahan sebagai bagian bentuk negara dianggap sebagai alat penindas dari para penguasa kepada masyarakat yang lemah.

Kunci sebenarnya adalah saat ini, bagaimana para penyelenggara negara terutama elite politik, memperhatikan upaya peningkatan kepentingan publik.

Berlomba-lombalah menunjukan rasa kepahlawanan maka rakyat akan bersimpati, mencontohnya demi kemajuan bersama.

Apabila masih dibiarkan sikap meminggirkan kepentingan publik maka berdampak buruk pada kokohnya pondasi bangunan nasionalisme negeri ini.

Rakyat akan melupakan eksistensi Republik ini. Merasa putus asa dan malu jadi warga negara Indonesia, hilang rasa kecintaan kepada bangsa dan negara ini.

Lagi pula bila berbuat baik tidak ada ruginya. Meminjam pesan dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, "Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan,maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun." Satu kalimat akhir, 'Salam Grak tuk Kebaikan.' ()

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CANDI GARUDA YOGYAKARTA

PRASASTI KALASAN YOGYAKARTA

PONDOK PESANTREN MARDHATILLAH BALIKPAPAN